SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Priyadi, Mahasiswa Sastra Inggris IAIN Surakarta Bergiat di Bilik Literasi

Jalan kian sesak oleh sepeda motor. Jalan raya tak berkembang secepat motor diproduksi di pabrik. Pemerintah tidak bisa seenaknya membangun jalan. Pembangunan jalan memerlukan modal besar dan waktu yang lama. Sepeda motor dapat ”lahir” ribuan unit setiap pekan. Akhirnya, tak hanya Jakarta yang akrab dengan kata “macet”, Solo pun tak mau kalah.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Solo segera menyusul dan kata “macet” kian sering menyasar dan mengakar ke pikiran. Seperti diberitakan SOLOPOS (25/1), ada sekitar 1,2 juta sepeda motor melintas di jalanan Solo. Macet jadi hal biasa di titik-titik tertentu. Pemerintah Kota Solo mencoba menyiasati dengan berbagai cara. Salah satunya mengeluarkan surat edaran yang berisi larangan membawa sepeda motor bagi siswa sekolah yang belum memiliki surat izin mengemudi (SIM).

Kemacetan bukan unsur utama penerbiatan surat edaran berisi larangan itu. Surat edaran itu lebih menekankan mengingat dan mempertimbangkan batas umur kepemilikan atau penggunaan sepeda motor. Pejabat berwenang khawatir atas nasib siswa yang mengendarai sepeda motor. Kabar kematian akrab terdengar dari jalan. Banyak nyawa melayang karena kecelakaan. Kalangan siswa atau remaja tercatat banyak jadi korban.

Ekspedisi Mudik 2024

Indonesia disibukkan masalah sepeda motor pada dekade terakhir ini. Masalah sepeda motor nasional, standar keselamatan mengendara, kebisingan knalpot, penggunaan helm, krisis bahan bakar minyak (BBM), polusi udara, kemacetan tak terbayangkan bahkan yang paling baru: membuat sibuk agama untuk mengurusi moralitas mengendarai sepeda motor.

Ketergantungan pada sepeda motor telah sampai pada taraf yang akut. Selain tergantung dengan merek asing, juga tergantung pada produk modernitas. Ketergantungan kepada sepemotor sebagai cipta bendawi dengan pelan merampas hak-hak kemanusiaan, baik dari sisi ragawi hingga rohani. Indentitas dan keindonesiaan kita sepertinya juga dipertaruhkan di sepeda motor.

Indonesia sepantasnya menjadi negeri sepeda motor. Kemudahan mengajukan kredit sering jadi pemicu peningkatan jumlah sepeda motor. Peran serta perusahaan sepeda motor dalam acara-acara olahraga dan konser musik sesungguhnya juga mengakibatkan ketergantungan kita pada sepeda motor yang sulit sekali disembuhkan.

Sepeda motor pada masa-masa tertentu berperan besar dalam kampanye, memenuhi jalan dengan raungan yang mengajak orang memilih partai politik atau sosok tertentu. Sepeda motor akhirnya dijadikan simbol prestise oleh masyarakat, terutama murid sekolah saat menggunakannya sebagai sarana transportasi sekaligus pencitraan diri.

Pembatasan kepemilikan-penggunaan sepeda motor bagi siswa sekolah tak hanya persoalan jalan, waktu dan ekologi, melainkan juga urusan moralitas. Beberapa orang tua yang diwawancari SOLOPOS menyebut rela melakukan antar-jemput. Hal ini bukan disebabkan masalah ekonomi, tapi masalah kenakalan remaja. Mereka khawatir bahwa anak mereka akan klayapan atau ceroboh dalam mengendarai sepeda motor.

Masa depan mereka terus dipikirkan, atas nama kemanusiaan, juga keindonesiaan. Para murid mengendari sepeda motor yang tidak dibuat oleh Indonesia, melainkan produk asing. Kita hanya mampu merakitnya, sekaligus memujanya setinggi langit. Buktinya, fanatisme terhadap merek-merek motor tertentu sampai bisa membuat orang mengorbankan uang, waktu, tenaga.

Alangkah baiknya kita mengingat asal mula kedatangan dan membajirnya sepeda motor di Indonesia. Setelah memenangkan hadiah beregu pada balap motor Isle of Man di Inggris pada 1959, Honda Motor Company membentuk tim untuk berkeliling dunia. Mereka melihat pangsa pasar untuk kendaraan bermotor dengan tujuan meluaskan ekspansi penjualan.

Tim yang dipimpin Kawashima tersebut memberi usulan agar produk diekspor ke Asia Tenggara. Tapi, pimpinan perusahaan menolak. Fujisawa yang bertanggung jawab pada manajemen perusahaan memilih Amerika sebagai tempat produksi dan penjualan motor sebagai cabangnya. Tahun 1959, berdiri American Honda Motor Company di Los Angeles atau LA (Kamioka, 1986: 82). Rangkaian sejarah inilah yang nantinya mengingatkan kita bahwa masalah sepeda motor adalah masalah monopoli, modal asing, konsumerisme, jalan dan identitas nasional.

Asia Tenggara yang dulu tak dipilih, kini adalah pasar yang sangat potensial. Asia Tenggara menjadi wilayah yang sangat diperhitungkan. Wilayah ini memberikan keuntungan luar biasa kepada para perusahan sepeda motor Jepang. Negara yang potensial tersebut termasuk Indonesia. Motor merek pabrikan Jepang yang dihasilkan dan diproduksi hampir selalu best seller di Indonesia.

 

Kendali

Di Solo, peningkatan pertumbuhan kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor, meningkat tajam. Dari 2011 hingga 2012 meningkat hampir 50 persen. Pada 2011 jumlah kendaraan bermotor 269.760 unit dan melompat menjadi 402.726 unit pada 2012. Meningkatnya jumlah sepeda motor membuat bingung pemerintah, pengusaha kendaraan umum, polisi dan pemilik-pengemudi sepeda motor itu sendiri. Murah dan mudahnya kredit sepeda motor patut diduga sebagai salah satu alasan kuat meledaknya pertambahan jumlah sepeda motor.

Sepeda motor menjadi anggota keluarga terbaru. Ia hadir untuk menyesaki rumah. Bisa saja jumlah sepeda motor sama dengan penghuni rumah, bisa juga melebihinya. Dengan kenyataan begitu, sepeda motor bukan lagi sebuah kebutuhan tapi memang melampauinya. Ia jadi gaya hidup yang ”tersengaja” dilekatkan pada identitas kebermanusiaan: gengsi dan citra diri. Melalui sepeda motor, kita mengetahui kelas sosial, derajat, maupun rasionalitas suatu masyarakat.

Sepeda motor telah jadi rezim bagi kita, setiap hari dan di mana saja. Akhirnya, kita kebingungan memandang dan memikirkan perkembangan sepeda motor. Ia tak hanya masalah teknologi transportasi yang efektif dan efisien, tapi polusi dan ancaman krisis BBM.

Kebutuhan akan pemilikan sepeda motor bukan lagi urusan kecepatan dan kemudahan, tapi gaya hidup dan identitas pencitraan. Kita seakan tak mampu bergerak dan mengendalikan sepeda motor, tapi kita yang terus-menerus terkendalikan oleh sepeda motor. Akhirnya, kita semakin kehilangan diri.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya