SOLOPOS.COM - Irfan Ansori, Mahasiswa Fakultas Agama Islam UMS dan Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyah Shabran. (FOTO/Istimewa)

Irfan Ansori, Mahasiswa Fakultas Agama Islam UMS dan Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyah Shabran. (FOTO/Istimewa)

Dalam dua pekan terakhir ini, kita semua dipertontonkan berbagai pemberitaan mengenai tindakan-tindakan beraroma aksi terorisme. Gelombang aksi tersebut, saat ini seakan-akan kembali muncul ke permukaan, menyeruak dan terjadi di pelbagai daerah di Indonesia, termasuk Solo.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Bila dicermati, aksi terorisme yang paling menonjol barangkali adalah teror yang mengatasnamakan agama tertentu, dan ini jelas sangat gegabah dan berbahaya. Namun, hal yang menarik adalah justru ketika mencermati fakta bahwa para tersangka pelaku tindak terorisme tersebut masih berusia relatif muda. Di antaranya adalah ketiga tersangka pelaku teror di Solo, yakni Farhan yang masih berusia 19 tahun dan Mukhsin berusia 19 tahun serta Bayu berusia 24 [belakangan diketahui memalsukan umur]. Farhan dan Mukhsin tewas ditembak saat pengerebekan. Sedangkan Bayu, ditangkap di Karanganyar.

Untuk itu, mengingat usia mereka yang masih berada pada kisaran belasan tahun. Sejatinya, mereka sedang mengalami usia transisi dan transformasi akal dari remaja menuju dewasa. Mereka akan berusaha mencari jati diri. Seperti halnya yang dialami para mahasiswa.

Ini barangkali menjadi keprihatinan kita. Akibat aksi terorisme ini, ancaman disintergasi bangsa kembali mengintai. Generasi muda saat ini, sedikit banyaknya telah terkontaminasi paham radikalisme-terorisme. Kampus yang sejatinya menjadi tempat pencarian jati diri mahasiswa menjadi lahan empuk bagi perkembangan embrio terorisme. Mahasiswa akan cukup rentan tergoda dengan godaan-godaan paham baru yang mengisi jiwa mereka, termasuk paham radikalisme-terorisme.

Sebelum lebih jauh, penulis terlebih dahulu ingin memberikan sebuah kutipan dari Hery Sucipto dalam buku hasil lokakaryanya yang berjudul Meredam Gelombang Radikalisme meyatakan bahwa “Aksi terorisme dan radikalisme terjadi di semua agama di dunia. Jadi, bukan hanya monopoli Islam seperti yang dituduhkan kalangan Barat, karena dalam agama selalu terdapat kelompok minoritas-militan dan ekstrem-radikal.” (Hery. 2004; 8)

Dari kutipan di atas, penulis ingin memberikan pemahaman bahwa fenomena radikalisme-terorisme ini mampu menghinggapi semua agama. Oleh karena itu, embrio radikalisme-terorisme tidak hanya akan berkembang pada kampus yang memiliki mahasiswa yang homogen dalam kepercayaan agama—dalam hal ini Islam—melainkan juga pada kampus yang memiliki mahasiswa yang plural dalam kepercayaan agama.

Yang wajib kita ketahui adalah bahwa tak ada satu agama pun yang memberikan legitimasi atas tindakan radikalisme-terorisme ini. Bahkan sepakat untuk mengutuk tindakan tersebut. Lalu apa yang sebenarnya terjadi?

Pemahaman Parsial

Ajaran agama khususnya Islam, menuntut para pengikutnya untuk memahami agama secara menyeluruh, tidak parsial. Mendambakan agama yang rahmatan lil alamin membutuhkan pemahaman agama yang komprehensif dan tidak setengah-setengah. Hal ini dibenarkan pula oleh Hasyim Muzadi bahwa salah satu penyebab penting terjadinya aksi kekerasan dan terorisme disebabkan oleh pemahaman agama yang simplitis, tidak komprehensif.

Kenyataan ini seakan diafirmasi oleh fakta-fakta yang membuktikan bahwa terjadi kekeliruan tentang konsep jihad yang dianut para terorisme—seperti diungkapkan Amrozi cs.—makna Jihad yang disempitkan, seakan hanya bermakan Al Qital (membunuh atau perang). Padahal jihad yang besar justru terletak pada tataran melawan hawa nafsu.

Lebih jauh, pemahaman parsial ini akan membawa kepada sikap fanatik yang cenderung eksklusif. Seakan-akan ia mewakili agama dan agama diwakili ia. Luar dirinya adalah kafir dan jika kafir maka halal darahnya. Dasar inilah yang menjadi legitimasi tindakan terorisme.

Ideologi radikalisme-terorisme ini akan semakin subur, ketika kepentingan-kepentingan nonagama diagamakan, seperti kepentingan politik dan ekonomi. Sampai saat ini konflik Israel-Palestina adalah bukti nyata akan hal ini. Di mana negara adidaya (Amerika) tidak adil dalam menyelesaikan konflik politik di negara tersebut, justru menimbulkan beberapa perlawanan dengan bentuk terorisme yang diagamakan.

Tugas Universitas

Kurikulum pendidikan agama di setiap universitas tentunya berbeda-beda, namun hal ini tak mengurangi tanggung jawab universitas untuk mencegah para mahasiswa mendekati embrio radikalisme-terorisme. Proyek deradikalisasi BNPT yang menuai kontroversi—karena lebih mengarah kepada deislamisasi—seharusnya diberikan sentuhan inovasi, sehingga dapat diterima oleh semua kalangan.

Idealnya sebagai kaum intelektual, mahasiswa tidak asal menelan mentah-mentah paham baru yang dia terima, tetapi harus melewati proses telaah secara kritis dan objektif. Berbagai gerakan dalam kampus, hendaknya diberikan pengawasan agar tidak terjebak pada brain washing melalui pemahaman agama secara parsial, tentunya berakibat pada terciptanya aksi terorisme baru.

Terakhir, semua ajaran agama mengajarkan kedamaian, maka dari itu, tak perlu kekerasan dan teror dalam menyelesaikannya. Dialog dan musyawarah adalah solusi terbaik dalam menyelesaikan sebuah konflik, baik politik maupun agama. Seperti sikap Nabi Muhammad dalam perjanjian Hudaibiyah. Mungkin itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya