SOLOPOS.COM - Ichwanuddin Buchori (Istimewa)

Mimbar Mahasiswa, Selasa (29/12/2015), ditulis Ichwanuddin Buchori. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Ketika saya membuka Harian Solopos edisi Selasa, 22 Desember 2015, dan membaca Subrubrik Mimbar Mahasiswa, saya tersentak. Esai berjudul Ancaman Terhadap Otonomi Keilmuan karya Nur Sholikhin itu seolah-olah sejalan dengan keresahan saya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pembungkaman dan pembatasan kegiatan ilmiah di kampus justru dilakukan oleh elite kampus sendiri. Imajinasi saya melayang saat menghayati isi esai tersebut. Saya teringat saat membuat agenda refleksi G 30 S dan Hari Pahlawan beberapa waktu lalu.

Saya dan kawan-kawan saya sesama mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) membuat agenda tersebut dengan harapan akan muncul pemikiran-pemikiran ilmiah baru dan tentunya dengan argumentasi akademik.

Kegiatan kami itu dibubarkan secara sepihak oleh orang-orang yang saya sebut tak bertanggung jawab dan anehnya elite kampus malah membela mereka. Menurut pemahaman saya mereka melanggar aturan kebebasan akademik. Lebih menggelikan lagi alasan pembubaran itu tidak ilmiah dan cenderung subjektif.

Saya melihat ada keberpihakan elite kampus dalam kasus tersebut. Tampak jelas birokrat kampus takut terhadap ancaman dari organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu. Mahasiswa dianggap selalu bersalah dengan alasan apa pun.

Sempat saya bertanya, apakah nilai-nilai akademik di kalangan elite kampus sudah pudar hanya karena kampus mencari aman? Saya sepakat ulasan Nur Sholikhin di Mimbar Mahasiswa edisi 22 Desember 2015 itu.

Kampus harus mengembangkan ilmu pengetahuan dengan fondasi kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Seharusnya peraturan ini mampu membendung tekanan dan pembungkaman kegiatan akademik oleh siapa pun.

Faktanya pendampingan penegakan aturan ini kurang diperhatikan oleh pemerintah dan akhirnya aturan ini seolah-olah dengan mudah ditinggalkan. Terbukti di kampus-kampus seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, dan kampus saya sendiri UMS terjadi pelanggaran aturan tersebut.

Bermacam-macam bentuk pembatasan seperti pelarangan mengadakan bedah film semacam Senyap, pembatasan penerbitan majalah yang mengkritik kampus, dan pelarangan diskusi bertema sensitif.

Pembatasan seperti ini terkadang akibat diintervensi oleh pihak luar yang menurut saya jelas tidak bertanggung jawab. Parahnya, elite kampus mengamini tuntutan tak bertanggung jawab tersebut yang notabene mereka, para elite kampus, tahu bahwa kampus adalah tempat yang menjamin kebebasan berekspresi secara akademik.

Pembatasan dan pelarangan kegiatan ilmiah di lingkungan kampus mengingatkan saya pada abad kegelapan masa lampau. Abad itu merupakan tragedy karena kemunduran pemikiran manusia khususnya di kalangan orang Barat.

Saat itu otoritas gereja memfatwakan haram kepada semua pemikiran yang bertentangan dengan gereja. Seolah-olah harus ada tumbal untuk dapat membongkar kemandekan dalam berpikir setiap zaman. Tokoh seperti Copernicus dan Galileo berani bertaruh nyawa untuk meneriakkan kebenaran yang mereka yakini.

Orde Baru mewariskan catatan kelam sejarah akademik. Orde Baru mengekang kebebasan akademis yang dianggap subversif. Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada era Orde Baru menjadi senjata legitimasi pelarangan kegiatan akademik di kampus yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan

Era itu ialah masa ketika kebebasan akademik seolah-olah terjamin tetapi faktanya tidak demikian. Ancaman dari aparat militer maupun hukuman pengasingan adalah hal yang harus dihadapi kalangan intelektual, padahal kritik maupun protes yang dilakukan orang-orang tersebut berdasarkan kenyataan dan tentunya ilmiah.

Setelah reformasi 1998 pintu kebebasan berpendapat semakin terbuka lebar, walaupun efek psikis di kalangan masyarakat masih terasa hingga kini, yaitu takut dan takut untuk berinovasi serta tak  berani berpikir out of the box.

Selain itu, yang membuat saya miris adalah metode pembungkaman kebebasan akademik ala Orde Baru masih diwarisi hingga kini yang tampak jelas dalam kurikulum yang berlaku sekarang. Indonesia saat ini tampaknya memasuki neo-kegelapan.

Pembatasan kajian akademik suatu tema yang memunculkan kontroversi malah dipelopori oleh kalangan masyarakat ilmiah sendiri. ”Diktaktor” era kegelapan di Barat yang menghambat perkembangan pengetahuan adalah gereja dan raja, saat ini ”diktaktor” kampuslah yang melakukan pembungkaman tersebut.

Kampus yang seharusnya steril dari intervensi pihak luar, ternyata saat ini ada ormas yang dengan  bebas “mengatur” kehidupan akademik, bahkan ”dipersilakan” mengganggu kegiatan ilmiah tertentu. Gaya baru pembungkaman dan pembatasan kajian ilmiah bermunculan. [Baca  selanjutnya: Pencerahan Kampus]Pencerahan Kampus

Pramoedya Ananta  Toer dalam Bumi Manusia mengungkapkan seorang terpelajar harus bijak sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Harapan Pram kepada orang-orang terpelajar Indonesia saat ini tak tercermin di kehidupan kampus.

Birokrat kampus sering mengambil kebijakan yang tak bijak sama sekali. Kepentingan pribadi lebih dikedepankan daripada kepentingan umum masyarakat akademik. Idealnya masyarakat  akademik gandrung akan kajian ilmiah dan menjawab keingintahuan masyarakat yang tinggi.

Apakah idealisme kampus yang tergambar dalam benak semua orang tersebut sudah tergadaikan? Tan Malaka dalam Semangat Muda menuliskan idealisme adalah kemenangan terakhir yang dimiliki pemuda. Apakah mahasiswa—sebagai elemen utama pemuda–sudah kalah?

Pengetahuan adalah kekuasaan. Pengetahuan adalah kebajikan. Itu semboyan filsuf ternama dari Yunani yang bernama Socrates. Ketika keinginan mengungkap kebenaran sebuah isu atau tema yang kontroversial dihalangi, apakah ada orang berkuasa di balik itu?

Memandang fenomena saat ini saya teringat seruan Lenin. Ia mengatakan pembebasan suatu kelas haruslah menjadi tugas kelas itu sendiri. Ketika mahasiswa mengalami pengebirian peran dalam kegiatan akademik maka mahasiswa harus mampu membongkar itu semua.



Predikat agent of change yang disandang mahasiswa jangan sampai luntur. Mahasiswa harus mampu mengukir lagi sejarah seperti kejadian di Rengasdengklok. Saat itu para pemuda, khususnya mahasiswa, mampu menunjukkan peran dalam revolusi dengan keradikalan karakter seperti Adam Malik, Sukarni, dan kawan-kawannya.

Sebuah revolusi, menurut Sjahrir, harus dimulai dari pembentukan kesadaran kolektif masyarakat. Kita dapat meniru gaya Hatta dan Sjahrir. Membentuk masyarakat akademik dan masyarakat berilmu untuk membongkar mitos serta membuang trauma sejarah. Dengan begitu kehidupan akademik dan ilmiah di kampus akan lebih berwarna dan bangkit dari tidur panjangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya