SOLOPOS.COM - Okta Nurul Hidayati (Istimewa)

Mimbar mahasiswa edisi Selasa (24/5/2016), ditulis Okta Nurul Hidayati. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan IAIN Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Aprilia Nur Salimah (Solopos, 10 Mei 2016) menulis keterkaitan penggunaan buku oleh mahasiswa dan dosen. Tulisan itu berhasil menggambarkan dengan pesimistis budaya akademis di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Saya terperangah dengan realitas tersebut, namun berupaya untuk tidak berapologi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Mahasiswa diwajibkan membawa buku agar budaya literer (baca: melek buku) mulai tumbuh. Bagus memang, namun dapat memicu masalah. Budaya literer bukanlah doktrin yang mau tidak mau harus ditaati.

Aprilia mencermati beberapa mahasiswa yang membawa buku ke kampus. Dibawa bukan berarti dibaca. Di sini  kita dapat berpikir lebih kritis. Masalah itu tidak hanya berhenti pada: mengapa buku itu hanya dibawa dan tidak dibaca?

Pikiran selanjutnya yang muncul dalam benak saya adalah bagaimana mahasiswa mau menikmati buku. Buku tidak hanya dibaca tapi dinikmati. Franz Magnis Suseno dalam tulisannya Bukuku Surgaku (2003) menceritakan membaca itu benar-benar menjadi surga bagi dirinya.

Membaca tidak hanya untuk membuka jendela pengetahuan. Membaca untuk melepaskan emosi. Kita bisa melepaskan pikiran-pikiran kita. Mengatasi kegalauan yang muncul dari permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan.

Dengan membaca kita bisa berkelana ke dunia lain, memiliki kehidupan baru yang lebih indah dari kehidupan yang sebenarnya. Itu menjadikan pikiran kita menjadi lebih kreatif dan terbuka. Di dunia membaca buku kita bisa bebas mau pergi ke mana, bagaimana caranya dan hendak melakukan apa.

Semua terserah kita, sesuai kesenangan kita. Beban yang selama ini memberatkan kita untuk bergerak maju lenyap dengan sendirinya. Entah kita sadari atau tidak aktivitas membaca melahirkan kenikmatan baru.

Apakah membawa buku dapat merangsang kita membaca buku? Ciptakan magnet yang bisa menarik kita untuk menikmati membaca baca. Itulah pesan Hernowo dalam bukunya, Quantum Reading (2016). Magnet itu berupa pikiran-pikiran positif ihwal membaca dan buku.

Berikan paradigma yang baik pada buku. Semakin banyak pikiran-pikiran positif yang kita sampaikan kepada buku, semakin banyak pula magnet yang kita kumpulkan. Daya yang digunakan sebuah buku untuk menarik minat kita akan bertambah besar.

Paradigma tersebut berperan penting dalam memunculkan kemauan dan kesadaran kita untuk membaca. Segeralah mengganti paradigma buruk kita terhadap buku dengan paradigma yang lebih baik. Awalnya kita terpaksa membaca, tapi lama-kelamaan akan ada manfaatnya.

Kita akan mulai terbiasa dengan buku, menjadi lebih dekat dengan buku, bahkan kita akan merasakan kesepian tanpa buku. Seorang ”predator” buku biasa melahap banyak buku dalam hitungan hari. Bagaimana strategi dia menikmati buku-buku tersebut? Bagaimana mereka gembira dekat dengan buku?

Daoed Joesoef dalam Budaya Baca (2003) mengemukakan pembudayaan membaca memerlukan waktu yang lama. Dibutuhkan konsistensi dalam penilaian dan penghargaan. Pembiasaan membaca di ruma dan di kampus tidak boleh disepelekan.

Membaca diajarkan para tokoh-tokoh terdahulu. Tiada sejarah yang tercipta jika tidak ada “membaca”. Biarkan membaca menjadi kebutuhan. Menuntut ilmu ditunjukkan dengan mempelajari pemikiran-pemikiran yang telah dibukukan. [Baca selanjutnya: Tanpa Dosen]Tanpa Dosen 

Jika sejak dini diajarkan membaca, kenikmatan itu akan terbawa seiring dengan pertumbuhannya. Semakin dewasa akan menyadari ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya akan berguna bagi dirinya sendiri. Ia akan haus akan ilmu, sehingga terus mencari tahu lewat buku-buku yang dibacanya. Inilah arti sebuah kenikmatan membaca buku.

Aprilia mengungkapkan gagasan cemerlang: buku adalah alat untuk memenuhi kebutuhan ragawi yang mampu mengobati kegalauan dan kekhawatiran. Seharusnya hal itu dapat menjadi kebudayaan warga kampus.

Dalam esai karya M. Fauzi Sukri yang berjudul Guru dan Berguru (2015) ada penjelasan kita bisa berguru kepada buku yang kita baca. Jika mahasiswa mau, mereka bisa membaca dengan gagasan, pemikiran, keyakinan, kemampuan, dan emosi jiwa mereka.

Dengan seluruh kemampuan dan kepekaan mereka, mahasiswa berdialog dengan pengarang, lingkungan mereka, dan diri mereka sendiri. Pada akhirnya bukulah yang menggantikan dosen. Belajar dengan buku, atas bimbingan buku.

Tiada budaya berliterer tanpa kebiasaan menikmati buku. Membentuk budaya membaca tidak bisa menggunakan cara yang instan. Butuh proses tandur, proses yang sistematis dan kesadaran pribadi masing-masing.

Lantas apa peran dosen di kampus? Dosen bukanlah mandor mahasiswa dan menyuruh mahasiswa membawa buku. Dosen adalah kawan belajar mahasiswa dalam menikmati buku. Teladan diperlukan, meskipun tidak harus.

Butuh energi yang kuat dalam jiwa untuk mengintegrasikan membaca dengan olah pikiran. Membaca buku harus dinikmati. Budaya membaca berasal dari maksud tentang sebuah kenikmatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya