SOLOPOS.COM - Mutimmatun Nadhifah (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar mahasiswa, Selasa (27/10/2015), ditulis Mutimmatun Nadhifah. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis IAIN Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Pada Rabu, 21 Oktober 2015, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta melalui dua organisasi mahasiswa intrakampus mendatangkan Dewi Sandra, artis film Air Mata Surga yang baru beberapa hari lalu tayang di layar lebar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Saya mengetahui acara yang dikemas dengan  tema Meet and Greet Bersama Pemain Film Air Mata Surga ini dari pesan pendek seorang kawan. Tepat pukul 10.00 WIB sebagaimana waktu yang terpampang di baliho di depan kampus, saya menuju Graha IAIN Surakarta, tempat temu tamu artis itu berlangsung.

Di baliho berwarna hitam, saya tidak hanya menemukan keterangan waktu, dua nama organisasi mahasiswa penyelenggara acara, iklan-iklan pendukung, atau juga nama kampus IAIN Surakarta beserta logonya, tapi saya juga menemukan foto Dewi Sandra dengan tatapan memesona!

Di Graha IAIN Surakarta saya bertemu mahasiswa-mahasiswa yang kebanyakan perempuan dan rela menunggu sejak lama, bahkan membolos kuliah! Mereka berjubel-jubel depan pintu Graha IAIN Surakarta yang saat itu masih tertutup rapat.

Saya turut berada di tengah kerumunan mahasiswa yang semakin siang semakin bertambah meski keringat semakin mengalir, bau parfum yang semakin sulit dibedakan dengan bau badan, tapi pintu Graha IAIAN Surakarta tak kunjung dibuka.

Di tengah cuaca panas yang membuat tubuh dan pikiran semakin kacau, tentu banyak umpatan yang keluar dari mulut mahasiswa di antara sebagian yang lain yang tetap memaksakan diri untuk tersenyum lalu berswafoto atau selfie.

Mereka memaki panitia yang tidak kunjung membuka pintu. Bertahan menunggu tetap menjadi pilihan dan mungkin dirasa sebagai kewajiban demi bertemu artis pujaan. Menjelang pukul 10.30 WIB, pintu Graha IAIN Surakarta dibuka.

Teriakan panitia agar para mahasiswa masuk secara tertib kalah dengan keriuhan mahasiswa yang menunggu lama dan mungkin telah dihinggapi rasa kecewa. Saya juga turut masuk ruangan akibat dorongan kuat dari belakang.

Saya menyaksikan suara panitia yang semakin terpinggir dan diabaikan. Pintu berbunyi ”krekkkk…”. Pintu Graha IAIN Surakarta itu rusak ditabrak ambisi mahasiswa untuk bertemu artis. Di dalam ruangan, kekecewaan terulang, artis yang ditunggu belum  jua datang padahal jam di telepon seluler sudah di angka 11.30 WIB.

Panitia berkali-kali meminta maaf dan menghibur kekecewaan para mahasiswa dengan menggelar pertunjukan seperti menampilkan lagu-lagu yang dinyanyikan mahasiswa IAIN Surakarta. Menjelang pukul 12.00 WIB, Dewi Sandra muncul dari balik panggung.

Para mahasiswa berteriak-teriak dan saling berdesak-desakan. Kelelahan dua jam menunggu sang artis terganti sudah dengan bertemu artis yang biasa ditonton di televisi. Semua telepon seluler diangkat untuk merekam kehadiran Dewi Sandra di kampus.

Di keramaian ini, saya merasa tubuh dan pikiran saya bukan lagi ada di kampus dengan pergulatan pemikiran dan karya. Saya seperti ada di pusat perbelanjaan sambil menggiring keranjang dan menyaksiakan artis dari kejauhan atau ada di konser tahun baru yang dirayakan di Jakarta.

Peristiwa menyambut tamu mengingatkan saya pada pengalaman Arief Budiman saat menjadi peneliti tamu di Australian National University (ANU) di Ibu Kota Australia, Canberra. Dari tulisannya yang terkumpul dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan, Arief Budiman (2006: 411) menarasikan ruang kerjanya yang bertembok buku, lengkap dengan akses Internet, fotokopi, telepon, faksimili untuk keperluan komunikasi dalam dan luar negeri sekaligus teman-temannya yang ramah untuk berdiskusi berbagai tema.

Kesempatan menjadi peneliti tamu kerap membuat Arief Budiman menyepi, merenungi ruang akademik di Indonesia yang sulit memberi penghormatan pada ilmu pengetahuan sambil berjalan-jalan di tepi Danau Burley Griffin.

Menjadi tamu sekaligus bertamu di negeri asing tak membuat dirinya berteriak, berswafoto atau selfie, apalagi menabrak pintu ruang kerjanya yang besar. Bagi Arief, yang dibutuhkan adalah kesanggupan membaca buku-buku, jurnal-jurnal, dan akses ke dunia akademik yang memanjakan dalam keheningan sehingga lahirlah karya-karya yang tak biasa. [Baca: Trend dan Kebutuhan]

 

Trend dan Kebutuhan
Artis masuk kampus telah menjadi tren dan mungkin kebutuhan. Alasan yang paling mendesak adalah agar mahasiswa mengenal dakwah Islam lewat film islami atau agar kampus semakin terkenal.

Mahasiswa bisa menggugat dengan doorprize yang diberikan saat acara. Mahasiswa yang hadir dan berani menyebutkan nama-nama artis Air Mata Surga pada saat itu mendapat doorprize seperangkat bedak merek tertentu. Kita paham, berdakwah itu harus modis, wangi, dan cantik.

Peristiwa yang terjadi di kampus saya itu semakin menjauh dari harapan yang ditulis Fuad Hassan (1995: 75) berjudul Academic Milieu sebagai Jatidiri Perguruan Tinggi. Dalam tulisannya, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era 1990-an ini menjelaskan kebebasan akademik menjadi ruang bagi civitas akademica baik mahasiswa atau dosen untuk semakin memperteguh kecendekiawanan dan perkembangan keilmuan di kampus.

Beberapa ruang lisan dan tulisan di kampus telah cukup menjadi jalan bagi civitas akademica untuk mengenang dan meneruskan sejarah pergulatan pemikiran di Taman Akademos seperti yang dikelola Plato dulu. Temu artis itu memang ”tragedi”, apalagi saat direstui rektor.

Rektor mengedarkan memo kepada seluruh dekan yang ditempel di setiap fakultas agar menganjurkan mahasiswa berpartisipasi dalam Meet and Greet Bersama Pemain Film Air Mata Surga.

Kini, kampus saya berada pada masa-masa malang  yang menantikan banyak tokoh selebritas inspiratif dan menyebar popularitas. Tokoh-tokoh yang sulit menjamin masa-masa semakin memberi penghormatan kepada ilmu pengetahuan.

Tubuh sudah bebal dan sudah puas saat kampus riuh dan berisik dengan teriak dan tepuk tangan. Saya masih harus terus menanti dalam mimpi bertemu dengan Ariel Haryanto memberi kuliah, membedah bukunya berjudul Identitas dan Kenikmatan (2015), di kampus saya.  Itu memang sulit diharapkan benar-benar terjadi. Allahumma amin

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya