SOLOPOS.COM - Qibtiyatul Maisaroh (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar Mahasiswa, Selasa (8/9/2015), ditulis Qibtiyatul Maisaroh. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits IAIN Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Kehendak mengikuti kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) tak lebih dari sekadar pemenuhan tugas akademis yang menjadi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Tak mengherankan jika dalam aplikasinya KKN menghadirkan banyak paradoks, baik dalam diri mahasiswa sendiri atau pun antara mahasiswa dengan lingkungan lokasi KKN.

Realitas ini menjadikan Mutimmatun Nadhifah dalam Paradoks KKN Transformatif (Mimbar Mahasiswa, Solopos, 25/8) menuliskan KKN yang pada mulanya bertujuan memberdayakan masyarakat, membangun desa, dan sebuah wahana untuk transformasi sosial, kini telah bergerak dan menjauh dari kehendak yang akan dicapai itu.

Tulisan Mutimmatun cukup sinis, tapi sebagai sesama peserta KKN transformatif (KKNT) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta saya hanya bisa memaklumi tulisan tersebut.

Saya juga melihat mahasiswa menggunakan jas almamater dan sepatu ke berbagai acara di lokais KKN. Ada semacam kehendak untuk menghadirkan diri lewat pakaian, sebagaimana yang dituliskan Henk Schulte Nordholt (2005) dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan.

Nordholt mengutip Wilson menyatakan pakaian dapat dilihat sebagai perpanjangan tubuh, namun bukan benar-benar bagian dari tubuh (… yang) tidak saja menghubungkan tubuh dengan dunia sosial, tetapi juga (…) memisahkan keduanya.

Dalam hal ini pakaian mahasiswa (jas almamater dan sepatu) berhasil memisahkan mereka dengan masyarakat. Tak hanya pesoalan pakaian, bahasa juga menjadi pemisah antara mahasiswa dan masyarakat.

Kendala ketidakmampuan sebagian mahasiswa menggunakan bahasa daerah penduduk lokasi KKN  (krama inggil) menjadikan mereka mengambil jalan tengah dengan berkomunikasi menggunkakan bahasa Indonesia.

Hal ini malah memunculkan masalah baru karena dalam berkata-kata mahasiswa banyak menyelipkan kata-kata dari bahasa asing dan kata-kata ilmiah yang tak dapat dipahami masyarakat kebanyakan.

Kita bisa saja menduga masalah bahasa ini telah menjadi kebiasaan mahasiswa dalam keseharian, tetapi hilangnya kehendak untuk membumikan bahasa yang menjadi sarana utama dalam komunikasi akan berakibat fatal. Jika dalam komunikasi saja tidak dapat dimengerti, bagaimana dengan program kerja yang akan dilakukan? [Baca: Dalam Kebingungan]

 

Dalam Kebingungan
Dalam buku Paradigma & Metode Kuliah Kerja Nyata Transformatif, Implementasi Participatory Action Research (PAR) dan Participatory Rural Appraisal (PRA) untuk Aksi Perubahan Sosial (2014) garapan Zainul Abbas dan kawan-kawan yang menjadi buku panduan peserta pelaksanaan KKNT IAIN Surakarta ada penjelasan KKN memiliki misi akademis dan misi sosial.

Misi akademis KKN adalah upaya memadukan berbagai ilmu, baik secara internal maupun multidisiplin, yang dikembangkan oleh perguruan tinggi. Sedangkan misi sosial KKN adalah pemberdayaan potensi masyarakat ke arah perubahan sosial, kemandirian, dan kebebasan.

Misi ini bukanlah misi yang mudah. Butuh kerja keras dalam mewujudkannya. Dalam misi akademis, mahasiswa dituntut bisa mengaplikasikan segala pengetahuan yang telah didapatkana di kampus.

Untuk misi sosial, mahasiswa harus mampu menghasilkan perubahan dalam upaya membangun desa, seperti yang direncakan sejak rezim Orde Baru. Kedua misi ini harus tercapai dalam waktu yang terbatas, satu sampai dua bulan.

Akhirnya, misi ini cukup menghadirkan ketakutan dan kebingungan. Takut jika tak dapat menunaikan misi KKN sebagaimana dalam buku panduan. Kebingunan ini menjadikan mahasiwa mengikuti apa saja kegiatan yang ditawarkan masyarakat, seperti piket di balai desa, piket di pos pelayanan terpadu (posyandu), mengecor jalan, mengecat jalan, mengajar di taman pendidikan Alquran (TPA), dan memberikan les untuk siswa-siswa sekolah.

Di luar jadwal KKN, mahasiswa juga dituntut menyusun kegiatan sendiri sebagai salah satu program unggulan. Mahasiswa berkunjung dari satu sekolah ke sekolah lainnya, mengunjungi lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD), taman kanak-kanak (TK), dan sekolah dasar (SD) untuk mengadakan penyuluhan mencuci tangan dengan sabun, membuang sampah pada tempatnya, rumah sehat, dan sebagainya.

Sebenarnya hal ini adalah tindakan yang wajar dilakukan mengingat kegiatan tersebut bisa dijadikan media untuk mengenali masyarakat dan memahami problem sosial yang dihadapi masyarakat.

Dalam hal ini ada yang mengenaskan, yakni posisi mahasiswa lebih sekadar sebagai tenaga kerja. Mahasiswa dengan jas almamater dan sepatu menghadiri berbagai acara lebih sekadar untuk menyumbangkan tenaga daripada gagasan.

Pembuatan perpustakaan desa atau taman baca seperti yang dikisahkan Mutimmatun juga salah satu bentuk dari kebingungan. Mahasiswa masih menjadikan masayarakat sebagai objek kegiatan mereka.

Dengan sangat sedih saya mengatakan KKN adalah kegiatan pura-pura. Setiap hari mahasiswa peserta KKN dituntut membuat catatan harian bersambung sebagai salah satu bentuk tanggung jawab dan laporan. Akhirnya, tuntutan ini menjadikan mahasiwa melakukan apa saja untuk sekadar dapat mengisi cacatan harian tersebut.

Sampai menjelang KKNT berakhir, mahasiswa masih dijejali dengan ketakutan dan kebingungan lanjutan. Ketakutan menghadapi ujian petanggungjawaban laporan di depan dosen pembimbing lapangan (DPL) dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat sebagai lembaga penyelenggara KKNT. Satu lagi, ketakutan mendapatkan nilai tak memuaskan dan ketakutan mendapatkan indeks prestasi komulatif (IPK) rendah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya