SOLOPOS.COM - Vivi dan mukena tiedye produksinya. Usaha ini baru melejit tahun ini. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Vivi dan mukena tiedye produksinya. Usaha ini baru melejit tahun ini. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Dulu, rukuh atau mukena tak tersentuh dunia fashion, hanya sebagai perlengkapan salat bagi muslimah. Kini, mukena tampil beragam, menjadi komoditas yang penuh warna. Menjelang Ramadan, penjualan mukena meningkat.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di Solo, beberapa orang melihatnya sebagai bisnis yang menarik untuk dicoba, baik sebagai musiman maupun sepanjang tahun. Salah satunya adalah apa yang dilakukan Vivi Ummu Hani. Perempuan 28 tahun dari Semanggi, Pasar Kliwon, Solo, mencoba peruntungannya menjadi produsen mukena, menjelang Ramadan ini.

“Sebenarnya tahun kemarin kami sudah sempat bikin mukena batik tapi belum terlalu besar. Baru tahun ini kami merasakan boom-nya,” ungkap Vivi saat ditemui rumahnya, Jl Serayu No 179, Semanggi, Jumat (29/6) lalu.

Sebelum menggeluti bisnis mukena, Vivi lama bergerak dalam produksi busana muslim. Usaha busana muslimnya bisa dibilang sudah mapan, dimulai sejak tujuh tahun lalu. Kini, usaha tersebut masih eksis. Namun karena permintaan pasar, produksi utama Vivi sekarang adalah mukena.

Dengan peralatan dan karyawannya yang sudah ada sebelumnya, Vivi siap memproduksi mukena dalam jumlah banyak. Yang mereka produksi pun bukan mukena biasa, melainkan berwarna-warni dengan berbagai motif.

“Kami khusus memproduksi mukena jumput atau dikenal dengan mukena tiedye. Yang ini memang lagi tren, selama ini kan orang hanya mengenal mukena putih biasa,” kata Vivi.

Dari awal, usaha ini memang butuh modal yang agak besar. Awalnya Vivi memulainya dengan memproduksi 120 kodi. Modalnya saat itu kain 15.000 meter dan beberapa perlengkapan lain yang total nilainya Rp120 juta.

Bersama Zainab, 22, kerabatnya yang membantunya dalam pemasaran, Vivi merasakan naiknya pasar mukenanya. Produksi mukena mereka yang 50-80 kodi setiap pekan sudah dipesan para pelanggan sebelum jadi. Produksi mereka saat ini belum cukup untuk memenuhi seluruh permintaan pasar.

Maklum, meskipun usaha ini melibatkan sepuluh orang dalam pembuatan dan pemasaran, produksi memang tidak secepat pembuatan mukena di pabrik konveksi besar. Hal ini disebabkan karena mereka membuat mukena dari bahan baku yang belum siap pakai.

“Kami mulai dari kain santung kualitas I yang kami peroleh dari pabrik. Kemudian kain itu harus diputihkan dahulu di pabrik saya. Baru masuk ke sini untuk dipotongi.”

Setiap mukena biasanya membutuhkan 4,5 meter kain. Desain dan ukuran ditentukan oleh mereka. Baru setelah dipotong-potong, kain-kain tersebut diserahkan ke pegawai yang bertugas memberi warna.

Handmade

Bisa dikatakan proses pembuatan mukena ini tergolong manual dan handmade, khususnya dalam hal pewarnaan. Untuk pewarnaan, Vivi dan Zainab tidak melakukannya sendiri tapi melibatkan sejumlah warga di sekitar rumah mereka. Setiap hari mereka mengambil potongan-potongan kain dari rumah Vivi untuk dikerjakan di rumah masing-masing.

Pewarnaan tidak memakai teknik cap atau printing seperti halnya batik. Mereka menggunakan teknik jumput untuk menghasilkan warna dengan motif tertentu. “Kain ini diambil kemudian diputar, baru kemudian dicat. Ini akan menghasilkan motif seperti bunga,” terang Zainab.

Setelah proses pewarnaan selesai, kain-kain tersebut dikirim kembali kepada Vivi untuk dijahit. Proses tersebut dilakukan sepenuhnya di belakang rumah Vivi hingga sampai finishing oleh beberapa penjahit.

Soal penjualan, baik Vivi maupun Zainab tidak kesulitan mencari pasar. Mengikuti tren penggunaan jejaring sosial di kalangan anak muda, mereka juga memakai beberapa jejaring sosial untuk mendapat pesanan. Zainab memakai akun Facebook untuk menawarkan produk baru dan menerima pesanan. Selain itu dia juga memanfaatkan iklan gratis di internet dan berhasil menjaring pemesan dari Jakarta, Kalimantan, Aceh dan Makasar. Sementara itu Vivi memakai Blackberry untuk menawarkan  produk melalui  Blackberry Messenger (BBM).

“Pemasaran lebih gambang karena melalui internet, makanya kebanyakan [pemesan] berasal  dari luar Jawa dan Jawa Timur,” ujar Zainab.

Bisa dibilang, usaha musiman ini cukup memuaskan mereka. Pasalnya saat mencoba bisnis mukena batik tahun lalu, hasilnya tidak sebesar tahun ini. Mereka berencana untuk mencoba peruntungan kembali tahun depan. Tentunya akan ada penyesuaian jenis mukena apa yang nantinya akan diproduksi. Mereka sadar bahwa bisnis mukena kini sudah seperti bisnis fashion karena harus menyesuaikan perkembangan tren. Tahun depan tren mukena mungkin bukan lagi mukena jumput.

“Kami coba lagi tahun depan, sama-sama mukena tapi nanti bisa beda lagi,” lanjut Vivi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya