SOLOPOS.COM - Sepeda baru yang digunakan anak-anak pengidap HIV penghuni Yayasan Sehat Panghuripan Sukowati (Spasi), Jl. Perintis Kemerdekaan No.01, Kecamatan/Kabupaten Sragen, Jumat (24/12/2021). (Solopos.com/Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SRAGEN — Keceriaan terlihat dari raut wajah tiga bocah perempuan ketika bermain sepeda di halaman Yayasan Sehat Panghuripan Sukowati (Spasi), Jl. Perintis Kemerdekaan No.01, Kecamatan/Kabupaten Sragen, Jumat (24/12/2021) menjelang sore. Ketiganya berinisial M, 8; B, 6; dan L, 6.

Gelak tawa terdengar ketika mereka naik sepeda baru pemberian dari aparatur sipil negara (ASN) Pemkab Sragen yang merayakan Natal. Sepeda itu jadi mainan baru mereka mengisi liburan semester sekolah.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Anak-anak itu tampak sehat meskipun mereka mengidap HIV. HIV tidak bisa disembuhkan namun kondisi kesehatan bisa dijaga atau tetap fit dengan cara mengendalikan virus HIV di dalam tubuh. Para Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) memberikan obat Antiretroviral (ARV) yang wajib anak-anak tersebut minum setiap pukul 06.00 WIB dan 18.00 WIB seumur hidup.

Adapun Yayasan Spasi merupakan lembaga nonprofit yang bergerak di bidang kesehatan, khususnya isu HIV/AIDS yang diawali dari KDS pada 16 Oktober 2011 silam. Kini yayasan ini menjadi lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) sejak 2020. Ada tiga anak atau Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang menghuni yayasan dari total 31 anak yang didampingi Spasi sejauh ini.

Baca Juga: Pasien HIV-Covid-19 Tidak Ditemukan di Wonogiri

Dari ketiga anak perempuan tersebut, hanya M yang belum masuk dalam kartu keluarga (KK) mana pun. Dia memegang akta kelahiran saja setelah menjadi yatim piatu. Bapak dan ibu kandung M meninggal terpapar HIV/AIDS.

Sementara B tercatat dalam kartu keluarganya walaupun menjalani pengasuhan di Spasi. Bapak B masih hidup. Sementara L tercatat pada KK Ririn Hanjar Susilowati yang merupakan Ketua Yayasan Spasi. Ibu L meninggalkannya sejak bayi.

Ririn menjelaskan meski M tidak memiliki KK hal itu tidak masalah karena sudah memiliki nomor induk kependudukan. Namun, ketika M membutuhkan KTP atau KK kelak, baru menemui masalah.

Berbagai upaya telah dilakukan Ririn untuk membantu M supaya tercatat di KK. Salah satunya mengajukan KK Yayasan Spasi ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Sragen.

Belum Ada Solusi

Disdukcapil Sragen meminta pengurus yayasan untuk membuat KK dengan menyertakan nama kepala keluarga. Sedangkan para pengurus tidak ada yang menempati kantor yayasan dan tinggal di luar Kecamatan Sragen. Mereka juga belum bersedia mencatat M pada KK karena faktor keluarga.

Baca Juga: 5 Provinsi dengan Penderita Baru HIV dan AIDS Tertinggi di Indonesia

Ririn memohon KK dengan memakai nama yayasan saja atau tanpa kepala keluarga. Sebab, saran dari Disdukcapil itu menyulitkan pengurus LKSA. Sejauh ini, dia belum mendapatkan jawaban atau solusi dari Disdukcapil Sragen.

“Kan KK [orang tua kandung] ada di desa. Pengambilan anak ini dengan sepengetahuan kepala desa, keluarga, saksi-saksi. Kalau ada masalah kependudukan, kami akan kembalikan ke desa. Di sini hanya sebatas mengasuh,” paparnya.

Adapun M sampai ke Spasi bermula saat kedua orang tuanya divonis positif HIV pada 2017. M ikut dites HIV bersama kakaknya. M positif sementara kakaknya negatif HIV.

M berasal dari keluarga miskin. Kondisi rumahnya  tidak layak huni. Selain atap rumah bocor, ayam dan bebek menjadi satu dengan tempat tidur M dan keluarganya. Pemerintah, PT Pegadaian, dan PMI Sragen sempat membantu merenovasi rumah keluarga M.

Baca Juga: Kesadaran Warga Jogja untuk Deteksi Dini HIV&AIDS Masih Rendah

Tak cukup terdampak ekonomi, keluarga tersebut dikucilkan warga dan keluarga besar sejak divonis mengidap HIV. Ibu M lantas meninggal dunia setelah sempat menjalani pengobatan. Bapak M yang kondisi kesehatannya tiba-tiba memburuk menyusul kepergian istrinya.

Keadaan itu membuat keluarga besar terguncang dan merawat kakak M. Sementara M tetap tidak diterima keluarga tersebut. Keluarga memasrahkan M kepada Spasi. Diskriminasi masih dialami M dengan indikasi jarangnya keluarga menjenguk M di LKSA Spasi. Terlebih belum sekalipun saat pandemi Covid-19.

“Kami dan Lentera [Panti Asuhan Rumah Lentera di Kota Solo] punya sistem berbeda. Di Lentera, anak boleh tinggal di sana selama-lamanya. Kalau kami tidak. Kalau keluarga sudah mau dan mengambil anak itu kami persilakan. Kami tidak mengambil alih hak anak, mau hidup di mana saja kami serahkan pihak keluarga,” jelas Ririn.

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No.21/2013 tentang Pengasuhan Anak, pengasuhan oleh LKSA merupakan pengasuhan berbasis residensial dan menjadi pilihan terakhir serta bersifat sementara.

Baca Juga: Sudah Lebih dari 3.000 Kasus HIV/AIDS Ditemukan di DIY

Sebagai informasi, HIV merupakan virus yang dapat merusak kekebalan tubuh manusia sehingga rentan terhadap penyakit. Sedangkan AIDS merupakan akumulasi dari gejala yang timbul akibat HIV tersebut.

Sejumlah komunitas mengampanyekan untuk tidak mendiskriminasikan atau tidak menjauhi ODHA. HIV hanya ditularkan melalui empat cairan saja, seperti darah, vagina, sperma, dan air susu ibu.

Anak dengan HIV Dibuang

Ketua Forum Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA)-LKSA Sragen, Sie Ageng Pramudi Hamzah, mengatakan kondisi anak pada LKSA berbeda-beda, antara lain anak yatim masih punya ibu, anak piatu masih punya bapak, dan yatim piatu masih punya paman dan pakde. Dia pernah mendengar dari para anggota forum tentang penelantaran anak.

“Ada juga anak dibuang. Anak yang dibuang rata-rata mengikuti KK ketua yayasan. Bukan yayasan, namun ke pengurus yayasan. Disdukcapil bisa mengusahakan. Namun atas nama yayasan enggak bisa, harus ada salah satu keluarga yang mengadopsi,” paparnya.

Baca Juga: Kasus HIV Terus Bertambah, Usia Ini Paling Rentan Terinfeksi

Akan tetapi, lanjut Ageng, kebijakan mengenai administrasi kependudukan (adminduk) bagi anak yang terlantar kembali kepada yayasan masing-masing. PSAA-LKSA tidak ikut campur dalam kebijakan internal masing-masing anggota yang jumlahnya ada 15 lembaga di Sragen.

Menurut dia, adminduk, antara lain KK, sangat penting bagi anak-anak untuk mengurus KTP atau sebagai syarat mendapatkan bantuan dari program pemerintah/pelayanan publik yang dikelola pemerintah.

“Umur anak untuk batasan di LKSA 17 tahun atau 18 tahun. Umur 19 tahun sampai 20 masih bisa. Data 17/18 tahun namun anak kuliah masih di panti enggak masalah tergantung kebijakan di panti. Rata-ratakan dikuliahkan setelahnya pengabdian, mungkin biasanya sampai satu tahun,” jelasnya.

Ageng mengatakan panti asuhan dilakukan dengan dua cara berupa asuhan dalam dan pengasuhan keluarga. Asuhan dalam berupa anak tinggal di panti. Sedangkan pengasuhan keluarga yakni anak tinggal bersama keluarga masing-masing. “Anak terdata, kalau ada bantuan atau apa tersalurkan LKSA ke anak dalam pengasuhan keluarga. Itu diperbolehkan namun datanya di LKSA,”paparnya.

Upaya Pemkab Sragen

Terpisah, Kepala Disdukcapil Sragen, Adi Siswanto, mengaku segera melacak data M untuk memastikan administrasi kependudukannya. Dinas akan berupaya agar data anak itu dapat dimasukan dalam KK. “Jangan sampai ada warga Indonesia sampai tidak terkaver,” paparnya.

Adi mengatakan ada regulasi yang mengatur mengenai anak dengan kondisi usia belum 17 tahun dan belum menikah tidak bisa memiliki KK sendiri. Ada sejumlah opsi supaya M tercatat dalam KK.

Sejumlah opsi, antara lain salah satu pengurus Spasi memasukkan M dalam KK-nya. M hanya menempel pada KK pengurus yang tinggal di luar kecamatan Sragen dan M tinggal di Spasi.



“Kalau tidak mau ya mungkin kami pendekatan kepada keluarga kenapa tidak dijadikan satu dengan kakaknya itu. Apa sih kendalanya hanya dititipi data saja bukan fisiknya. Bocahe kan di yayasan, masak ya tegel,” ungkapnya.

Opsi lainya, salah satu pengurus menjadi kepala keluarga dan tinggal di Yayasan Spasi.

Menurut Adi, soal adminduk buat anak telantar terutama ODHA atau yang lahir tanpa identitas bersifat kasuistik. Namun, dinas mencari solusi dari setiap kasus dengan melibatkan semua pihak berkepentingan melalui Pusat Kesejahteraan Sosial Anak Integratif (PKSAI) Sragen.

“Namun kami harus dilapori supaya dapat merekam data. Kami melibatkan tokoh masyarakat setempat untuk membantu. Kerja sama dengan keluarga,” ungkapnya.

Adapun PKSAI Sragen didirikan Pemkab pada 2020 untuk memberikan pelayanan kepada anak rentan bersifat terpadu dan berkelanjutan. Sejumlah kategori anak rentan, antara lain belum tercatat adminduk, yatim, piatu, yatim piatu, pasien penyakit kronis, anak keluarga miskin, anak berhadapan dengan hukum, disabilitas, dan anak usia sekolah namun tidak bersekolah.

Pekerja Sosial Dinas Sosial Kabupaten Sragen Urbanyah Eko Sakti menjelaskan PKSAI telah membantu lima anak terkait adminduk, Senin (4/1/2022). Dia memperkirakan masih banyak anak yang bermasalah terkait adminduk namun belum terlaporkan.

“Kadang orang tuanya kebanyakan nikah siri. Terus ada kecelakaan [hamil diluar nikah] kemudian gak punya bapak mungkin malu dulu-dulunya. Bapaknya tidak mengakui akhirnya seorang ibu punya anak dimintakan mungkin malu ditanya bapaknya siapa harus ada,” jelasnya.

Menurut dia, sejumlah upaya petugas untuk membantu anak rentan, antara lain akses adminduk, memberikan rujukan sehingga bebas biaya kesehatan, bantuan hukum, dan akses ke PSAA-LKSA Sragen.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya