SOLOPOS.COM - Andi Andrianto (FOTO/Istimewa)

Andi Andrianto (FOTO/Istimewa)

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pegiat di Mozaik Institute
Jogja

Negarawan Jusuf Kalla (JK) pernah berkomentar di televisi yang menurut saya cukup menggelitik. Kata JK,”Politik itu baik. Berdagang juga baik. Tapi yang tak baik memperdagangkan politik.” Di dunia politik, logika dagang memang begitu kuat. Hal ini karena hampir semua partai politik (parpol) di negeri ini dihuni pengusaha. Menurut data dari berbagai sumber, 60% parpol dikuasai pedagang/pengusaha.
Dominasi pengusaha dalam parpol telah mengubah halauan politik, warna, visi, orientasi, ideologi dan basis massa parpol lebih pada kepentingan dagang daripada menciptakan iklim parpol yang lebih sehat. Dengan kalimat lain, keberpihakan parpol kini lebih menghamba pada kepentingan uang.
Alhasil, berbicara parpol tak dapat melepaskan wacana uang di baliknya. Dari situ, demokrasi yang diciptakan parpol bersifat semu, kamuflase dan bahkan nihil. Mereka (baca: parpol) kerap menjadikan konstituen sebagai komoditas untuk mendulang suara. Apa pun dilakukan parpol, termasuk melakukan praktik money politics, demi menggalang simpati publik.
Keberpihakan parpol terhadap rakyat sebatas teater dan sandiwara politik dari para elite. Sudah bukan rahasia umum, tiap momentum demokrasi (pemilu atau pilkada) elite parpol mengelu-elukan rakyat. Namun, ketika kepentingan parpol dicapai, bak pepatah kacang lupa kulitnya. Rakyat kembali dicampakkan parpol.
Begitulah potret kesetiaan parpol, hanya pada uang, kekuasaan, kelompok dan juga pada pribadi, bukan pada rakyat. Di titik ini, tesis Indra Tranggono menemukan kebenaran. Uang merupakan produk kebudayaan paling buruk dalam sejarah umat manusia.

Pembusukan Demokrasi
Kesetiaan parpol pada uang telah merusak tatanan demokrasi. Prinsip dan substansi demokrasi–kesejahteraan dan keadilan rakyat dapat dipenuhi para elite parpol sebagaimana janji-janji politik mereka–jauh dan melenceng dari rel ideal. Dengan kalimat sinis, terjadi pembusukan demokrasi oleh parpol melalui virus uang.
Kesadaran masyarakat diinjeksi dengan iming-iming uang, korupsi elite partai seperti yang dilakukan Muhammad Nazaruddin di tubuh partai penguasa, maraknya politik transaksional (jual-beli kepentingan), tiada komitmen petinggi parpol terhadap konstituen dan amanah konstitusi, merupakan imbas dari pendidikan politik uang yang dilakukan parpol di era demokrasi saat ini.
Maraknya politik uang dalam tubuh parpol benar-benar telah merusak wajah dan cita-cita demokrasi di negeri ini. Kesatuan bersama antarparpol tidak lagi dibangun dalam kerangka ideal: visi kebangsaan, Pancasila dan nasionalisme. Namun, pemeo keuangan yang maha kuasa telah mempertemukan parpol dalam kondisi yang disebut Thomas Hobbes homo homini lupus (menjadi serigala bagi sesama).
Kini, wajah parpol seperti monster, bahkan serigala. Begitu mengerikan. Rakyat dimangsa tanpa ampun. Lihatlah siklus yang terjadi. Pendidikan politik parpol terhadap rakyat telah membentuk nalar serta perilaku konstituen menjadi serba pragmatis. Rakyat disuruh memilih dengan imbalan materi.
Tanpa sadar, praktik demikian telah menciptakan kultur korup dalam budaya masyarakat. Itu artinya ”pelembagaan korupsi” secara berjemaah dalam kehidupan sosial masyarakat tak lepas dari peran parpol. Tak sampai di situ saja, kebusukan parpol telah melembaga dalam struktur maupun sistem infrastruktur negara.
Nyanyian mantan bendahara umum partai penguasa telah membuka tabir kelam sepak terjang parpol yang mengklaim diri mendapat 60% legitimasi rakyat dalam pemilu 2009. Dari testimoni Nazar muncul istilah partai pengeruk APBN/APBD. Memilukan bukan?
Kebusukan parpol didorong syahwat uang dan kekuasaan. Demi semua itu, parpol menghalalkan segala cara. Pengingkaran terhadap cita-cita demokrasi dianggap biasa. Masa bodoh dengan idiom vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan). Kepentingan bangsa menjadi bahan transaksi demi target pribadi maupun kelompok. Begitulah potret parpol kini.

Dilematis
Di tengah kondisi parpol seperti itu, publik dihadapkan pada kondisi rumit, yakni tak kuasa menolak eksistensi parpol sebagai konsekuensi sistem demokrasi. Dalam negara demokrasi, keberadaan parpol adalah keniscayaan. Persoalan parpol mempraktikkan politik uang, itu perkara lain. Dilematis bukan?
Lantas apa yang dapat kita lakukan? Dalam jangka pendek kritik terhadap praktik culas (baca: penghambaan (elite) parpol pada uang) parpol  harus tetap digelorakan guna membangun kesadaran kolektif masyarakat bahwa telah terjadi disorientasi parpol. Paling tidak, cara ini dapat merangsang pemikiran publik untuk tahu realitas parpol sesungguhnya. Tujuannya supaya masyarakat tak hanya dijadikan komoditas politik.
Selain itu, dalam jangka panjang, kritik membangun terhadap parpol dapat menjadi sarana untuk merumuskan langkah strategis pembenahan sistem parpol yang sehat dan demokratis di masa depan.
Sudah saatnya pembusukan demokrasi yang dilakukan parpol lewat politik uang dipangkas hingga ke akar. Memperdagangkan politik hanya akan menjebak negeri ini ke dalam jurang politik transaksional, praktik korupsi dan pengingkaran terhadap janji konstitusi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya