SOLOPOS.COM - Sholahuddin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Dulu, setiap menjelang Muktamar Muhammadiyah, selalu ada diskusi menarik di keluarga saya, terutama saat ayah saya masih hidup. Ayah saya aktif di Muhammadiyah, ibu saya aktif di Aisyiyah. Begitu pula anggota keluarga lainnya. Yang masih saya ingat adalah momentum  menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Kota Solo tahun 1985.

Muktamar Muhammadiyah ke-41 menjadi muktamar krusial karena menyangkut keputusan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Muktamar yang mestinya digelar pada 1983 terpaksa mundur pada 1985 karena banyak pertimbangan.  Saat itu saya hanya menjadi pendengar saat ayah dan kakak-kakak saya berdiskusi.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Maklum, belum nyambung dengan tema diskusi. Waktu itu saya bingung, apa itu muktamirin? Apa itu penggembira? Dua hal tersebut sering menjadi bahan diskusi bersama tema lainnya. Saya baru tahu muktamirin adalah para peserta muktamar. Penggembira adalah warga Muhammadiyah yang hadir ikut menyemarakkan perhelatan akbar persyarikatan ini.

Mereka bukan peserta muktamar. Sekadar ”tim hore”. Kini, 37 tahun kemudian, tema ”penggembira”  muncul kembali menjelang muktamar ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah pada 18-20 November 2022 di Edutorium K.H. Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kota Solo menjadi tuan rumah muktamar tiga kali, masing-masing pada 1929 (muktamar ke-18), tahun 1985 (muktamar ke-41), dan muktamar ke-48 mendatang. Diperkirakan ada sekitar tiga juta penggembira yang akan hadir.

Saya tidak bisa membayangkan penduduk Kota Solo yang berjumlah 522.728 orang (surakartakota.bps.go.id) kedatangan tamu hingga tiga juta orang. Pasti heboh. Menimbulkan kemacetan, itu pasti. Tapi, saya yakin tamu tiga juta orang ini akan menjadi berkah bagi Kota Solo dan sekitarnya.

Mereka tidak hanya datang, tapi juga butuh penginapan, butuh makan dan minum, butuh oleh-oleh, butuh mengunjungi tempat wisata. Mereka juga akan menggunakan transportasi publik di Kota Solo.

Ah, andai ayah saya masih hidup,  pasti dia gembira dan bersemangat berdiskusi soal jumlah penggembira ini. Apalagi, lokasi muktamar Muhammadiyah di Kota Solo ini hanya 45 menit naik kendaraan dari kampung saya di Kabupaten Boyolali.

Para penggembira dari berbagai penjuru Indonesia itu hadir di Kota Solo atas dasar kerelaan. Para penggembira rela mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya untuk sesuatu yang mereka cintai. Mereka didorong rasa memiliki yang tinggi kepada persyarikatan. Mereka orang yang gembira, tidak punya pamrih lain.

Mereka tidak pula dimobililasi para calon ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Bukan tradisi di organisasi ini  para kandidat mengerahkan pendukung di arena muktamar. Tak ada tradisi pula kandidat pemimpin membangun citra. Saya tertarik istilah ”penggembira”  ini. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ”gembira” adalah suka; bahagia; bangga; senang.

Sedangkan ”penggembira” adalah orang (sekelompok orang) yang memberi semangat, dukungan, dan sebagainya kepada favoritnya yang bertanding, suporter. Penggembira pada muktamar Muhamadiyah adalah memberi dukungan kepada pelaksanaan muktamar, bukan dukungan kepada salah satu calon pimpinan.

Muhammadiyah punya mekanisme tersendiri dalam pemilihan pemimpin, sehingga bisa lebih adem dalam prosesnya. Ada dinamika organisasi, itu pasti. Tapi, semua dalam taraf kewajaran. Spirit berkemajuan itu menginspirasi setiap proses muktamar. Saat ingat penggembira, pikiran saya kemudian menjadi liar.

Lha, kok pelaksanaan muktamar Muhammadiyah ini juga menjelang perhelatan akbar pemilihan umum presiden dan pemilihan anggota DPR/DPRD/DPD di Indonesia. Muktamar ini sesungguhnya juga ”pemilu” ala  Muhammadiyah karena dalam acara ini ada momentum pemilihan para pemimpin pusat selain agenda-agenda lainnya.

Nalar Sehat

Saya membayangkan spirit penggembira di Muhammadiyah bisa menginspirasi perhelatan akbar pemilihan umum (pemilu) mendatang. Meski masih akan digelar pada 14 Februari 2024, kita tahu para tokoh yang berambisi maju dalam pemilihan presiden mulai memanaskan mesin. Bos-bos partai politik saling melobi untuk membangun koalisi.

Skenario pasangan calon presiden dan calon wakil presiden mulai diotak-atik. Para calon presiden mulai tebar pesona. Meski belum pasti skenario mereka akan benar-benar terwujud, para suporter kandidat presiden mulai saling sindir di media sosial. Tanda-tanda segregasi sosial mulai terlihat.

Saya berkhayal para calon yang akan maju di pemilihan presiden adalah orang-orang yang gembira. Orang gembira adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Tugas selanjutnya menggembirakan orang lain. Orang gembira memandang pemilu sebagai medan berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat), bukan untuk berebut memenuhi nafsu kuasa.

Orang gembira akan hati-hati saat berkata dan bertindak. Orang gembira akan mengikuti kompetisi ”berlomba dalam kebaikan” itu dalam batas wajar dengan nalar sehat.  Orang gembira akan mencari kawan koalisi agar sama-sama bisa menggembirakan rakyat. Tidak perlu mencitrakan diri berlebihan.

Tidak perlu mengasosiasikan diri dekat orang kecil hanya karena makan nasi pecel di warung. Ingat, makanan tidak mengenal kasta. Otak manusia saja yang diskriminatif terhadap makanan. Tidak perlu pula memanfaatkan sentimen primordial sebagai modal politik untuk mendulang suara. Apalagi, sowan ke tokoh yang lekat tindakan intoleran. Sudah kuno kawan…

Para pemilih bisa menjadi penggembira yang elegan. Sah-sah saja mendukung salah satu kandidat di pemilihan presiden. Tapi, dengan tetap menggunakan nalar sehat. Pendukung yang gembira tak akan mengultuskan calon yang mereka dukung, tak akan memosisikan seorang calon presiden bak malaikat.

Tak perlu pula menyebar hoaks dan fitnah untuk menyerang calon presiden yang lain. Pendukung yang gembira tak bakal mengotori dunia maya dengan informasi sampah. Politik adalah dunia panggung. Orang yang gembira menyikapi politik secara hati-hati. Ada hal yang lebih bermakna dalam hidup daripada sekadar preferensi politik praktis.

Kita tunggu episode selanjutnya. Kalau perilaku para calon presiden dan pendukungnya di pemilihan presiden nanti masih sama seperti tahun 2014 dan 2019, itu berarti mereka belum berubah. Bisa jadi mereka orang-orang yang sumpek hidupnya. Tidak gembira. Selamat (menjelang) bermuktamar, Muhammadiyah. Semoga spirit berkemajuan terus menggembirakan negeri ini….

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Oktober 2022. Penulis adalah pegiat di Solopos Institute)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya