SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Hasil laboratorium dia serahkan kepada lelaki rekannya. Perempuan itu lantas memukul-mukul perlahan kepalanya hingga rambut hitamnya yang terikat tali menjadi tergerai lepas. Matanya merah. Bermenit-menit dia tak bicara.

Rekannya lantas pergi ke apotek untuk membeli obat yang tercantum di resep.

Promosi BRI Group Berangkatkan 12.173 Orang Mudik Asyik Bersama BUMN 2024

Hampir setengah jam kemudian perempuan itu mulai memiliki kekuatan untuk bercerita tentang anak balitanya yang kini berusia 3,5 bulan. Bayi itu mengidap HIV tertular dirinya.

Ingatnya melayang pada kejadian lima-enam tahun lalu. Saat Ratih, sebut saja begitu, memiliki pasangan seorang mengidap HIV.

“Saat itu saya masih sangat muda, belum pernah mendapat edukasi mengenai HIV/AIDS dan bagaimana cara berperilaku seks yang sehat. Tanpa kondom sebagai pengaman, saya memang sangat berisiko tertular penyakit pasangan yang kini sudah meninggal,” ujarnya bertutur kepada Espos, pekan lalu.

Lalu pada 2010, Ratih menderita diare hampir satu bulan tanpa henti. Mulutnya penuh luka seperti sariawan. “Saya juga mengalami pembengkakan di sekitar leher. Dari hasil pemeriksaan di RS, ketahuan saya menderita AIDS,” ujarnya.

Ratih terguncang. Namun yang lebih mengguncangkan hidupnya adalah anak keduanya yang lahir pada 2008 secara normal ternyata mengidap HIV. “Saat hamil saya belum tahu kalau saya ini menderita AIDS. Kalau saya tahu, anak saya itu tak akan saya beri ASI dan persalinan harus dilakukan secara caesar.”

Dua cobaan belum berlalu. Ratih harus menghadapi cobaan lain. Sore itu, dokter memvonis anaknya harus segera mengonsumsi ARV supaya stadiumnya tak naik menjadi AIDS. Namun efek samping dari mengonsumsi ARV itu, lambung anaknya tak akan kuat.

“Karena sejak balita mengonsumsi ARV, kata dokter, lambung anak saya tidak akan kuat dalam waktu yang lama. Oleh sebab itu, saya diminta lapang dada untuk melepaskan anak saya 15 tahun lagi. Harus ikhlas mengembalikan dia kepada Yang Kuasa,” tuturnya.

Vonis bertahan hidup hingga 15 tahun lagi diakui Ratih membuatnya berkali-kali berpikir. “Sementara ini saya tak mau membayangkan membeli ARV karena saya belum ikhlas dengan deadline hidup yang diberikan dokter. Toh saya lihat anak saya juga masih lincah sampai sekarang,” ujarnya.

Terapi obat dan vitamin, sambung Ratih, kemungkinan besar akan ia pilih. Apabila perkembangan dari hari ke hari bukan bertambah baik melainkan sebaliknya, Ratih mengaku akan mempertimbangkan saran dokter.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya