SOLOPOS.COM - Alif Syuhada (Istimewa)

Mimbar Mahasiswa, Selasa (1/9/2015), ditulis Alif Syuhada. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Saya mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhamamdiyah Surakarta (FKIP UMS) yang harus mengikuti program praktik kerja lapangan (PPL) selama dua bulan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dalam rentang waktu itu saya menjadi guru dan berhadapan langsung dengan peserta didik di sebuah sekolah menengah pertama (SMP). Selama berbaur dengan dunia anak-anak, banyak problematika pendidikan yang saya temui.

Suatu ketika saya berbincang-bincang dengan seorang murid selepas kegiatan pelajaran. Ia mengeluhkan beberapa nilai mata pelajaran yang jelek. Ketika saya tanya penyebabnya, ia menjawab ia tidak suka dengan beberapa mata pelajaran tersebut.

Ketika saya beri motivasi agar menyukai pelajaran tersebut, ia memilih membiarkan mata pelajaran tersebut bernilai rendah. Ia memilih menekuni mata pelajaran yang ia suka.

Saya mendukung pilihan murid SMP tersebut namun hal itu tidak mudah dilakukan di sistem pendidikan yang ”memaksa murid untuk menguasai hal yang tidak ia sukai. Guru dan orang tua yang ”memaksa anak-anak menjadi manusia super serbabisa, mempunyai nilai sempurna di setiap mata pelajaran, semakin menyudutkan posisi anak untuk tumbuh sesuai kodratnya.

Pengalaman tersebut mendorong saya untuk menanggapi tulisan Mutimmatun Nadhifah bverjudul Paradoks KKN Transformatif di Mimbar Mahasiswa, Solopos edisi 25 Agustus 2015. Permasalahan kuliah kerja nyata transformtaif (KKNT) hanya satu puncak dari gunung es permasalahan pendidikan.

Fenomena mahasiswa yang mengalami keterjarakan sosial dengan masyarakat karena tersekat oleh identitas dan symbol almamater merupakan akibat dari sistem pendidikan yang salah, termasuk KKNT itu sendiri.

Sayanya sekali Mutimmatun tidak memaparkan akar permasalahan KKNT dalam tulisanya tersebut. Dalam hal ini Mutimmatun membahas masalah KKNT secara pragmatis dan parsial. [Baca: Sistem ”Membunuh” Pendidikan]

 

Sistem ”Membunuh Pendidikan
Ki Hadjar Dewantara pernah berkata,”Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu”.

Petuah Bapak Pendidikan Indonesia tersebut menegaskan tugas pendidik, sekolah, dan sistem pendidikan hanyalah hanya sebatas merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat peserta didik.

Menurut Socrates, pendidikan hanya wajib membantu ”persalinan kelahiran” jati diri peserta didik, bukan membentuk manusia yang seragam. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan dunia pendidikan kita saat ini.

Pengalaman saya saat PPL merupakan satu contoh kecil paradoks pendidikan tersebut. Kita tentu masih ingat bagaimana suasana menjelang Ujian Nasional (UN) yang selalu diwarnai dengan ketegangan, doa bersama, bahkan tindakan bunuh diri.

Fenomena tersebut mengambarkan seakan-akan UN dan sertifikat kelulusan merupakan dewa penentu kehidupan.  Hal ini menunjukkan sistem pendidikan menyalahi arti pendidikan. Pendidikan semakin tidak ramah bagi anak-anak.

Model pendidikan seperti itu merupakan model pendidikan bergaya bank. Filosofi pendidikan model itu seperti menuangkan air. Peserta didik ibarat gelas kosong yang harus diisi ilmu pengetahuan oleh para guru. Guru merupakan dewa yang tidak dapat disalahkan.

Soe hok Gie dalam catatan hariannya memprotes model pengajaran yang tidak adil ini. Fenomena ”keterasingan mahasiswa saat melaksanakan KKNT juga merupakan akibat dari sistem pendidikan yang menyalahi kodrat manusia.

Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dan tumbuh dengan lingkungan sosialnya. Manusia berinteraksi dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Keterjarakan merupakan hambatan yang tidak boleh muncul dalam interaksi antarmanusia.

Sistem pendidikan hadir dengan sekat-sekat ruang sekolah yang memisahkan realitas hidup manusia. Sistem pendidikan menggantikan kehidupan sebenarnya dengan miniatur kehidupan di ruang-ruang kelas.

Tidak perlu heran ketika mahasiswa gagap saat berhadapan dengan masyarakat selama kegiatan KKNT. Mahasiswa terbiasa hidup nyaman di ruang kelas daripada di ruang sosial. Mahasiswa lebih nyaman berinteraksi dengan buku di ruang berpendingin daripada berinteraksi dengan masyarakat di ruang-ruang terbuka.

Pendidikan seharusnya hidup dan tumbuh bersama kehidupan manusia. Pendidikan bukan hanya soal kurikulum, mata pelajaran, dan angka. Pendidikan adalah soal kehidupan dan manusia. KKNT membuktikan sistem pendidikan mengungkung manusia dalam ”miniatur kehidupan”. KKNT tidak diperlukan lagi jika sistem pendidikan sudah menyatu dengan kehidupan manusia itu sendiri. [Baca: Memikirkan Kembali]

Memikirkan Kembali
Permasalahan KKNT yang tidak tranfromatif dan permasalahan paradigma pendidikan yang tidak mencerahkan merupakan permasalahan klasik yang harus dijawab oleh seluruh pemangku kepentingan pendidikan.

Tokoh-tokoh pendidikan di kampus atau di tempat lain wajib berkumpul dan menjelaskan konsep kepada mahasiswa dan masyarakat secara luas. Para tokoh pendidikan yang terkumpul di berbagai perguruan tinggi harus berpikir optimistis dan kritis seperti tokoh-tokoh pendidikan kita di massa lalu.

Jika tokoh-tokoh pendidikan kita mau berkumpul dan mau merumuskan kembali paradigma pendidikan yang sesuai dengan nilai kemanusiaan, saya yakin problematika KKNT yang tidak transformatif akan sangat gampang diselesaikan.



Saya yakin jika tokoh-tokoh pendidikan kita berkumpul dan meneladani sikap Tan Malaka, Sjahrir, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan para tokoh pendiri bangsa lainnya, permasalahan paradigma pendidikan akan dapat diselesaikan.

Pertanyaanya adalah, apakah tokoh-tokoh pendidikan kita saat ini punya waktu untuk berkumpul dan meruuskan solusi permasalahan pendidikan bangsa ini? Hanya tokoh-tokoh pendidikan itulah yang tahu jawabannya. Wallahu a’lam bis showab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya