SOLOPOS.COM - Muhammad Yunan Setiawan (Istimewa)

Mimbar mahasiswa, Selasa (12/4/2016), ditulis Muhammad Yunan Setiawan. Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Semarang Aktif di Kelab Buku Semarang.

Solopos.com, SOLO — Alkisah ada seorang laki-laki bernama Anton yang bersedih karena cintanya kandas gara-gara perbedaan status sosial. Anton gagal meyakinkan keluarga pacarnya untuk memberi restu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Status sebagai mahasiswa tidak menjadi jaminan kebahagiaan untuk masa depan. Sang calon mertua tentu tidak mau berjudi dengan merelakan anaknya menikah dengan seorang mahasiswa yang belum jelas pekerjaannya.

Dalam puncak kesedihannya Anton berkata,”Karena aku mahasiswa melarat, karena masa depanku suram sekabur kehidupan yang absurd ini, karena aku tidak bisa memperlihatkan jaminan-jaminan kebahagiaan dalam ukuran masyarakat sekarang: materi! Aku cuma mahasiswa dengan kemiskinan masa sekarang, dan perjudian nasib di masa depan!”

Anton sadar kampus tidak memberikan pekerjaan yang mapan. Lakon sebagai mahasiswa ia jalani dengan moto: buku, pesta, dan cinta. Berkuliah dilakukan dengan riang gembira meskipun tidak ada jaminan mendapatkan pekerjaan.

Itulah sepenggal kehidupan Anton yang dikisahkan Ashadi Siregar dalam novel tipis Cintaku di Kampus Biru (1975). Kampus menjadi tempat mahasiswa menempa keilmuan dan kesenian. Kampsu adalah tempat orang-orang, dalam bahasa Ashadi, menatap dengan mata memimpi.

Orang-orang telanjur memahami kampus adalah tempat yang akan memberikan gelar sekaligus pekerjaan. Kampus bukan dimaknai sebagai lembaga penyelenggara keilmuan yang menekankan kehidupan akademis. Orientasi antara kuliah dan pekerjaan telah menjadi persoalan yang terus berulang.

Persoalan tersebut sebagian dibahas Mustaqim dalam subrubrik Mimbar Mahasiswa melalui esai yang berjudul Peluang Masa Depan yang Dikeluhkan (Solopos, 5 April 2016). Mustaqim menyampaikan jawaban sekaligus solusi dari pertanyaan yang tercatat di kalimat awal tulisannya,”Kuliah di program studi bahasa? Mau jadi apa orang yang belajar bahasa?”

Kita mendapat gambaran keresahan Mustaqim dan kawan-kawannya yang berkuliah di jurusan bahasa. Mustaqim menganjurkan kepada mahasiswa jurusan bahasa untuk berkarya sebagai jawaban dari sempitnya peluang pekerjaan. Bagi Mustaqim “karya akan membuat manusia lebih bermartabat, bahkan bagi orang yang tidak berpendidikan sekalipun.”

Saya kira semua orang setuju dengan ide tersebut, tetapi yang sedikit membuat saya merasa agak ganjil adalah contoh-contoh karya yang diajukan Mustaqim. Salah satunya adalah berkarya dengan menulis. Menurut pandangan Mustaqim, menulis akan memberikan keuntungan besar dan menjadi pekerjaan yang bisa diandalkan.

Menulis juga dipahami dengan nalar untung-rugi. Menulis bukan lagi sebagai pemenuhan gairah berintelektual dan menyuguhkan letupan ide kepada publik. Ini yang membuat Mustaqim dengan gampang menyamakan niat para penulis dalam menghasilkan materi kekayaan seperti Pramodya Ananta Toer, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA, kemudian menjadi nama panggilan: Hamka), Eka Kurniawan dengan penulis-pengusaha Ippho Santosa.

Pram, Hamka, dan Eka menghasilkan karya bukan untuk memenuhi selera pasar. Tentu kita tahu, atau Mustaqim yang tidak tahu, novel tertralogi Pulau Buru karya Pram atau novel-novel karangan Eka Kurniawan bermutu dan berbeda dengan buku Hanya 2 Menit Anda Tahu Potensi Rezeki Anda garapan Ippho Santosa.

Pram, Hamka, dan Eka Kurniawa yang saya kenal tampaknya berbeda dengan yang Mustaqim kenal. Saya curiga jangan-jangan Mustaqim hanya mengenal Pram, Hamka, dan Eka hanya sebatas pada nama yang karyanya laku dijual bukan karya yang dipenuhi perjuangan.

Ia mengira niat Pram, Hamka, dan Eka mengarang buku bermula untuk mencari keuntungan. Agaknya kita perlu menengok kisah orang-orang yang memutuskan menjalani hidup sebagai penulis agar kita tahu niat orang untuk menulis. [Baca selanjutnya: Risiko]Risiko

Dalam Pram Melawan! (2011) kita mendapat cuilan informasi mengenai keputusan Pram menulis. Pram berkata,”…Titik tolak saya menulis itu adalah saya seorang warga negara Indonesia… menulis merupakan tugas nasional saya sebagai pengarang.”

Menjalani ”tugas nasional” tidak perlu menunggu surat perintah atau bekal. ”Tugas nasional” sebagai penulis dijalani Pram meski dalam buaian kemelaratan, bahkan penjara. Pram sadar menulis memang tidak banyak mendapat keuntungan. Hidup dalam kemiskinan menjadi risiko yang mesti dijalani.

Ajip Rosidi (2010) memberikan kesaksian yang menyedihkan. Ajip mengisahkan ketika suatu siang didatangi Pram. Dengan nada bicara yang sangat dalam Pram berbisik kepada Ajip,”Kau ada nasi tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan!”

Kemiskinan dan kelaparan tidak menghentikan Pram menulis. Karya-karya tetap dia lahirkan meski dalam kelaparan, kemiskinan, dan keterasingan. Kisah yang sama juga teralami oleh Hamka. Kita mengenal Hamka sebagai ulama dan sastrawan.

Berdakwah ala Hamka dilakukan dengan lisan dan tulisan. Salah seorang anak Hamka, Irfan (2013), mengenang sang ayah yang rajin menulis untuk koran. Irfan mengenang,”Tulisan Ayah di berbagai koran banyak mendapat sambutan yang cukup ramai, baik di Medan sendiri maupun tulisan Ayah yang dikirim ke Suara Muhammadiyah di Yogyakarta. Namun, hasil honorarium dari penulisan tersebut tidaklah mencukupi kehidupan Ayah.”

Irfan menjelaskan niat Hamka menulis untuk memberikan persembahan kepada pembaca. Menulis terus dilakukan Hamka meski diganjar honor yang minim. Jalan sebagai penulis tetap ditempuh meski merugi secara materi. Menganggap menulis sebagai peluang yang menguntungkan sepantasnya dipikir ulang. Kisah hidup pengarang buku sastra tentu berbeda dengan pengarang buku motivasi.

Karya Pram, Hamka, dan Eka tetap digandrungi orang-orang meski tidak bercap best seller. Buku-buku mereka juga tidak berisi motivasi-motivasi untuk menjadi orang sukses di sisi keuangan. Mereka hidup dalam kebersahajaan dengan karya yang melimpah.

Limpahan karya tidak berbarengan dengan limpahan harta. Keikhlasan menjadi pengarang/penulis ditempuh dan dipilih tanpa mempertimbangkan keuntungan materi. Kisah pengarang kaya patut kita simak dalam puisi Joko Pinurbo. Kita disuguhi Joko Pinurbo kisah pengarang kaya dalam puisi Semoga (2014).

Simaklah: Ayah saya seorang pengarang yang kaya / kepalanya tidak pernah kehabisan kata / rekeningnya slalu penuh / penuh dengan semoga // Dalam naungan hujan yang manis / ia mabuk menulis / ditemani dingin, kopi, dan rezeki yang tak pasti.

Kisah ini tentu sangat berbeda dengan anggapan Mustaqim yang mengira kepenulisan adalah dunia yang dilimpahi gelimang keuntungan. Mungkin Mustaqim lupa kalau para pengarang/penulis tetap gagah menjalani hidup meski dengan rezeki yang tak pasti!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya