SOLOPOS.COM - Haji Binsar Siregar (Istimewa)

Mimbar mahasiswa, Selasa (5/1/2016), ditulis Haji Binsar Siregar. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Solopos.com, SOLO — Di Mimbar Mahasiswa Solopos edisi Selasa, 29 Desember 2015, Ichwanuddin Buchori memaparkan benturan yang terjadi antara kampus sebagai lembaga pendidikan ilmiah dan masyarakat.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saat saya membaca artikel tersebut saya jadi teringat dengan pertanyaan penyair W.S. Rendra dalam Sajak Pertemuan Mahasiswa. Kalimat pertanyaan itu berbunyi: Ilmu Saudara untuk siapa? / Saudara berdiri di pihak yang mana?

Ekspedisi Mudik 2024

Saya merasa sajak itu cocok untuk Ichwanuddin sebagai suatu pertanyaan reflektif. Saya pikir perlu untuk mengkritik kebebasan ilmiah yang dimaksudkan Ichwanuddin itu.

Saya mulai dengan ”kesadaran diri” sebagai instrumen dasar pembentuk budaya. Kesadaran diri sebagai refleksi kritis dimulai sejak manusia berusaha memahami dirinya, alam semesta, dan relasi keduanya.

Kesadaran diri memiliki sistem kerja teratur yang disebut ”ilmiah”. Secara alami, kesadaran diri berfungsi sebagai alat verifikasi kehendak diri (das solen) atas realitas indrawi (das sein).

Kesadaran diri berkerja untuk membebaskan batiniah dan jasmaniah manusia dari kungkungan absurditas metafisis dan abstraksi realitas indrawi. Muncul dua bentuk pembebasan manusia sebagai reaksi akan hal itu.

Sikap pertama adalah sikap partisipatif, membenamkan diri dalam gejolak alam sebagai bentuk harmoni kosmosentris. Sikap ini terdapat pada ajaran-ajaran agama Timur dengan konsep ”pengingkaran dunia”.

Dunia dipandang sebagai ilusi yang menyengsarakan manusia (maya). Sikap ”bergerak dalam diam” menjadi laku jasmani dalam menemukan kebahagiaan hidup. Sikap ini menegaskan alam semesta sebagai poros kehidupan dan mengharuskan manusia meleburkan diri ke dalamnya untuk menemukan kesesuaian.

Peleburan diri dimulai dengan mendekonstruksi segala identitas dan nilai duniawi menuju idealis-monistik. Ajaran semisal Buddha, Hindu, dan sufisme Islam mengajarkan paham ini. Di Jawa, ide ini muncul dalam ajaran ”manunggaling kawula Gusti” ala Syeh Siti Jenar.

Gerakan pembebasan ini merupakan gerakan pembebasan interior (Hardiman: 74) yang membebaskan manusia dari dunia materi, waktu, dan keinginan-keinginan indrawi. Tubuh dan segala realitas indrawi dipandang sebagai penjara bagi kesadaran manusia dalam menemukan realitas absolut (Tuhan).

Tradisi Timur mengurai filsafat dengan menggunakan kesadaran diri sebagai interpretasi pengalaman religius yang melingkupi pertanyaan-pertanyaan ontologis. Kebudayaan pada tradisi ini, meminjam istilah August Comte, merupakan kebudayaan mitis.

Tidak mengherankan jika relasi agama dan filsafat dalam tradisi Timur tidak menimbulkan keretakan. Sikap kedua adalah distantif, menundukkan alam melalui proses desakralisasi dan sekulerisasi hingga tercerabutnya pranata-pranata sosial dari simbol-simbol agama.

Alam dipandang sebagai objek yang dapat ditundukkan dengan rasionalitas. Tradisi ini dianut oleh negara-negara Barat yang memaknai alam secara realistis. Sikap ”pengakuan dunia” ini dapat dilukiskan sebagai peralihan dari pertanyaan ”apa” menjadi ”bagaimana”.

Jika tradisi Timur berpandangan kosmosentris, tradisi Barat melihat manusia sebagai poros semesta (antroposentris). Gerakan pembebasan pada tradisi ini merupakan pembebasan eksterior atau pembebasan jasmaniah.

Pembebasan dilakukan dengan menundukkan segala realitas indrawi sebagai objek-objek material yang bisa dimanipulasi. Max Weber menyebut etika Protestan sebagai semangat materialistis yang mengilhami tradisi ini. [Baca selanjutnya: Tidak Manusiawi]Tidak Manusiawi

Tradisi ini melahirkan gerakan-gerakan pencerahan dan aliran-aliran berpikir semisal empirisme, positivisme, dan pragmatisme yang besar dampaknya bagi pembentukan kebudayaan modern.

Sikap ”ilmiah” yang digambarkan oleh Ichwanuddin menurut saya berada pada wilayah kebudayaan Barat. Tidak mengherankan jika kebebasan ilmiah sebagai proses pembebasan dari belenggu pranata-pranata sosial dibela habis-habisan.

Ilmiah yang positivistik ini berimplikasi pada kehilangan kesadaran diri manusia modern. Dalam hal ini, pendekatan yang dilakukan Peter L. Berger tentang fenomena budaya modern cukup relevan untuk menguak ketegangan dalam proses pembebasan eksterior budaya modern.

Manusia modern menurut Berger dalam teori triad dialektis (Berger: 3-28) mengalami tiga perkembangan kesadaran diri. Internalisasi adalah tahapan awal ketika manusia modern menghancurkan segala pranata sosial sebagai bentuk ke-aku-an diri.

Setelah manusia bebas dari segala belenggu ketertindasan fisik, manusia kemudian menjadikan realitas jasmani sebagai objek yang ternilai dengan angka. Tahapan ini disebut objektifikasi.

Gerak maju objektifikasi justru menjadikan manusia sendiri sebagai objek ilmiah baru. Manusia kehilangan kesadaran diri sebagai prasyarat utama orisinilitas individu yang independen sehingga manusia tidak lagi manusiawi, tapi mesin.

Internalisasi sebagai fase ketiga dilakukan manusia untuk menemukan kembali kesadaran diri dengan mengubah struktur lingkungan lahiriahnya menjadi struktur lingkungan batiniah sehingga muncul kesadaran subjektif.

Akhirnya, kebakuan ilmiah yang ditawarkan Ichwanuddin menempatkan kampus sebagai lembaga yang tidak manusiawi. Lalu untuk apa kampus didirikan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya