SOLOPOS.COM - Ach. Fitri (Istimewa)

Mimbar mahasiswa kali ini, Selasa (20/10/2015), ditulis Ach. Fitri. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Akidah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Ada gairah yang luar biasa di kalangan mahasiswa untuk mendiskusikan filsafat. Pada Kamis, 8 Oktober 2015, Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Akidah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta mengadakan seminar di Gedung C.1.3 IAIN Surakarta dengan tema Filsafat dalam Kehidupan Mahasiswa.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Seminar ini diadakan untuk melihat sejarah filsafat dalam kehidupan mahasiswa di luar negeri dan Indonesia dari masa ke masa, juga untuk melihat prospek IAIN Surakarta yang baru-baru ini menerima keputusan perubahan nama jurusan dari Jurusan Akidah Filsafat menjadi Jurusan Ilmu Akidah.

Perubahan nama ini mengundang pertanyaan para mahasiswa dan civitas academica. Penghapusan kata ”filsafat” dalam nama jurusan yang baru membuat beberapa mahasiswa bersepakat mendiskusikan kembali filsafat dalam kehidupan mahasiswa, merujuk penjelasan Oliver Leaman (2003) tentang konteks filsafat Islam yang dapat didiskusikan dan dipersoalkan kembali sebagaimana dulu pernah terjadi.

Pembicara dalam seminar tersebut adalah Muhammad Al-Fayyadl. Ia salah seorang kontributor laman islambergerak.com dan alumnus Jurusan Filsafat di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta serta lulusan Jurusan Filsafat dan Kritik Kontemporer Kebudayaan Universitas Paris 8, Prancis. Dalam seminar tersebut, Muhammad Al-Fayyadl mengatakan penghapusan jurusan filsafat tidak hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi juga terjadi di beberapa universitas di luar negeri, seperti di Jerman.

Dia berasumsi penghapusan jurusan filsafat di sebuah universitas merupakan “kematian kedua Akademi Plato.” Dalam sejarah filsafat Yunani, kematian Akademi Plato (walaupun tidak seperti kampus yang kita kenal seperti sekarang) adalah akhir dari sejarah para filsuf Yunani yang memasuki abad pertengahan (abad kegelapan).

Perubahan nama jurusan tersebut juga berkaitan erat dengan politik pendidikan. Kita mungkin mengelus dada melihat minimnya gairah mahasiswa masuk dan belajar di jurusan filsafat. Jurusan ini mendapat stereotip penerima mahasiswa ”buangan” yang tidak diterima di jurusan lain.

Kita perlu menyadari para filsuf memang harus mengalami pembuangan, pengasingan, terkucilkan, bahkan harus mengalami kisah tragis, yakni kematian, apalagi dalam hal asmara yang memang jarang berakhir dengan bahagia. [Baca: Filsafat dan Kampus]

 

Filsafat dan Kampus
Menurut penulis buku Derrida (2005) tersebut, pada awalnya filsafat memang tidak ada kaitannya dengan kampus, filsafat merupakan sebuah seni hidup. Pada abad ke-17 dan ke-18 filsafat mulai dimasukkan ke kurikulum di kampus-kampus.

Kalau kita mau melihat dunia Islam, hanya ada beberapa filsuf yang ikut berperan di kampus, terutama adalah Al-Ghazali yang sampai menjadi rektor. Filsafat saat memasuki kampus menjadi ilmu yang ilmiah sistematis.

Mulai saat itu filsafat menjadi kebangkitan baru dan pada saat itu pulalah filsafat berperang melalui tulisan. Ketika ada sebuah teori filsafat dihasilkan dan ditulis menjadi buku maka akan lahir tulisan dan buku-buku baru berupa kritik atau pengembangan pemikiran yang biasanya dilakukan oleh murid penulis buku itu.

Pertaruhan di antara para filsuf kerap kali terjadi, tidak hanya di kampus yang berbeda, bahkan dalam satu jurusan. Mahasiswa bisa memilih belajar dengan filsuf siapa dan dengan teori apa. Pada pagi hari mahasiswa bisa memilih fisuf A yang menentang filsuf B yang membuka kelas pada siang hari atau mengikuti filsuf C di kelas sore yang mengkritik filsuf A.

Begitulah gairah pembelajaran filsafat di kampus-kampus di Barat. Sangat dinamis. Dalam kontek Indonesia, sebenarnya gagasan pendidikan filsafat itu lahir sejak lama. Dalam kurikulum pendidikan di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang dulu disebut Sekolah Tinggi Islam (STI) bisa kita lihat dari gagasan Muhammad Hatta pada awal cita-cita pembangunan STI.

Filsafat, menurut Hatta, menjadi salah satu kurikulum yang harus ada di STI, selain sejarah dan sosiologi. Harapan itu terbentuk berasaskan bagaimana mahasiswa yang belajar di STI bisa mengerti kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan dan dapat memperdalam rasa keberagamaan (penyunting Fuad Jabali, hal. 6, 2002).

Cita-cita Muhammad Hatta ini sejalan dengan semakin praktisnya masyarakat saat ini yang tidak hanya dalam hal sandang pangan, tapi juga dalam belajar dan beragama, terutama di PTAIN. Kita mungkin menyadari kenapa Hatta menjadikan filsafat sebagai kurikulum utama selain sejarah dan sosiologi di STI.

Filsafat memang tidak merusak keyakinan atau mencipta sebuah keyakinan baru, akan tetapi filsafat itu mempertajam keyakinan. Jika keyakinan tidak terbuka pada filsafat, akan terjadi fanatisme buta.

Mungkin kita hanya bisa mengenang perubahan nama jurusan di IAIN Surakarta ini seperti yang tertera dalam buku Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra karya Ahmad Tafsir (2008 yang saya pelajari waktu semester I dahulu.

Ada dua kekuatan yang ikut mewarnai dunia, yaitu agama dan filsafat. Ada dua orang yang mewarnai dunia, yaitu, pertama, nabi, ulama; dan kedua, filsuf. Tidak ada yang banyak kita perbincangkan dan perdebatkan sampai saat ini kecuali tentang agama dan filsafat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya