SOLOPOS.COM - M Dalhar, Aktivis Pergerakan Mahsiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Solo

M Dalhar, Aktivis Pergerakan Mahsiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Solo. (FOTO: Istimewa)

Dalam edisi Harian SOLOPOS edisi Selasa (3/7), Cahyadi Kurniawan menulis apa yang dilakukan gerakan mahasiswa atau aktivis kampus sebagai agen perubahan (agent of change) hanya isapan jempol belaka. Gerakan intelektual, menurutnya adalah langkah kongret yang perlu dilakukan mahasiswa, bukan gerakan jalanan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sebelum reformasi 1998 gerakan mahasiswa memilih aksi turun ke jalan (baca: demostrasi) sebagai langkah strategis menyuarakan kebenaran serta aspirasi masyarakat. Hal tersebut dilakukan mengingat pemerintah Orde Baru tidak pernah membuka ruang dialog dengan mahasiswa atau masyarakat. Selain itu, ruang media kritis juga masih sangat terbatas jumlahnya. Sehingga yang terjadi banyak gerakan mahasiswa yang menggunakan cara turun ke jalan.

Kondisi tersebut terus berlanjut paskareformasi. Ketika informasi terbuka lebar, gerakan mahasiswa tidak serta merta menutup diri dengan perubahan yang ada. Gerakan mahasiswa menyadari sepenuhnya bahwa aksi turun ke jalan yang identik dengan perlawanan kurang relevan dengan kondisi zaman. Akan tetapi dalam kondisi tertentu, aksi turun ke jalan tetap dilakukan karena dianggap perlu. Misalnya pada waktu rencana kenaikan BBM awal April lalu. Di Kota Solo aksi dilakukan secara bersama  antara elemen masyarakat dan organisasi ekstra kampus serta beberapa organisasi kemahasiswaan. Hal itu dilakukan untuk menekan pemerintah agar tidak menaikkan harga minyak karena banyak penolakan di bawah.

Ekspedisi Mudik 2024

Ketika aksi demonstrasi dipilih, bukan berarti semua dilakukan dengan kondisi serba tergesa-gesa dan jauh dari tradisi intelektual. Justru aksi turun ke jalan merupakan hasil dari diskusi panjang dan pembacaan kondisi di lapangan secara menyeluruh. Demonstrasi hanyalah sebuah strategi untuk melakukan perubahan, bukan sebuah tujuan. Akan tetapi memang harus diakui di beberapa tempat terkadang aksi ini menimbulkan kerusuhan yang justru jauh dari jiwa seorang intelektual.

Sebenarnya tradisi intelektual bagi organisasi ekstra bukanlah hal yang baru. Di masing-masing organisasi seperti PMKRI, GMNI, KAMMI, GMKI, PMII, dan HMI memiliki jenjang pengkaderan dan kurikulum pendidikan yang sistematis dan terukur. Misalnya di PMII memiliki pelatihan kader dasar (PKD) dan pelatihan kader lanjut (PKL) yang di dalamnya terdapat  ruang untuk diskusi, membaca, dan menulis. Semua itu dilakukan sebagai upaya meningkatkan kapasitas kader agar mampu menjadi agen perubahan.

Hingga kini pun organisasi ekstra tetap berusaha menyesuaikan trend gerakan sesuai dengan zaman yang dihadapi. Tanpa itu, gerakan mahasiswa akan ditinggalkan oleh zaman. Perubahan yang terjadi tidak hanya dari corak pemikan tetapi juga gaya pakaian. Perbedaan ini terlihat antara aktivis era 1998 dengan sekarang, di mana pemikiran marxis yang sarat dengan perlawanan mulai jarang ditemui, begitu juga dengan gaya (style) pakaian yang relatif lebih rapi. Pasca reformasi, kegiatan penelitian, pengabdian, pelatihan-pelatihan peningkatan soft skills mulai dilakukan oleh aktivis gerakan mahasiswa. Alhasil, gerakan mahasiswa pun menyesuaikan dengan zaman yang dihadapi.

Mitos Agen Perubahan

Perubahan zaman harus dibarengi dengan perubahan strategi agar tujuan yang hendak dicapai dapat terealisasi. Perubahan strategi yang dilakukan bukan berarti mengurangi esensi mahasiswa sebagai agen perubahan.

Pelabelan agent of change sebenarnya milik semua mahasiswa, bukan sekadar gerakan mahasiswa atau aktivis kampus. Mitos ini memang sengaja diciptakan agar mahasiswa yang notabene sosok yang memiliki semangat muda dan sifat kritis, serta relatif bersih dari berbagai kepentingan, memiliki kemauan melakukan perubahan dan keberpihakan. Kehadiran mitologi ini memainkan peranan penting sebagai pedoman dan tingkah laku masyarakat. Mitos juga mampu memberikan arah kepada manusia untuk melakukan suatu kegiatan (H.J. Daeng, 2000).

Kenyataan bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan itulah yang juga diyakini oleh Hatta, Sjahrir, dan Soekarno serta beberapa tokoh pergerakan lainnya. Sebagian besar aktivis mahasiswa era 1940-an adalah mereka yang tidak sekadar cerdas, tetapi juga tersadarkan. Mereka sadar bahwa negerinya sedang terjajah. Dan dengan kecerdasannya itu mereka melakukan berbagai perlawanan agar dapat keluar dari belenggu kolonialisme. Seandainya mereka hanya cerdas, para tokoh pergerakan akan berkerja sama dengan pemerintah kolonial karena hal itu sangat menjanjikan bagi kehidupan pribadi mereka. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan.

Organisasi ekstra maupun organisasi intra hanyalah salah satu instrumen kampus yang memiliki sedikit porsi untuk mempengaruhi corak pemikiran mahasiswa. Hal tersebut dikarenakan sedikitnya mahasiswa yang terlibat aktif di dalam kegiatan organisasi. Sehingga ketika memaknai kegagalan kepemimpinan nasional hanya dibebankan kepada organisasi, terutama adalah organisasi ekstra, padahal menurut penulis itu bukanlah satu-satunya penyebab. Kampus sebagai institusi juga ikut bertanggung jawab atas hal itu.

Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki, organisasi ekstra tetap berusaha mencoba mewariskan pemikiran nalar kritis dan semangat mahasiswa sebagai agen perubahan. Menurut penulis, mitos mahasiswa sebagai agen perubahan harus tetap dijaga dan hidup di kampus agar mahasiswa sadar bahwa status yang disandangnya bukan sekadar gengsi tetapi merupakan sebuah tanggung jawab. Mahasiswa adalah harapan masa depan bangsa ini. Jika obsesi sebagai “juru selamat” tidak dimiliki mahasiswa, lantas kepada siapa lagi masyarakat berharap. Bangsa ini masih membutuhkan mahasiswa yang cerdas dan tersadarkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya