SOLOPOS.COM - M. Irkham Abdussalam (Istimewa)

Mimbar mahasiswa edisi Selasa (17/5/2016), ditulis M. Irkham Abdussalam. Penulis adalah mahasiswa Jurusan  Bimbingan Konseling Universitas Negeri Semarang dan aktif di lembaga pers mahasiswa.

Solopos.com, SOLO — Saya kaget mendengar kabar Lembaga Pers Mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jogja dibekukan oleh birokrat kampus itu. Buletin Poros edisi kedua 2016 yang mengangkat isu tentang pendirian Fakultas Kedokteran dianggap oleh birokrasi kampus itu sudah keterlaluan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pemberitaan yang menyoroti belum maksimalnya kampus dalam menyediakan fasilitas dianggap menjelek-jelekan kampus (persma.org, 1 Mei 2016). Sikap pemimpin kampus terlihat serampangan. Seturut press release yang ditulis awak Poros di persma.org, pemimpin kampus tidak menyatakan secara jelas apa saja berita dan artikel yang dimuat Poros yang keliru.

Hak jawab yang berlaku dalam kaidah jurnalistik tidak ditempuh. Pemegang otoritas kampus sekadar tidak terima dan tidak menempuh jalur sesuai dengan kaidah yang berlaku. Alhasil, tiba-tiba saja LPM Poros dibekukan.

Pendanaan untuk kegiatan LPM Poros mendadak dihentikan sehingga kegiatan yang sudah dirancang tidak bisa dilaksanakan. Surat keputusan (SK) rektor ihwal pembekuan LPM Poros konon tengah dalam proses penerbitan.

Kasus pemberedelan ini memperpanjang daftar kelam kebebasan akademik bagi mahasiswa yang berakhir tragis. Sebelumnya, Majalah Lentera yang dikelola mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga mengalami hal sama, diberedel pemegang otoritas kampus, bahkan melibatkan kepolisian.

Ada mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro Semarang yang dikeluarkan dari kampus karena mengkritik mahalnya biaya kuliah di kampus itu. Konon biaya kuliah tidak sesuai dengan yang tertulis dalam banner promosi kampus. Kegiatan mahasiswa seperti diskusi juga kerap mendapat tekanan dari pemegang otoritas kampus.

Diskusi tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang diselenggarakan LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dibubarkan paksa oleh rektorat. Tanpa memahami tujuan diskusi, rektorat melarang panitia mengadakan acara tersebut.

Seturut data yang dirilis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), selama 2014-2015 tercatat tujuh kasus besar yang dialami para pengelola pers mahasiswa di Indonesia. Bentuk kasus itu berupa intimidasi, diskriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi dan pemutaran film, pemberedelan majalah, serta pembekuan LPM.

Dari tujuh kasus besar itu yang paling banyak dialami adalah intimidasi, yakni mencapai 22 kasus. Kondisi ini menyiratkan suatu realitas bahwa kampus tak lagi menjadi ruang untuk tumbuhnya kebebasan akademik. Ruang itu telah dipenuhi intimidasi dan belenggu birokrasi kampus.

Kampus menenggelamkan mahasiswa ke dalam ambisi mengejar nilai, menyelesaikan tugas kuliah, dan lulus tepat waktu dengan nilai tinggi. Kampus tak cukup memberi ruang untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial, politik, kultural, dan spiritual). [Baca selanjutnya: Esensi]Esensi

Kampus telah mengalami banalitas esensi. Kampus lebih mendukung kegiatan-kegiatan yang mengarah pada perayaan-perayaan kebudayaan yang bersifat permukaan. Kegiatan mahasiswa didominasi pertunjukkan, tontonan, tayangan, dan tindakan-tindakan yang cenderung mengeksploitasi bentuk-bentuk yang bernilai rendah, banal, dan tak esensial.

Rasa-rasanya konser musik artis dari ibu kota negara lebih mulia daripada diskusi, seminar-seminar, lebih berharga daripada gerakan literer. Geliat mahasiswa untuk menjadi manusia yang kritis dan berwawasan luas justru bertubrukan dengan pragmatisme birokrasi kampus.

Yasraf Amir Piliang menyebut fenomena ini sebagai proses ”pengesensialan yang banal” dan sebaliknya, ”banalisasi yang esensial.” Pada satu sisi, kampus menyediakan akomodasi dan dana besar untuk kegiatan-kegiatan konser musik sebagai kegiatan yang layak dikonsumsi para mahasiswa.

Sedang pada sisi yang lain, kampus justru membabat habis diskusi dan gerakan literer serta menjauhkannya dari budaya mimbar akademik. Banalitas kampus menjadikan wajah kebudayaan tampak pucat, steril, dangkal, dan tanpa aura.

Banalitas kampus telah memberangus budaya kritis. Orang tidak saja anti kritik, tak tahan kritik, tetapi tak lagi mempunyai daya kritis. Mereka adalah mayoritas yang diam, yaitu mayoritas tanpa suara.

Birokrasi kampus telah menjadi manusia anti kritik. Dalam banyak kasus, kritik mahasiswa justru dipandang melemahkan. Tanpa melakukan kajian dan evaluasi atas kritik, birokrasi kampus lebih memilih jalan pemberedelan dan pelarangan.

Kita memasuki era ketika kampus tak lagi penuh dengan budaya aktif, dinamis, berdaya kritis, dan kreatif dalam membangun kehidupan. Justru yang kita dapati adalah subjek pasif yang sekadar berteriak, bersenang-senang, mencari popularitas, dan menebar kegalauan.

Wajah kebudayaan kampus yang lebih produktif, substantif, humanis, dan bermakna wajib dikembalikan. Tentu kerja sama dengan birokrasi kampus sangat diperlukan. Sikap dan tindakan yang mencerminkan banalitas kampus seperti pemberedelan dan pelarangan kebebasan akademik perlu dihentikan.

Kita masih menginginkan kampus mencipta perubahan bagi bangsa ini bukan? Lalu, sampai kapan banalitas kampus ini mau dipertahankan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya