SOLOPOS.COM - Irfan Ansori (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar Mahasiswa kali ini, Selasa (7/7/2015), ditulis Irfan Ansori. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Kisruh sepak bola Indonesia masih belum menemukan titik terang. Kubu Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) masih belum sedia berlapang dada untuk duduk bersama mencari solusi terbaik.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Keduanya masih saling tuduh siapa yang menjadi biang permasalahan. Pada akhirnya rakyat menjadi kian apatis. Blunder besar justru dilakukan oleh Menpora. Tim transisi bentukan Menpora yang seharusnya dibekukan oleh putusan sela Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), justru hendak menggelar turnamen bertajuk Piala Kemerdekaan.

Selain tidak mengindahkan hukum, turnamen ini justru memakai statuta Federation Internationale de Football Association (FIFA) dalam peraturannya. Perlu saya tegaskan bahwa tulisan ini bukan untuk membela PSSI. Tulisan ini murni ekspresi kerinduan seorang pencinta sepak bola terhadap perbaikan sepak bola Indonesia.

Dengan bergulirnya berbagai wacana, niat Menpora untuk memperbaiki sepak bola Indonesia justru semakin layak diragukan. Niat perbaikan yang tampaknya malah membuka jalan menuju kehancuran.

Hal ini kian jelas setelah terkuaknya rekaman pembicaraan ”mafia sepak bola” yang konon berasal dari kantor Kemenpora. Kesan kehadiran mafia sepak bola, meski mungkin sebenarnya ada, pada akhirnya terasa dibuat-buat.

Kita menjadi curiga sikap Menpora selama ini hanya karena ingin membawa kesan bisa membuat ”kebijakan yang bersifat gebrakan”. Rakyat memang selalu menunggu kinerja nyata dari para pembantu Presiden Joko Widodo.

Kesan ”gebrakan” berhasil ditampilkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan membakar kapal asing pencuri ikan di laut Indonesia. Gebrakan juga nyata dilakukan Menteri Pendidikan dna Kebudayaan Anies Baswedan dengan menghentikan pemberlakukan Kurikulum 2013.

”Gebrakan” Menpora Imam Nahrawi ini sejuah ini hanya mengesankan pada tahap awal. Faktanya, setelah sekian lama kita tak kunjung mengetahui langkah perbaikan yang jelas, bahkan kesan yang terjadi adalah sebaliknya.

Menonton sepak bola adalah hiburan sebagaimana diungkapkan Eduardo Hughes Galeano (2015). Sepak bola membuat kita sejenak terbius melupakan kesengsaraan hidup yang sedang dialami.

Kaum pengangguran, kaum miskin, pengamen, pemulung, tukang becak, dan sebagainya menjadi amnesia dengan permasalahan kehidupan mereka: utang yang menumpuk, persediaan beras habis, sampai cicilan kredit yang belum lunas.

Menonton sepak bola adalah berkumpul. Setiap klub sepak bola memiliki pendukung (suporter). Mereka bersedia bersatu dalam bendera daerah maupun warna jersey (seragam klub). Para suporter bisa bersilaturahmi secara rutin pada setiap pertandingan digelar.

Meski terasa sangat primordial, namun sudah tertanam dalam benak masyarakat Indonesia, bahwa di sanalah kenikmatan serta keberkahan hidup berawal: mangan ora mangan, sing penting kumpul.

Saya berstatus mahasiswa yang berasal dari Jawa Barat. Setiap pekan, perkumpulan mahasiswa Jawa Barat se-Soloraya pasti memiliki agenda untuk berjumpa. Waktu pertemuan tentu menyesuaikan dengan jadwal Persib Bandung bertanding.

Suasana pertemuan penuh kebahagiaan, menyenangkan, terutama jika hasil akhir pertandingan Persib unggul atau menjadi juara turnamen seperti musim kemarin. Suasana itu kini telah tiada.

Pada peristiwa tersebut, kami akan sejanak amnesia dengan banyak hal tentang kehidupan kampus: tugas kuliah yang menumpuk, skripsi yang mangkrak, tunggakan SPP belum dibayar, pacar ngambek, hingga imajinasi ancaman para dosen killer.

Menurut budayawan Emha Ainun Najib (2014), fenomena psikologis suporter klub sepak bola Indonesia tidak dapat ditemui pada belahan dunia mana pun. Sebagai contoh, Bonek—sebutan bagi suporter Persebaya—berjumlah ribuan orang, namun tetap nekat berangkat ke Jakarta tanpa membawa bekal uang serupiah pun; demi menonton Persebaya bertanding. [Baca: Gembira]

 

Gembira
Sepak bola adalah mimpi. Salah satu stasiun televisi swasta pernah menayangkan tentang ”perlakuan” sepak bola di Papua. Bagi mereka, sepak bola adalah nomor tiga setelah Tuhan dan orang tua. Artinya, sepak bola merupakan urutan pertama yang menjadi modal bagi mereka untuk melangkah menuju masa depan, bahkan sampai mengalahkan arti pendidikan (sekolah).

Harapan anak-anak Papua adalah sepak bola. Sepak bola erat kaitannya dengan harga diri orang Papua. Sepak bola membawa imajinasi. Kelak, mereka akan memiliki kehidupan yang lebih layak dengan menjadi pemain sepak bola profesional. Sepak bola memberi harapan. Cristiano Ronaldo merupakan pemain sepak bola yang berasal dari gubuk kecil di tepi pantai Portugal.

Pada era modern ini, sepak bola adalah mata pencaharian. Para pemain sepak bola adalah ”karyawan” di klub masing-masing. Bakat-bakat pemain sepak bola adalah pundi-pundi prestasi yang bisa dikonversi menjadi beragam materi.

Kita bisa mendengar seorang pemain sepak bola dapat dibeli dengan harga fantastis. Lionel Messi dibanderol mencapai Rp8 triliun. Gila! Sepakbola adalah industri segalanya. Sepak bola terkait erat dengan industri siaran, industri jersey, industri iklan, industri penerbangan, industri hotel, serta banyak industri lain yang berkaitan dengan pemain sepak bola.

Industri yang semakin menebalkan kantong para kapitalis. Industri yang mengisap ”darah” para penikmat sepak bola. Harus diakui, sepak bola tak bisa dilepaskan dari mafia, namun bukan berarti kehadiran mafia harus menghancurkan semua.

Mafia harus diberantas, tanpa mengorbankan nasib para pemain yang menggantungkan hidup pada sepak bola. Ingat, sepak bola Indonesia justru berujung kehancuran melalui kesewenang-wenangan tindakan Menpora.



Paling tidak, kita bisa mulai membangun sepak bola, sebagaimana Jepang yang menggebrak melalui film Kapten Tsubasa. Imajinasi sepak bola sebagai perjuangan harga diri bangsa; sepak bola sebagai pemersatu berbagai rasa dan cinta; sepak bola adalah bahagia.

Bahagia bersama keluarga yang menonton sepak bola. Bahagianya para keluarga yang hidup dari sepak bola. Kami sangat menunggu kehadiran sepak bola (lagi), Pak Menpora!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya