SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Laporan  seni budaya di Harian Solopos edisi 1 Februari 2023 bertajuk Industri Musik Sekarang Parah yang ditulis Ichwan Prasetyo memantik kegelisahan saya perihal produk musik yang membeludak, membanjiri tanpa ampun ruang-ruang publik sejak kanal reformasi dibuka.

Kedigdayaan teknologi digital yang hadir memberi ajang seluas-luasnya bagi kreator-kreator baru di bidang musik, maka semakin akutlah kegelisahan saya. Setidaknya ada empat catatan menarik dari tulisan tersebut.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pertama, di industri musik Indonesia sekarang semua proses dan kerja semata-mata bertujuan untuk populer, hanya bertujuan agar secepatnya ngehits. Kedua, tak ada gairah, kehendak, dan motivasi untuk membuat album yang everlasting atau awet.

Ketiga, dalam 10 tahun terakhir sangat sulit menemukan lagu-lagu ngehits yang bisa bertahan lebih dari tiga tahun. Keempat, elan vital berkesenian di kalangan musikus dan band masa kini telah menipis, semata-mata memburu popularitas, bukan untuk berkesenian secara utuh.

Pernyataan yang disampaikan oleh Katon Bagaskara dan kawan-kawan dalam kelompok musik KLa Project itu saya lihat sebagai cetusan yang jujur walaupun terasa pahit dan menggigit. Ibarat seorang dokter, Katon telah menunjukkan diagnosis atas “penyakit” si pasien.

Hanya saja Katon tak secara eksplisit memberikan obatnya, kecuali bahwa dengan kritik keras semacam itu dia berharap pekerja musik di negeri ini mau berbenah diri, kembali ke ”jalan yang benar”.

Kegelisahan Katon dan kawan-kawan (juga kegelisahan saya) tampaknya begitu gamblang, begitu terang-benderang, namun sejatinya tak sesederhana itu jika hendak mengurai pangkal persoalan dan sebab musababnya. Diperlukan pendekatan nonartistik.

Terlalu gampangan jika hanya mengurus hal-hal seperti nada-nada, struktur melodi, sistem interval, bahkan otak-atik lirik. Ada sejumlah variabel eksternal yang meliputi berbagai aspek terutama kecenderungan hidup manusia modern (termasuk manusia Indonesia) abad ke-21 ini.

Karut-marut dan pelbagai problematika kehidupan yang sering tak terselesaikan, bahkan menyiksa, membuat manusia memiliki penghayatan yang tak lagi sublim. Ada elemen batin yang berbicara. Raymond Williams (1977) menyebut structures of feeling, yang tentu tak bisa diseragamkan atau digebyah-uyah.

Tentang produk musik atau lagu-lagu yang kacangan, sekali dikunyah habis, sama sekali tak menyisakan resonansi di relung hati penikmatnya, kiranya bisa dijelaskan oleh teori-teori Hauser (1985) dalam buku The Sociology of Art. Terutama hubungan antara seniman dengan masyarakatnya.

Alangkah naifnya membandingkan karya musik masa kini dengan masa lampau. Dahulu, industri musik hanya terdiri dua panggung besar: rekaman dan pergelaran atau konser. Panggung adalah sarana ekspresi musik paling tua, rekaman menyusul kemudian (lihat: Theodore K.S. (2013), Rock ‘n Roll Industri Musik Indonesia: Dari Analog ke Digital).

Kini, ketika teknologi digital dan media komunikasi berlari cepat maka pekerja musik seperti menemukan surga baru untuk berkiprah. Jauh sebelum para pengamat musik mengemukakan kekhawatiran ihwal perkembangan musik yang melanda di seluruh jagat raya, tiga dasawarsa yang lampau Frederick Jameson, pakar teori budaya kelahiran Ohio, Amerika Serikat, telah menguak gelagat sepak terjang dunia musik yang liar dan akan semakin liar itu.

Romantisisme

Dalam buku Postmodernism or Cultural Logic of Late Capitalism (1991), Jameson dengan tajam memberikan ulasan tentang musik pada era postmodern, yang mau tidak mau, suka tidak suka mesti berkelindan dengan media.

Tatkala kapitalisme semakin kuat mencengkeramkan kuku-kukunya, maka musik sebagai produk budaya tak mampu melepaskan diri dari hegemoni media. Pada gilirannya musik akan menjadi barang-barang komoditas seperti mobil, rumah, hewan ternak, bahkan handuk dan sandal japit.

Jemeson semakin yakin bahwa efek komodifikasi karya seni (termasuk musik) membuat peran media akan semakin kuat guna mendorong produk-produk seni paralel dengan kepentingan-kepentingan ekonomi.

Hegemoni media pada era postmodern, kata Firat (2001), akan membetot konsumen untuk berevolusi, dari yang semula berstatus homo economicus menjadi homo consumericus. Ini adalah transformasi budaya.

Budaya komersial mendapatkan legalitas dan jubah ”kehormatannya” sebagai budaya baru. Tanpa ewuh-pekewuh, apalagi, alih-alih, nggetuni (menyesali). Jangan lagi ngomong pententang-petenteng soal idealisme.

Ini bukan zaman Yunani Kuno yang mengagung-agungkan Aphrodite sebagai Dewa Musik. Pengetahuan dasar tentang sistem pekerjaan bermusik sebagaimana diajarkan orang-orang Yunani, dan kemudian dilanjutkan oleh bangsa Romawi, telah memasuki penafsiran berbeda (saya tak ingin mengatakan salah, kecuali salah kaprah) pada abad kini.

Jangan bayangkan romantisisme ideologi musik sebagaimana zaman lampau, ketika seniman terninabobokan oleh ilusi yang jauh dari uang yang menyejahterakan dirinya sebagai kaum profesional. Toh, kita tidak ingin mendapati lagi Mozart dan Schubert yang meninggal dalam keadaan miskin papa dan sama sekali berbanding terbalik dengan keharuman namanya.

Lalu apa yang masih hendak dipersoalkan? Termasuk empat catatan dari Katon dan kawan-kawan itu? Menurut hemat saya, jalan tengahlah yang paling memungkinkan untuk ditempuh. Kita tidak mungkin memaksa para musikus tidak menggandrungi ”dewi rupiah” agar kembali menciptakan musik-musik yang berkualitas, berbobot, dan kelak menjadi everlasting.

Kita tidak mungkin memaksa penikmat musik (konsumen) belajar pada Miller (2017) tentang bagaimana menjadi pendengar musik yang benar. Kita memang tak usah bermimpi ingin menonton para remaja Indonesia bisa seperti remaja Singapura yang kelompok konsernya mampu menyuguhkan Egmont Ouverture Op. 84 karya Ludwig van Beethoven dengan begitu apik.

Egmont Ouverture yang digubah pada 1809 itu masuk jajaran karya simfonis terbaik Beethoven yang tidak gampang ditafsirkan. Komposisi musik nomor itu syairnya terinspirasi oleh sajak-sajak penyair besar Jerman, Johan Wolfgang von Goethe.

Jalan tengah itu, dalam bahasa Jawa, berbunyi ngono ya ngono nanging aja ngono (sering dipelesetkan menjadi ngono ya ngono nanging aja semono). Maksudnya, dalam konteks tulisan ini, silakan mencari uang sebanyak-banyaknya dari musik, tapi sekali waktu buatlah lagu yang tidak kacangan, cengeng, dan cuma memuaskan selera rendahan.

Ah, daripada pusing-pusing mari dengarkan saja Release Me yang didendangkan Engelbert Humperdinck dan Bengawan Solo karya  Gesang. Itu dua lagu yang telah terbukti melintasi zaman dan benua, Bos!



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Februari 2023. Penulis adalah doktor kajian seni, esais, sastrawan, dan budayawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya