SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Misal (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—“Kira-kira, jika kau menemukan duit sebanyak itu, berapa yang kau bagi padaku?” selidiknya lebih jauh lagi padaku. Mendengar pertanyaannya, aku terdiam cukup lama. Mengamati tiap garis di wajahnya.

Ia Muis. Kami bertemu karena keadaan, sama-sama miskin dan piatu. Inilah yang membuat kami hampir tiap waktu bersama kecuali ketika mandi dan buang air tentu saja. Keyatiman kamilah yang juga membuat kami saling memahami kemiskinan bersama. Ketiadaan kami yang sama.

Promosi UMKM Binaan BRI Ini Jadi Kuliner Rekomendasi bagi Pemudik di Pekalongan

Kata orang-orang di kampung, ibunya mati syahid ketika melahirkannya dan meninggalkannya bersama neneknya yang juga seminggu kemudian mati karena sakit muntaber. Ayahnya jangan ditanya, ia pergi entah ketika melaut bersama nelayan lain beberapa hari sebelum ia dilahirkan.

Mereka tak pulang-pulang, ayahku salah satunya. Lalu warga kampung menyimpulkan para nelayan itu mati dihantam badai. Menjelang kelahiranku, ibuku yang baik hati dan juga miskin itu memutuskan mengadopsinya. Tak seperti dia, aku sempat menghabiskan masa balitaku bersama ibuku meski pada akhirnya ibuku pun mati. Muis dan aku yang masih kecil kemudian diurus oleh nenekku meski ketika menginjak kelas terakhir kami, kelas tiga sekolah dasar, si nenek juga turut mati karena usianya yang sudah renta.

Sebagai orang yang memang tak jelas pekerjaan dan terlebih masa depannya, kami mendapat jadwal jaga malam lebih banyak daripada warga yang lain. Nama kami tercantum tiap malam sebagai petugas jaga malam di kampung kami.

“Kalian tak punya kerjaan, daripada nganggur lalu berbuat rusuh di kampung ini lebih baik kalian saja yang jaga malam. Lumayan, kalian bisa ngopi gratis!” Pak RT setengah teriak dari dalam ruang tamunya.

Saat itu, warga berkumpul di rumahnya untuk menyepakati jadwal jaga malam di kampung kami. Kami dipersilakan duduk di teras rumahnya bersama nyamuk-nyamuk yang hilir-mudik mengisap darah kami, sementara Pak RT dan warga yang lain duduk di sofa ruang tamu.

“Jadi bagaimana? Berapa yang kau bagi padaku?” tanya Muis lagi.

“Aku tak tahu persis”

“Kenapa? Kan kita saudara!”

Mendengar kalimatnya, aku kembali diam menerka-nerka apa yang ada di pikirannya. Matanya meruncing menatapku. Wajahnya mengetat lebih dari sebelumnya.

“Duit sebanyak itu, memangnya mau kau apakan?” tanyanya kembali tak pernah sabar.

“Segalanya,” sahutku pendek. “Apa saja. Segalanya dapat kulakukan dengan duit sebanyak itu! Aku bisa saja membeli rumah mewah, sawah, dan tentu saja mobil mewah lalu berumah tangga dengan gadis pujaan hatiku,” lanjutku kemudian.

“Oh iya… satu lagi, dengan duit sebanyak itu, aku bisa saja mengganti posisi ketua RT. Ah tidak…dengan duit sebanyak itu aku bakal mencalonkan diri sebagai kepala desa.”

“Kau mau menjadi kepala desa?” wajahnya condong melahap wajahku.

“Kenapa tidak? Uang segalanya di zaman ini. Bahkan setelah menjadi kepala desa, aku akan mencalonkan diri menjadi bupati, kemudian gubernur, lalu presiden,” tegasku padanya.

Muis mengangguk terkagum-kagum mendengar tekadku yang teguh itu. Kepalanya penuh dengan jabatan-jabatan yang akan kurengkuh nanti. Kopi yang telah dingin disesapnya kemudian lompak dikeluarkan dari saku bajunya.

Ia mengeluarkan tembakau dan kertas rokok berbentuk persegi panjang berwarna putih dengan gambar dan tulisan Orang Merokok dari dalam lompak. Dia lalu melinting tembakau, menjadikannya sebatang rokok, menyulutnya dan membuang jauh napasnya yang berubah menjadi asap.

Kemudian dengan wajah yang sangat sungguh, ia bertanya lagi padaku,“Terus? Bagaimana denganku?”

“Tentu… tentu aku tak akan melupakanmu,” jawabku padanya. “Aku akan memberikan posisi terbaik untukmu. Kita sama-sama miskin dan piatu dari dulu, tentu ketika aku kaya nanti, ketika aku sukses nanti, aku akan mengajakmu turut serta. Akan kunobatkan kau sebagai orang kepercayaanku dan di saat-saat pemilu nanti, kau akan kujadikan sebagai ujung tombakku. Ketua tim suksesku,” yakinku padanya.

Mendengar penjelasanku, ia kembali manggut-manggut seperti anak ayam mematuk sisa-sisa nasi. Lalu kembali menyesap rokok lintingannya lebih cepat dan lebih dalam serta membuang napasnya lebih jauh.

“Bagaimana menurutmu?” tanyaku lagi padanya.

“Hmmm…,” wajahnya mulai gusar, seperti ada yang mengganjal, lalu ia melanjutkan, “Berarti aku menjadi anak buahmu?”

“Orang kepercayaan!” tegasku.

“Tidak!” jawabnya cepat tanpa berpikir. “Aku tak mau bekerja padamu!” lanjutnya melotot padaku dengan nada cukup tinggi. “Aku tak ingin menjadi kacung dan kau menjadi atasanku!” tegasnya padaku.

“Kita harus membaginya, bagi dua!” lanjutnya dengan rona memerah.

“Kenapa kau semarah dan sengotot itu?”selidikku balik padanya.

“Aku tak mau diperintah olehmu karena kita sama-sama miskin dan piatu. Terlebih, usiaku juga lebih tua darimu!” tegasnya. “Seharusnya kau menghormatiku dan akulah yang seharusnya menjadi bosmu. Kau yang bekerja padaku!” jelasnya dengan wajah tak main-main.

“Tapi bukankah aku yang akan memungut uang itu?” selorohku padanya.

“Meski, tapi bukankah ada aku juga? Artinya kita seharusnya bagi dua,” jawabnya kembali dengan nada lebih tinggi.

“Kalau aku yang pertama melihatnya, bukankah aku yang berhak atas uang itu?” tanyaku lagi padanya.

“Kalau sebaliknya?” tanyanya balik padaku.

Baca Juga: Semangkuk Mi Instan yang Bercerita



Belum sempat kumenjawab pertanyaannya, ia kembali menodongku. “Atau begini, katakanlah meski kau yang melihatnya lebih dulu, lalu kau kalah dalam perebutan uang itu, bagaimana?” lanjutnya bertanya dan menyesap rokok lintingannya kembali.

“Eee….”

“Tak adil kan? Makanya kita harus bagi dua!” dengan cepat ia memotongku.

“Tidak bisa, aku yang lebih dulu melihatnya! Aku yang menemukannya!!” jawabku tak mau kalah, tegas dan keras.

“Tapi aku yang lebih dulu mengambilnya!” suaranya tak sudi mengalah.

Kami berebut, ribut dan sengit hingga ia melempar lompak-nya tepat mengenai pelipisku. Tak terima, lompak kulempar balik ke wajahnya dan tepat mengenai mulutnya.

Merasa lebih terhina, jarak duduk kami yang cukup dekat membuat tangannya tak susah payah meraih kerah bajuku. Tangan kirinya menarik kerah bajuku hingga napasnya yang cukup busuk itu tercium olehku.

Lalu tangan kanannya menggenggam sempurna dan dilayangkan ke wajahku. Karena sudah siap dan ia kalah cepat, aku berhasil menepisnya dan kakiku spontan melayang tepat mengenai lambungnya. Ia terjatuh dari pelangkan pos ronda tempat kami duduk dengan wajah mencium tanah. Sementara, aku langsung berdiri, bersiap melancarkan serangan berikutnya.

***



Sembari menikmati kopi Bu Maryam, seorang janda tua di kampung kami yang ditugaskan ketua RT untuk menyediakan kopi buat warga yang jaga malam, aku dan Muis berbincang tentang masa-masa di mana kami nanti akan kaya raya. Kami berdua cukup kesal dengan kemiskinan yang tak berujung. Seloroh kami tentu saja seputar berandai mempunyai rumah, istri yang aduhai, dan tentu saja anjing-anjing peliharaan yang makannya jauh lebih enak dan lebih mahal dari kami.

“Bagaimana bisa kita mendapatkan semua itu?” tanya ketus Muis.

“Bekerja tentu saja”

“Heh… kita sudah bekerja sekian tahun dan tetap saja miskin,” sahutnya.

“Kita sudah bekerja sebagai apa saja dan di mana saja, bekerja sebagai penggali kubur pun pernah. Kau tak ingat itu?” sambungnya bertanya, “Dan tentu kau pasti tahu. Kita tak pernah menjadi kaya raya meski kaya saja atau bahkan meski hampir saja,” tutupnya lalu nyengir dan menyesap kopinya.

Kalimatnya membuat kami diam dalam pikiran masing-masing hingga entah dari mana ide dalam kepalaku muncul begitu saja. “Bagaimana jika nanti aku beruntung?” tanyaku padanya.

“Beruntung seperti apa?”

“Bagaimana jika sepulang dari sini aku menemukan sebuah tas hitam dan isinya uang semua. 10 M misalnya!” jawabku semringah. “Aku pasti kaya raya, hahaha…” Aku girang bukan kepalang.

“Tentu kau tak akan memakannya sendiri kan? Tentu kau tak menemukannya sendiri kan?” tanyanya bertubi dengan wajah yang juga semringah dan membenarkan duduknya.



“Tentu, tentu aku tak akan memakannya sendiri dan tentu kau juga bersamaku,” jawabku meyakinkannya.

“Kira-kira jika kau menemukan duit sebanyak itu, berapa yang kau bagi padaku?” selidiknya lebih jauh lagi padaku. Mendengar pertanyaannya, aku terdiam cukup lama. Mengamati tiap garis di wajahnya.

***

Dari arah yang tak terduga, entah dari mana datangnya, tiba-tiba lenganku kiriku terdorong tangan kekar.

“Apa-apan kalian ini!” bentak ketua RT yang tiba-tiba datang dengan sarung berwarna merah dan dengan kopiah yang selalu lekat di kepalanya. Melihat yang datang itu Pak RT, tubuhku secara otomatis meringkuk, wajahku menunduk.

Muis yang terkapar berusaha berdiri membersihkan bagian tubuhnya yang terkena tanah dan memegang wajah lalu perutnya yang tertendang. Kami berdua terdiam, tak berusaha membela diri dan menyalahkan satu dengan yang lain.

“Kenapa kalian ini?! Bukannya jaga, malah berkelahi seperti anak kecil!” kembali pak RT bertanya dengan nada yang marah.

“Eee…”

“Kenapa!” Pak RT membentakku yang hendak menjawab.



“Dia yang duluan Pak RT, dia tak mau membagi uangnya kepadaku. Padahal Pak RT tahu kami berdua sama-sama piatu sejak kecil” sambung Muis tiba-tiba dengan lancar.

“Uang? Uang apa?” sambung tanya Pak RT.

“Uang [Rp] 10 M Pak RT” jawab Muis, sementara aku diam saja dan menuduk, mengaku salah telah menendang Muis hingga mencium tanah.

“Haaah…10 M?!” sahut Pak RT melotot tak percaya. “10 M?!” ulangnya lagi sambil menggoyang bahu si Muis.

Muis yang hanya mengangguk dan kemudian menunduk dengan wajah lesu. Lalu dengan wajah yang tiba-tiba berubah segar, Pak RT bersegera mengajak kami ke rumahnya. Sempat Muis dan aku berusaha menolak, namun karena yang mengajak kami ialah orang yang paling dihormati di kampung kami, kami tak berdaya.

Tak butuh waktu lama, kami sampai di rumahnya. Ia segera membuka pintu, menyilakan kami duduk di sofanya–dan itu kali pertama kami duduk di sofanya seumur hidup kami–lalu ia kembali lagi menutup pintu dengan rapat.

“Tunggu sebentar,” ucapnya dengan wajah berubah bahagia. “Oh iya, mau kopi, teh, atau sirup?” ucapnya sambil menunjuk ke arah kami dengan penuh senyum ramahnya.

“Eee…”

“Kopi saja ya” potongnya buru-buru kemudian meluncur ke dalam rumah.

Terdengar oleh kami dari ruang tamu tempat kami masih terdiam dalam pikiran kami masing-masing, ia meminta istrinya membuat tiga gelas kopi dan dengan wajah gempita ia kembali dengan tiga stoples penuh terisi berbagai macam makanan ringan.

“Sambil menunggu kopi, dicoba Nak,” ucap Pak RT menyilakan kami mencicipi isi dalam tiga stoples itu. Mendengarnya, kami spontan mengangguk dan mengiyakan berurutan. Masih dengan wajah menunduk aku melirik ke arah Muis yang juga melirik ke arahku. Kami tersenyum dan karena lapar kami langsung membuka tutup stoples dan melahap isinya.

“Pelan-pelan Nak,” ucap Pak RT yang mendapatiku terbatuk karena tersedak makanan dalam stoples.

Kopi datang dan Pak RT segera menyilakan. Kami yang sudah bosan menyesap kopi tawar buatan si janda tua yang rasanya seperti minum air got itu pun dengan segera menyesap kopi buatan istri Pak RT. Istrinya yang cantik mencoba duduk di samping Pak RT, namun dengan sigap Pak RT menyuruhnya meninggalkan ruang tamu.

“Jadi mana uangnya?” tanya Pak RT setelah istrinya tak meninggalkan jejak dan setelah wajahnya terlihat lebih tenang untuk memulai rasa penasarannya.
Mendengar pertanyaannya yang sangat tiba-tiba, aku dan Muis saling memandang, sementara wajah Pak RT terlihat begitu tak sabar.

“Eee…”

“Iya mana uangnya,” potong Pak RT padaku sekali lagi.

“Hmmm… misal Pak RT,” jawabku rendah dan langsung menunduk.

“Maksudmu?” selidik Pak RT.

“Eee…, iya Pak RT, semisalnya kami menemukan uang 10 M Pak RT,” sambung Muis sambil mengelus-elus lututnya.

Mendengar jawaban si Muis, seketika wajah Pak RT memerah padam. Kulit-kulit wajahnya terlihat sangat ketat dengan mata hampir melompat. Tangannya mengepal. Giginya bergeretak.

 

Hubbi S. Hilmi, lahir di Labuhan Haji, Lombok, NTB. Cerpen, esai, dan resensinya pernah dimuat di sejumlah media nasional maupun media lokal. Buku kumpulan esai pertamanya terbit dengan judul Silsilah Percakapan (Jejak Pustaka, 2022) dan sedang menyiapkan buku kumpulan cerpen perdananya yang berjudul Buku Panduan Wisata. Ia merupakan mahasiswa doktoral Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta dan tenaga pengajar di Universitas Khairun Ternate. Surel: hubbyshilmy@gmail.com. Akun Instagram: @hubbishilmi.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya