SOLOPOS.COM - Ilustrasi guru kelas SD. (JIBI/Solopos/Dok.)

Solopos.com, SOLO — Upah layak untuk guru tidak tetap (GTT) dan guru honorer di Soloraya mestinya Rp2,6 juta/bulan. Nyatanya mereka pada umumnya hanya mengantongi honor senilai ratusan ribu rupiah per bulan.

Nilai upah layah GTT dan guru honorer itu mengemuka berdasar hasil wawancara Solopos.com dengan beberapa GTT dan guru honorer di Boyolali, Karanganyar, dan Kota Solo. Nilai itu adalah nilai rata-rata karena ada GTT dan guru honorer yang menyebutkan Rp3 juta/bulan agar bisa hidup layak. Nilai upah layak itu diperoleh tidak berdasarkan survei.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Nilai rata-rata upah layak itu mengemuka saat Solopos.com, pekan lalu,  memberikan semacam kuesioner kebutuhan hidup layak kepada beberapa GTT dan guru honorer di tiga wilayah itu. Mereka tak bersedia disebut identitasnya.

Kuesioner itu disusun berdasar survei kebutuhan hidup layak jurnalis dan buruh yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga diperkirakan mencakup kebutuhan hidup layak seorang guru yang belum menikah dan bertempat tinggal di tempat indekos. Bila tempat tinggalnya bukan tempat indekos otomatis kolom biaya indekos tidak diisi.

Beberapa aspek yang tercakup dalam kuesioner tersebut antara lain makanan dan minuman, perumahan dan fasilitasnya, sandang, transportasi kerja, komunikasi, kegiatan sosial kemasyarakatan, kebutuhan pemberdayaan kemampuan diri sebagai pendidik, dan alat tulis.

Modifikasi Upah
Ada GTT yang menambahkan sendiri kebutuhan lain yang belum tercantum dalam kuesioner yang diberikan Solopos.com, ada pula yang memodifikasinya sehingga lebih menggambarkan kebutuhan hidup sehari-hari. Setelah diambil nilai rata-ratanya, berdasar pendapat dari beberapa guru itu, mengemuka nilai Rp2,6 juta/bulan.

Dengan nilai rata-rata upah layak yang dibutuhkan GTT atau guru honorer adalah Rp2,6 juta/bulan berarti honor yang diterima GTT saat ini sangat jauh dari kebutuhan hidup yang harus mereka cukupi setiap hari. Bila GTT atau huru honorer itu menjadi kepala keluarga, tentu nilai upah layak yang dibutuhkan jauh lebih besar dari Rp2,6 juta/bulan.

Salah seorang GTT di salah satu SD negeri di Kecamatan Jenawi, Karanganyar yang enggan disebutkan identitasnya, mengungkapkan ia menerima honor mengajar tiap tiga bulan sekali. Sekali menerima honor ia memperoleh uang Rp450.000. Artinya, lelaki tersebut hanya mendapat honor Rp150.000 per bulan.

Sumber Solopos.com ini menjadi seorang guru kelas yang harus ke sekolah enam hari dalam sepekan. Ia harus membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), menyusun penilaian siswa, dan menjalankan segala urusan administrasi lainnya.

”Harapan saya, honor bisa menyesuaikan UMK [upah minimum kabupaten] Karanganyar,” kata dia kepada Solopos.com, Sabtu (6/12/2014). UMK Karanganyar pada 2015 adalah Rp1.226.000.

Tak Beda PNS
Salah seorang GTT di sebuah SD negeri di Gondangrejo, Karanganyar, yang mengaku mengajar selama 22 jam per pekan mengatakan hanya mendapat honor Rp250.000/bulan. Ia mengajar di sekolah tersebut setiap Senin-Jumat.

”Beban kerja enggak jauh berbeda dengan guru [berstatus] PNS, bahkan kadang-kadang guru berstatus PNS menyuruh GTT melakukan ini dan itu. Kalau dilogika, dengan gaji sekian apa ya bisa hidup?” kata perempuan yang enggan disebut identitasnya tersebut ketika dijumpai Solopos.com, Sabtu.

Menurut sumber Solopos.com ini, sebagian GTT menempuh kuliah untuk penyesuaian jurusan, termasuk dirinya yang kuliah di Universitas Terbuka (UT) dengan mengambil Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Per semester, para GTT yang kuliah harus membayar uang kuliah senilai Rp1,4 juta.

”Kalau enggak ada back up [penghasilan] dari yang lain, impossible [mustahil] semua bisa tercukupi [biaya kuliah dan hidup],” kata dia.

Ia meminta pemerintah benar-benar memperhatikan nasib para GTT yang mengabdikan hidup mereka untuk pendidikan generasi penerus bangsa. Perhatian itu bisa dilakukan dengan menyesuaikan honor GTT agar minimal setara UMK di setiap daerah.

Menyambi
Sekretaris Dinas Pendidikan dan Olah Raga (Disdikpora) Kabupaten Karanganyar, Agus Hariyanto, mengungkapkan di Karanganyar terdapat sekitar 1.300 GTT di sekolah negeri. Ia mengatakan ada juga GTT yang menyambi bekerja di sekolah swasta, tetapi Disdikpora Karanganyar belum memiliki data valid jumlah GTT yang mengajar di sekolah swasta tersebut.

Ia menjelaskan dari jumlah tersebut 430 orang GTT mendapat tunjangan kesejateraan dari APBD Provinsi Jawa Tengah dan 430 orang GTT mendapat tunjangan kesejahteraan dari APBD Kabupaten Karanganyar. Sebagian lagi mendapat tunjangan kesejahteraan dari APBN. Ia menjelaskan memang masih ada GTT yang belum tercakup dalam program pemberian tunjangan itu.

“Guru [honorer dan GTT] memang sangat dibutuhkan, kalau bisa ya [honor mereka minimal sesuai] upah minimum regional (UMR), khususnya untuk GTT di sekolah negeri. Alternatif lainnya pemerintah segera mengangkat guru baru karena saat ini kami kekurangan 750-800 orang guru. Jumlah itu akan terus bertambah karena banyak guru [berstatus PNS] yang akan pensiun,” ujar dia ketika dihubungi Solopos.com, Sabtu.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Boyolali, Supana, menilai honor kecil yang diterima GTT adalah pelecehan profesi guru. Honor GTT kalah dibandingkan pegawai pabrik.

Ia mengatakan rata-rata gaji GTT SD di Boyolali adalah Rp200.000-Rp300.000 per bulan; gaji GTT SMP dan SMA/SMK tergantung jumlah jam mengajar. Satu jam pelajaran per pekan biasanya dinilai Rp15.000-Rp20.000.

Revisi PP
Menurut Supana, PGRI secara nasional sedang memperjuangkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2008 tentang Guru. Menurut dia, dalam PP tersebut terdapat diskriminasi bagi GTT di sekolah negeri. Diskriminasi yang dimaksud adalah GTT di sekolah negeri tidak termasuk kategori guru yang berhak mendapat tunjangan profesi.

“Dalam PP itu tercantum ketentuan guru yang berhak mendapat tunjangan profesi adalah guru negeri dan guru swasta murni. Kami berharap GTT bisa mendapat gaji minimal setara UMK,” kata Supana. UMK Boyolali pada 2015 adalah Rp1.195.000.

Persoalannya, siapa yang akan menanggung upah layak senilai Rp2,6 juta/bulan itu? Sekolahan jelas tidak mampu. APBN dan APBD sudah terbebani alokasi anggaran rutin pegawai. Menurut beberapa sumber Solopos.com di atas, solusi paling ideal adalah mengangkat GTT menjadi guru berstatus PNS, minimal sebagai pengganti guru berstatus PNS yang pensiun, meninggal, atau mendapat promosi jabatan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya