SOLOPOS.COM - Adhitya Yoga Pratama (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar mahasiswa, Selasa (6/10/2015), ditulis Adhitya Yoga Pratama. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLOSekilas ketika melihat judul esai saya ini memang tidak ada relevansi antara Pancasila dan kehidupan pertanian Indonesia, tetapi sesungguhnya ketika dilihat dari segi epistemologi dan filosofis antara Pancasila dan pertanian sangat berkaitan dan ada relevansi satu sama lainnya.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Pancasila merupakan akumulasi produk peradaban bangsa Indonesia yang berdasarkan kepribadian bangsa kemudian dikonkretkan dalam ideologi negara dan bangsa yang berdiri sendiri sebagai sebentuk ide dan gagasan.

Pertanian adalah sebagai kegiatan manusia (masyarakat) petani sebagai mata pencaharian atau pendapatan. Pertanian menghidupi masyarakat dan sebagai kehidupan bangsa yang berdiri sendiri sebagai realitas kehidupan pertanian.

Jelas sangat perlu kiranya Pancasila dan pertanian berjalan beriringan agar tidak terjadi pertentangan antara teori dan praktik. Pemaknaan Hari Tani Nasional pada 24 September 2015  lalu senyatanya (das sein) adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara di realitas pertanian kekinian sekaligus seharusnya (das sollen) yang dilakukan adalah cara memandang kebenaran Pancasila dalam realitas pertanian yang harus sejalan.

Hal demikian penting agar jurang pemisah antara teori dan praktik kita perkecil sehingga tidak menjadi mitos atau barang keramat dalam perkembangan masyarakat pertanian di masa depan.

Contohnya seperti yang dilakukan pada masa Orde Baru yang memandang Pancasila sebagai ideologi yang harus diindoktrinasikan melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Ini berdampak pada setiap kebijakan pemerintah harus berpedoman Pancasila tafsiran Orde Baru, termasuk di dunia pertanian dengan revolusi hijau.

Memang tidak dapat dimungkiri bahwa fakta kehidupan petani yang disebutkan Anindita Prabawati dalam esainya di Mimbar Mahasiswa Solopos edisi 22 September 2015 yang berjudul Refleksi Makna Pertanian bahwa para petani dijadikan boneka yang dimainkan aparatur negara yang selalu kelaparan akan pundi-pundi pasar global dan modal.

Jika saya mengikuti cara pandang Anindita, saya berpandangan bahwa setiap program kebijakan pemerintah bersifat top down (dari atas ke bawah).  Masyarakat petani tidak mempunyai daya kritis sehingga harus tunduk dan patuh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pertanian berkedok ketahanan nasional.

Tidaklah mengherankan ketika Anindita mengasumsikan secara dangkal bahwa masyarakat petani menganggap diri mereka selayaknya bidak catur yang tidak bisa menolak atau membantah gerakan tangan sang dalang (penguasa: pemerintah, swasta, pemilik modal).

Saya berangkat dari intisasi diskusi bertema Pancasila Bergerak Dalam Kehidupan Pertanian Indonesia yang Berkeadilan di Pendapa Rumah Dinas Bupati Kabupaten Karanganyar pada  26 September 2015. Setelah membaca esai Anindita, menganalisis gagasan Anandita, akhirnya saya putuskan menuliskan kegelisahan pribadi saya bahwa ada yang kurang mengakar, mendalam, serta menyeluruh dari tulisan Anindita.

Teruntuk Anindita pada khususnya dan kawan-kawan mahasiswa lainnya yang sering menulis di Solopos, seyogianya jika tulisan ini kurang mengakar, mendalam, dan menyeluruh seperti yang saya maksudkan silakan untuk ditanggapi kembali. [Baca: Mbah Paiman H.S.]

 

Mbah Paiman H.S.
Saya belajar banyak dari Mbah Paiman H.S., seorang petani organik yang kolot tetapi tidak buta terhadap struktur ekonomi dan politik negara ini,  yang berasal dari Karanganya. Ia menjadi salah satu pembicara dalam diskusi saya sebutkan di atas.

Mbah Paiman menerangkan antara Pancasila dan pertanian adalah suatu rangkuman yang sangan ideal dan mendasar, tidak bisa dipisahkan di Indonesia. Indonesia bukan negara kapitalis, Indonesia bukan negara sosialis, tetapi Indonesia adalah negara agraris.

Melalui organisasi yang ia geluti, yaitu Komunitas Tani Makaryo, Mbah Paiman bersama kawan-kawannya sesama petani di perdesaan membuat suatu program baru, yaitu revitalisasi pertanian.

Langkah ini mereka ambil sebagai pilihan logis bila tidak mau hanya menjadi penonton pasar global. Petani dikembalikan pada jati diri karena jika petani lumpuh negara kita ini akan rapuh. Kurang lebih seperti itu yang ia utarakan dalam diskusi tersebut.

Yang membuat saya kagum adalah pada saat usianya tak muda lagi, ia masih mau bergerak menyadarkan masyarakat sekitarnya akan pentingnya pertanian organik yang kreatif, adaptif, ekonomis, dan sesuai dengan kearifan lokal.

Untuk memperingati Hari Tani Nasional tahun ini Mbah Paiman bersama elemen-elemen gerakan sosial yang peduli terhadap nasib pertanian Indonesia menyelenggarakan acara khusus pada 28 September 2015 diKaranganyar.

Menurut saya, Mbah Paiman adalah sosok guru pertanian yang tidak mau dikuasai oleh kebijakan pemerintah demi menghasilkan produksi yang banyak dan dalam proses produksi harus menggunakan bahan-bahan kimiawi-sintetis.

Pada intinya petani harus mempunyai kemauan dan kemampuan berpikir dan bertindak dalam ranah perjuangan hidup dengan berlandaskan Pancasila ketimbang nilai-nilai lain yang selalu berusaha mengeksploitasi alam.

Petani harus berjuang dari bawah ke atas (bottom up), bukan sebaliknya dari atas ke bawah (top down). Dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa yang bisa diperas menjadi gotong royong kemudian digunakan sebagai pisau analisis kritis dalam membahas persoalan pertanian Indonesia, negeri ini akan menjadi negeri agraris yang bukan hanya slogan saja tetapi adalah kenyataan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya