SOLOPOS.COM - Qibtiyatul Maisaroh (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar mahasiswa kali ini, Selasa (3/11/2015), ditulis Qibtiyatul Maisaroh. Penulis adalah mahasiswa IAIN Surakarta.       

Solopos.com, SOLO — Tragedi temu artis di kampus terulang kembali! Esai Mutimmatun Nadhifah di Mimbar Mahasiswa, Solopos edisi Selasa 27 November 2015, tak mengurangi gairah warga Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta mempertemukan kembali para mahasiswa dengan para artis.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Mutimmatun mengisahkan kegelisahan, ketakutan, dan kemarahan dirinya saat mengikuti temu artis di Gedung Graha IAIN Surakarta pada 21 Oktober 2015 lalu. Dalam tulisan berjudul Tragedi Temu Artis di Kampus, Mutimmatun menilai temu artis di kampus dapat melumpuhkan posisi  kampus sebagai pusat keilmuan.

Pada Jumat, 30 Oktober 2015, kampus IAIN Surakarta kembali mendatangkan artis. Kali ini artis yang didatangkan ke kampus adalah para pemain film Catatan Akhir Kuliah, yaitu Acho, Sam Maula (penulis buku Catatan Akhir Kuliah), Johansyah Jumberan (produser film Catatan Akhir Kuliah), dan Budi Doremi.

Untuk bertemu para artis ada dua kategori tiket yang ditawarkan panitia. Tiket kategori pertama dengan harga Rp25.000 dan tiket kategori kedua dengan harga Rp50.000. Pemilik kedua tiket tersebut sama-sama mendapatkan sertifikat, mendapat perangkat seminar, menonton bareng film Catatan Akhir Kuliah, melihat penampilan artis, dan mendapat doorprize.

Perbedaannya, pemilik tiket Rp50.000 yang disebut sebagai peserta very important person (VIP) menonton film Catatan Akhir Kuliah tidak bersama dengan mahasiswa lainnya di Graha IAIN Surakarta, melainkan bersama para pejabat rektorat IAIN Surakarta di sebuah hotel.

Perbedaan ini cukup menggiurkan. Saya pun mafhum mengapa untuk tiket yang kategori kedua ini tidak ditulis di pamflet atau di baliho publikasi acara temu artis. Pemberitahuan ihwal tiket kedua hanya dilakukan oleh panitia dari mulut ke mulut.

Mungkin menjadi sebuah kesakralan ketika duduk bersama artis dan pejabat tinggi kampus sembari menonton film bersama. Wajar ketika para mahasiwa berupaya mengeluarkan biaya lebih banyak agar tidak termasuk sebagai orang yang menyia-nyiakan kesempatan yang jarang terjadi ini.

Acara temu artis yang di Graha IAIN Surakarta kali ini sangat berbeda dengan apa yang dikisahkan Mutimmatun. Para mahasiswa masuk Graha IAIN Surakarta dengan tertib, rela mengantre, berbaris sampai ke luar gedung, dan kemudian menunjukkan tiket masuk kepada panitia.

Di dalam gedung panitia telah mempersiapkan tempat duduk dengan susunan yang begitu rapi. Suasana damai, santai, dan gembira terlihat pada wajah mereka yang menunggu dimulainya acara pada pukul 13.00 WIB.

Sampai acara temu artis selesai, saya tidak berhasil ikut di kelompok pembayar tiket Rp25.000, apalagi di kelompok pembayar tiket Rp50.000. Saya dan beberapa teman hanya duduk di depan Graha IAIN Surakarta, memerhatikan para calon penonton film dan panitia menunggu artis.

Ini lebih tidak nyaman karena kami harus memasang telinga kuat-kuat agar dapat mendengar perbincangan di dalam gedung sambil sesekali mengintip ke dalam gedung dari kaca untuk mengetahui keadaan. Saat artis yang ditunggu datang, para mahasiwa bersorak, terjadi keriuhan, terlebih saat Budi Doremi mulai bernyanyi.

Saya dan kawan-kawan saya yang berada di luar Gedung Graha IAIN Surakarta segera mengintip. Kerja kami mengintip ketahuan, gorden yang semula terbuka lalu ditutup. Kali ini yang bisa kami lakukan adalah mempertajam kuping untuk mencuri kata yang tak dapat disaring oleh panitia. [Baca: Bulan Artis]

 

Bulan Artis
Saya mendapat informasi, pada temu artis sebelumnya panitia mengatakan bulan ini adalah bulan artis. Jadi, merupakan kewajaran atau bahkan prestasi jika IAIN Surakarta dapat mendatangkan artis dua kali dalam satu bulan.

Seorang kawan yang kebetulan menjadi panitia mengabarkan pada bulan-bulan terakhir ini organisasi mereka disibukkan menyusun pertanggungjawaban administrasi akhir tahun kepada ”negara” (kampus). Mendatangkan artis ke kampus menjadi salah satu jalan pintas untuk mengisi laporan pertanggungjawaban.

Kedatangan artis ke kampus tak hanya dapat membahagiakan dan menjadi bekal mahasiswa untuk melakukan aksi pamer di media sosial, melainkan juga menggembirakan aparatur kampus.

Mukti Ali dalam sambutannya pada pembukaan post graduate II dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia pada 29 Nopember 1972 di Jogja sebagaimana dikutip Faisal Ismail dalam Universitas, Cendekiawan, dan Pembangunan (1975) menyatakan peran kampus tidak hanya memberikan hal-hal baru yang ditimbulkan oleh perubahan masyarakat kepada mahasiswa.

Kampus dituntut mengajari mahasiswa berpikir secara kritis, memecahkan persoalan masyarakat, memahami method of approach, berdisiplin intelektual, dan mengantarkan mahasiswa untuk mencintai buku. Saya tidak tahu apakah temu artis di kampus dapat mewujudkan anjuran Mukti Ali itu atau malah sebaliknya.

Temu artis di kampus menjadi sebuah fenomena luar biasa yang melibatkan seluruh elemen kampus. Pada 4-6 Agustus 2015 lalu, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengadakan International Quran Conference. Seminar ini  merupakan ajakan untuk mempertemukan mahasiswa dengan para intelektual dunia.

Ada Faried Esak (Afrika), Abdullah Saeed (Australia), Daniel Madigan (USA), Emran el-Badawi (USA), Johanna Pink (Jerman), Andane Makrani (Itali), dan juga para intelektual Indonesia seperti Nasaruddin Umar, Machasin, Amin Abdullah, Syahiron Syamsudin, dan lainnya.

Peserta konferensi dapat duduk bersama, mengobrol dengan para intelektual dunia tanpa mengeluarkan biaya. Buku dan makalah dibagikan secara gratis. Persoalan biaya turut membingungkan. Anggapan semakin banyak biaya yang dikeluarkan semakin berkualitas mulai terabaikan.

Kehadiran para artis ke kampus menembus nalar dan menghujat mimpi.  Artis-artis yang dihadirkan ke kampus juga akan turut memperkenalkan nama kampus. Kita bisa mengingat Putri Indonesia, Anindia, yang terus menyebutkan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang sebagai lembaga yang turut mendidiknya sampai ia berada di panggung dunia.

Ketenaran artis menyaingi ketenaran para intelektual yang juga dilahirkan dalam kampus yang sama. Artis memang  lebih mudah dikenali, diingat,  dan dikenang  bahkan dalam wilayah akademis. Alasan kampus biar terkenal memang alasan yang paling tepat untuk disetujui.



Artis-artis tersebut nantinya akan turut mendefinisikan identitas kampus. Semakin banyak artis yang datang ke kampus akan semakin menunjang ketenaran kampus. Artis-artis tersebut akan diabadikan di kalender kampus, di brosur pendaftaran mahasiswa baru, dan di website kampus.

Artis menjadi kebutuhan kampus selain gedung, masjid, mahasiswa, dosen dan perpusatakaan. Sekarang saya hanya bisa merenung dan bertanya, mungkinkah kita hidup tak berartis? Bisakah kita hidup mulia tanpa artis?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya