SOLOPOS.COM - Seniman tradisional Klaten yang tergabung dalam paguyuban Gentayangan Budaya membuka warung angkringan di samping pos penjagaan pintu perlintasan kereta api Krapyak, Desa Merbung, Kecamatan Klaten Selatan. Foto diambil Kamis (7/10/2021). (Solopos.com/Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN—Warung hik Solo atau yang juga dikenal dengan nama angkringan ditetapkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda asal Jawa Tengah.  Namun, cikal bakal para pencetus warung yang kini menyebar ke berbagai daerah itu diyakini berasal dari Klaten.

Adalah Desa Ngerangan, desa pelosok di Kecamatan Bayat yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Gunungkidul, DIY,  menjadi daerah asal para pencetus warung hik atau angkringan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Usaha angkringan itu bermula pada 1930-an. Saat itu, seorang warga Ngerangan bernama Karso Dikromo atau Karso Djukut asal Dukuh Sawit merantau ke Solo. Kondisi ekonomi Ngerangan sebelum kemerdekaan yang memprihatinkan, memaksa Djukut merantau ke Solo.

Ekspedisi Mudik 2024

Baca Juga: 6 Pelaku Curanmor di Klaten Diringkus, 1 Tersangka Masih di Bawah Umur

Ketika berdiam diri di bawah pohon, Djukut dihampiri seseorang bernama Mbah Wono (seorang juragan Terikan di Laweyan, Solo) yang kemudian diajak ke rumahnya. Awalnya, Djukut diminta untuk merawat kerbau dan bertani hingga akhirnya Djukut diberikan kesempatan untuk berjualan terikan.

Setelah beberapa tahun berjualan terikan, ide kreatif Djukut muncul dan berinisiatif menambah minuman dan cerek. Awalnya, makanan masih ditempatkan pada tumbu dan ditaruh di kepala sembari menenteng cerek.

Lantaran kurang nyaman, ide kreatif Djukut muncul dengan membawa barang dagangan dengan dipikul. Djukut lantas dibantu warga asal Dukuh Sawit, Desa Ngerangan bernama Wiryo Je menjadi prembe atau anak buah.

Baca Juga: Risiko Tinggi, Car Free Sunday Wonogiri Belum akan Digelar

Wiryo Je berperan menemukan racikan jahe dan teh khas, yakni teh oplosan yang hingga kini masih banyak diterapkan para pedagang angkringan. Pada 1950-an, Djukut mengajak sejumlah warga Dukuh Sawit ke Solo dan berjualan hik atau angkringan.

Awalnya mereka masih ikut dengan Mbah Wono dan dibelikan kandang kebo sebagai tempat beristirahat. Usaha itu terus berkembang dan menyebar di Solo. Pada era 1975, berjualan dengan cara dipikul itu mulai beralih menggunakan gerobak.

Tak hanya di Solo, hik atau angkringan berkembang ke Jogja. Seiring perkembangan, warung itu merambah hingga ke seluruh Pulau Jawa dan kini menyebar ke berbagai pulau di Indonesia.

Baca Juga: Jadi Pansel Beasiswa Wonogiri, Imapres Jamin Nihil Konflik Kepentingan

Penggalian sejarah tentang asal usul hik atau angkringan itu dimotori dua tokoh pemuda Ngerangan, Gunadi, 41, dan Suwarno, 42. Dua pegiat Kelompok Sadarwisata (Pokdarwis) Ngerangan itu serius menggali sejarah angkringan selama beberapa tahun terakhir salah satunya dengan menggali informasi dari sesepuh desa.

Suwarno mengatakan hingga kini warga Ngerangan masih aktif berjualan angkringan dan sudah memasuki generasi kelima.

“Generasi pertama si Solo era 1942. Generasi kedua di Jogja pada era 1950-1960. Generasi ketika itu sudah mulai merambah di wilayah Jawa Tengah pada 1970an. Kemudian generasi keempat ke seluruh Jawa pada 1990an dan generasi kelima di atas 2000an di seluruh Indonesia,” jelas Suwarno saat ditemui Solopos.com di Ngerangan, Rabu (3/11/2021).

Baca Juga: Imapres Jadi Pansel Program Beasiswa Mahasiswa Wonogiri Rp7,5 Miliar

 

Nama Hik

Soal penamaan warung tersebut, Suwarno menjelaskan pertama bernama hik. Nama itu awalnya bukan akronim melainkan ciri khas pedagang ketika berjualan.

“Dulu saat awal berjualan di Solo untuk menawarkan ada kalimat hiikk..turrr. Dari sana kemudian dikenal dengan nama hik,” jelas dia.

Sementara, nama angkringan berkembang setelah jualan itu merambah ke wilayah Jogja. Hingga kini, ada berbagai penamaan warung tersebut. Namun, ciri khas menu yang disajikan tetap sama. Seperti menu aneka racikan minuman terutama teh serta nasi kucing.

Baca Juga: Cemburu, Alasan Tersangka Ingin Bunuh Suami Adik Ipar Pakai Potas

Disinggung hik disebut sebagai warisan budaya tak benda dari Solo, bagi Suwarno tak jadi soal. Namun, berbicara sejarah cikal bakal hik atau angkringan tetap berasal dari Ngerangan tepatnya Dukuh Sawit.

Gunadi mengatakan hingga kini usaha angkringan atau hik terus diwarisi secara turun temurun. Setidaknya ada 700 warga Ngerangan yang berjualan angkringan ke berbagai daerah.

“Paling muda berusia sekitar 18 tahun. Belum lama ini ada warga Ngerangan yang buka angkringan di Medan,” jelas dia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya