SOLOPOS.COM - Penjaring ikan di Rawa Jombor, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Selasa (17/5/2022). Banyak orang menggantungkan nasibnya di Rawa Jombor. (Solopos.com/Fahmi Ghiffari).

Solopos.com, KLATEN — Hingga kini, penataan dan revitalisasi Rawa Jombor, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten masih berjalan. Jauh sebelum Rawa Jombor seperti sekarang, dulunya kawasan Rawa Jombor merupakan perkampungan di tanah rendah yang dikelilingi perbukitan.

Pada buku berjudul Mengenal Desa Krakitan, Kecamatan Bayat yang disusun kantor Desa Krakitan pada 1980 juga dijelaskan jika dulunya Rawa Jombor merupakan perkampungan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pada 1900 atau sebelumnya, kawasan Rawa Jombor merupakan tanah yang rendah seperti kedung yang lebar dikelilingi pegunungan. Lantaran lokasinya sangat rendah, air yang berada di kawasan itu tak bisa terbuang baik saat musim hujan maupun musim kemarau.

Di sisi barat laut tanah rendah itu, ada Kali Ujung yang mengalirkan airnya hingga ke Kali Dengkeng. Dimungkinkan lantaran Kali Ujung sering kelebihan air saat musim hujan, air yang berada pada tanah rendah tersebut kian melebar hingga menjadi rawa.

Kelebihan air itu terus menggenangi tanah pekarangan, sawah, hingga permukiman warga. Alhasil, penghuni kampung dipindahkan ke tempat lain di tepi rawa atau tanah tegalan di sekitarnya.

Baca Juga: Wow! Rawa Jombor Ternyata Berpotensi Jadi Warisan Dunia Lo

Pada 1901, Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono (PB) X bersama Pemerintah Belanda mendirikan pabrik gula di Manisharjo, Kecamatan Pedan. Lantaran memerlukan air untuk lahan yang ditanami tebu, PB X bersama Pemerintah Belanda membangun saluran air dari Rawa Jombor.

Pekerjaan dimulai pada 1917 dengan membuat terowongan menembus gunung dan membuat talang di atas Kali Dengkeng. Proses pembangunan rampung pada 1921.

Saat perang dunia kedua pecah (1941-1942), Pemerintah Belanda yang sebelumnya menguasai Indonesia pergi dan digantikan Pemerintah Jepang. Oleh Pemerintah Jepang, Rawa Jombor dijadikan waduk dengan cara dibangun tanggul.

Pembangunan tanggul dilakukan para pekerja paksa atau dikenal dengan romusa. Tanggul selebar 5 meter mengelilingi waduk itu hingga luasan rawa menyusut dari sekitar 500 ha tersisa 180 ha. Rawa Jombor difungsikan tempat penampungan air guna irigasi lahan pertanian sekitar 270 ha.

Baca Juga: Gumuk Mbah Bonggolo, Jejak Perkampungan di Rawa Jombor Klaten

Sejumlah warga memberi petunjuk kompleks permakaman di sisi barat dan dulunya masuk wilayah Dukuh Jombor. Dulunya, nisan kompleks makam itu kerap terlihat ketika Rawa Jombor dikeringkan.

Lantaran sudah bertahun-tahun tertimbun sedimentasi, jejak-jejak makam itu tak lagi terlihat.

“Lokasi makam itu ada di sisi barat berdekatan dengan pintu air. Dulu pernah ditemukan tulang belulang di sana,” kata salah satu warga Krakitan, Sutomo, saat ditemui Solopos.com, Kamis (28/10/2021).

Tak hanya kompleks makam, jejak peninggalan bekas perkampungan lainnya masih ada. Salah satunya sisa pohon yang pernah menaungi tanah perkampungan yang kini berada di dasar waduk. Saat waduk dikeringkan, pohon itu pernah terlihat berdiri dan masih menancap di tanah.

Baca Juga: Rawa Jombor, Objek Wisata Tiada Duanya di Antara Solo-Jogja

Jejak perkampungan yang hingga kini masih terlihat, yakni daratan kecil di tengah perairan Rawa Jombor dan hanya ada satu pohon munggur. Daratan itu dikenal dengan nama Gumuk Mbah Bonggolo.

Dulunya, daratan di sisi utara itu disebut-sebut sebagai daerah perbukitan pada perkampungan. Daratan itu berisi bebatuan dan diyakini sulit dihancurkan.

“Dihancurkan tidak bisa. Pernah dicoba pakai ini [ekskavator] tetapi tidak kuat karena keras. Isinya, ya hanya batu dan tanah padas,” jelas warga Krakitan lainnya, Sukamto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya