SOLOPOS.COM - Irfan Ansori (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar Mahasiswa, Selasa (21/7/2015), ditulis Irfan Ansori. Penulis adalah aktivis Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah Sukoharjo.

Solopos.com, SOLO — Pada Senin (13/7) di Klaten telah terjadi peristiwa, yang  menurut saya, bagian rangkaian pembungkaman tentang kebebasan mengkritik dan berpikir.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dua orang, masing-masing mahasiswa dan alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Muhammadiyah Klaten, divonis hukuman empat bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan karena dinilai terbukti mencemarkan nama baik dosen Stikes Muhammadiyah Klaten.

Kasus ini bermula dari percakapan di grup Facebook tertutup kampus tersebut. Kedua orang itu, mahasiswa dan alumnus, mempermasalahkan Program Pengenalan Akademik (PPA) serta Masa Taaruf (keduanya semacam orientasi pengenalan kampus bagi mahasiswa baru) yang tidak melibatkan mereka.

Keduanya merupakan pemangku kepentingan organisasi kemahasiswaan yang berkaitan dengan dua kegiatan tersebut, yakni Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Pembahasan dalam esai ini tidak mempersoalkan materi hukum karena itu kewenangan aparat penegak hukum. Mereka telah divonis bersalah dengan masa hukuman empat bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan.

Hukuman itu berdasarkan Undang-undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Vonis tersebut belum berkekuatan hukum tetap karena dua terpidana mengajukan banding.

Permasalahan berapa lama vonis bukan pula menjadi kajian saja. Hal  yang terpenting adalah bagaimana kita mencermati vonis hakim yang mengabulkan semua tuntutan.

Ternyata kritik yang dilakukan mahasiswa terhadap dosen di grup media sosial yang bersifat tertutup merupakan sebuah perbuatan melanggar hukum, bisa dikriminalisasikan.

Kita bisa membayangkan bagaimana efek struktural yang akan terjadi setelah ini? Akankah kita menyaksikan dengan mudahnya setiap hari mahasiswa akan masuk bui gara-gara mengkritik? Akankah kita kembali pada awal rezim fasis ala Orde Baru?

Di Indonesia kasus kriminalisasi karena melontarkan kritik melalui media elektronik terjadi enam kali, termasuk kasus di Klaten ini. Kasus yang disidangkan di Pengadilan Negeri Klaten dengan terdakwa mahasiswa, dalam catatan sata, merupakan kasus kali pertama.

Saya tak bermaksud menyatakan mahasiswa adalah manusia ”suci” yang tak bisa disalahkan karena mungkin memang berbuat salah. Secara sederhana, kasus ini tidak lebih hanya ungkapan kapasitas moral seorang pendidik di Indonesia yang masih sangat rendah.

Kriminalisasi terhadap mahasiswa oleh dosen sendiri merupakan hal yang sangat ironis. Artinya, jika memang mahasiswa benar-benar melakukan kesalahan, berarti dosennya yang memang tidak pandai mendidik, bukan malah angkat tangan lantas mengkrimalisasikan mahasiswa.

Sebelumnya upaya mediasi dengan inisiatif dari berbagai pihak sudah dilakukan. Demi harga sebuah kritik ternyata mahasiswa harus dibui. Sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia selalu bernada heroik, romantis, bahkan mistis.

Gerakan mereka penuh dengan jargon-jargon yang dihadirkan demi niat memperbaiki peradaban—dalam skala kecil maupun besar: reformasi, revolusi. Semua hal itu mengerucut kepada tema tentang kebebasan berpendapat maupun hak asasi lainnya.

Pekerjaan mahasiswa adalah membela rakyat dan kaum tertindas. Sebagai inteligensia, mahasiswa berhak menyampaikan kritik serta saran kepada sistem yang sekiranya tidak sesuai dengan idealisasi bersama.

Pekerjaan mahasiswa adalah menciptakan konsep baru tentang akhir dari tatanan yang semrawut. Gerakan atau aktivitas demikian tentu membutuhkan ide-ide baru. Mahasiswa adalah agen perubahan.

Apa boleh buat, dalam konteks kasus kriminalisasi mahasiswa di Klaten tersebut, saat ini hukum sudah mulai kembali menyasar kebebasan berpendapat.

Saat ini, kita anggap bahwa dua terpidana kasus pencemaran nama baik di Stikes Muhammadiyah Klaten itu sebagai martir kebebasan akademik: mengkritik demi perbaikan (sistem) kampus.

Mahasiswa merupakan makhluk yang sangat paham tentang bagaimana memanfaatkan hak dan makna kebebasan berpendapat demi mewujudkan iklim berbangsa dan bernegara yang lebih baik.

Mahasiswa di Indonesia saat ini seharusnya merasa terluka. Diri mereka saat ini sudah tak lagi berwibawa. Lihatlah, para dosen, kapitalis, pejabat, justru menjadikan mahasiswa sebagai pasar dan mangsa.

Mahasiswa adalah barang yang lumrah, tersebar di seluruh penjuru Nusantara, namun semakin tak berdaya. Setelah ini, kita mungkin akan menyaksikan kembali mahasiswa-mahasiswa yang acuh tak acuh dengan sistem pendidikan, kondisi sosial, serta budaya bangsa yang bermasalah.

Dalam konteks psikologi, mahasiswa akan semakin tenggelam dalam neo-Orde Baru. Mahasiswa akan memosisikan diri hanya berkewajiban belajar serta dipersiapkan menjadi buruh-buruh baru. Kritik adalah hal yang haram.

Bisa juga terjadi sebaliknya. Gerakan berhaluan reformasi baru akan tumbuh karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan jika kebebasan dibungkam selain melawan.



Saat ini, suara-suara mahasiswa hanya akan dianggap jargon kosong. Bagaimanapun, suara mahasiswa masih layak dianggap sebagai suara yang murni. Kritik mahasiswa adalah kritik yang membangun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya