SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, WONOGIRI — Para nelayan di Waduk Gajah Mungkur (WGM) Wonogiri, Jawa Tengah mengalami paceklik. Musim hujan dan kondisi ekosistem waduk yang terancam rusak membuat hasil tangkapan ikan yang mereka dapatkan menurun drastis, bahkan kini jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Tukiyat dan Slamet, dua nelayan di WGM Wonogiri mengaku satu tahun belakangan ini adalah musim paceklik yang terparah. Meski air pasang naik seperti yang biasa terjadi pada puncak musim hujan, setidaknya hasil nelayan menjaring ikan tak terlalu sedikit. Namun kini kondisinya semakin memprihatinkan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Dulu itu meskipun bulan-bulan Januari-Maret, kami masih bisa mendapat ikan seberat empat sampai lima kilogram. Kalau sekarang ya sekitar satu atau mentok dua kilogram,” ucap Tukiyat kepada Solopos.com, Sabtu (22/1/2022).

Baca juga: Duh, WGM Wonogiri Terancam Rusak Gegara Pukat Harimau

Ia menegaskan penyebab utama paceklik bagi nelayan di WGM Wonogiri adalah pemakaian branjang atau pukat harimau yang semakin banyak. Alat tersebut sebenarnya sudah dilarang oleh Pemkab Wonogiri melalui Perda, namun masih banyak yang melanggar.

Tukiyat mengungkapkan, penggunaan branjang untuk menangkap ikan dapat merusak ekosistem, sekaligus menimbulkan kecemburuan sosial.

“Nelayan yang menggunakan branjang atau pukat harimau kalau di laut itu dalam satu hingga dua jam sekali bisa memanen ikan. Sementara kami [nelayan di TPI Wuryantoro] harus menunggu satu hari, itu pun jumlahnya sedikit,” imbuh Tukiyat.

Baca juga: Petani WGM Wonogiri secara Sukarela Tebar 20.029 Ikan di Waduk Pidekso

Penggunaan branjang itu bahkan dikatakannya bisa menjaring ikan-ikan yang masih berukuran satu inci. Sedangkan menurut peraturan, kan-ikan yang boleh dijaring minimal berukuran 2 inci. Hal itu lantas yang membuat ekosistem di Waduk Gajah Mungkur rusak.

“Tahun 2019 dulu enggak ada yang menggunakan branjang. Operasi yang dilakukan dinas terkait juga sering, tapi entah kenapa dalam satu tahun ini operasi enggak dijalankan lagi. Mungkin karena pengaruh Covid-19 jadi enggak ada operasi lagi,” jelas Slamet

Sejak tidak dilakukannya operasi oleh dinas terkait, kini penggunaan branjang atau pukat harimau merajalela.
Keberadaan nelayan yang menggunakan branjang untuk menangkap ikanlah yang meresahkan nelayan-nelayan kecil yang mencoba taat pada peraturan.

Baca juga: Ilmu Titen Nelayan Wonogiri : Amati Gelombang Laut hingga Hari Keramat

Meski imbasnya para nelayan harus merelakan hasil tangkapan jaringnya kosong. Keadaan itu membuat mereka jadi enggan menyusuri waduk untuk mencari ikan.

“Dari sekitar 60 nelayan yang ada di sini [TPI Wuryantoro], mungkin hanya 50 persennya saja yang masih mencari ikan di masa paceklik ini,” kata Tukiyat.

Sisa nelayan yang tak mencari ikan di masa paceklik seperti sekarang, tambahnya, kini terpaksa beralih kerja sebagai peternak atau petani. Atau seperti Tukiyat dan nelayan lain yang terlibat obrolan santai di warung dekat TPI Wuryantoro.

Baca juga: Paceklik, Nelayan WGM Wonogiri Pasrah Jaringnya Kosong

Paceklik

Tukiyat sudah 20 tahun menjadi nelayan. Dia mengaku kondisi saat ini benar-benar memprihatinkan. Menurutnya, musim hujan yang puncaknya terjadi pada Januari-Maret membuat ikan-ikan berpencar dan bersembunyi ke banyak tempat.

Kondisi ini diperparah dengan keberadaan tanaman sejenis klampis yang membuat jaring-jaring milik nelayan tersangkut di batangnya yang berduri.

“Sekarang ini jumlah ikannya sedikit. Sebabnya banyak dipengaruhi masa air yang pasang naik pada musim hujan dan terutama banyaknya pemasangan branjang/pukat harimau,” kata Tukiyat.

Baca juga: Nelayan Tepian Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Sewakan Perahu untuk Wisata

Meski dalam kondisi paceklik, masih ada nelayan yang berangkat mencari ikan. Salah satunya Slamet, ia baru saja datang dari tengah waduk mengambil jaring yang ia pasang pada hari sebelumnya. Ia berhasil mendapat ikan walaupun jumlahnya hanya bisa dihitung jari.

“Dapat satu ikan nila, lainnya ikan wader,” Slamet menyebut hasil menjaringnya. Jika ia berniat menjualnya pun tak terlalu banyak nilainya.

Informasi yang diterima Solopos.com, satu kilogram ikan wader dijual senilai Rp7.000. Sedangkan ikan nila nilai jualnya Rp20.000 per kilogram. Artinya, hasil Slamet menjaring ikan di waduk hanya bisa mengganti uang bensin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya