SOLOPOS.COM - Priyadi Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Institut Agama Islam Negeri Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Priyadi
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris
Institut Agama Islam Negeri
Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Hatta—nama lengkapnya Mohammad Hatta–bukan hanya sebuah gambar dalam dinding kelas sekolah-sekolah. Lelaki berkaca mata dengan bingkai tebal, kadang berpeci hitam, jas dan dasi ini bukan pula hanya seorang lelaki yang berdiri agak di belakang Soekarno ketika pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia berlangsung.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ia juga bukan hanya patung sebagai monumen atau sekadar dikenang sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Hatta adalah salah satu tokoh pokok pembentukan Indonesia. Membicarakan Indonesia secara menyeluruh wajib menyinggung Mohammad Hatta. Melupakan sosok Hatta sebagai tubuh dan gagasan adalah sebuah kesalahan.

Hatta adalah referensi dalam mencari keindonesiaan. Ia bergerak tak cuma dalam wujud tubuh, tapi juga pikiran. Ia menggerakkan gagasan dengan menulis Indonesia. Ia pelopor pengajaran filsafat dan politik yang bergerak dengan aksara. Hatta menggerakkan kata dalam kalimat-kalimat cerdas mencerahkan. Demokrasi dia ajarkan melalui tulisan. Hatta adalah lelaki santun, lugu tapi tak wagu. Ia mengucap, menulis dan melakukan sesuai apa yang ada dalam pergulatan pikirannya.

Ia memberikan dirinya kepada publik dengan kata dan aksara yang menjelmakan ia sebagai penggembala politik-demokrasi Indonesia.  Hatta berdiri tegak dan kukuh seperti karang sejak era kolonialisme hingga awal Orde Baru. Ia berpijak di atas ketegasan dan kejujuran. Sekali ia bilang tidak akan bekerja di bawah pemerintah penjajah, seterusnya akan begitu.

Hatta pernah ditawari bekerja ketika di Digul oleh Van Langen. Hatta menolaknya. Van Langen mengancam, jika menolak Hatta tak akan dipulangkan ke Jawa. Hatta disuruh untuk mempertimbangkan dan kembali lagi ke kantor Van Langen esok pagi. Tapi jawab Hatta yang di jelaskan dalam buku Mohammad Hatta: Pejuang, Proklamator, Pemimpin, Manusia Biasa garapan Amrin Imran (1981): …saya tolak, sekarang, besok dan untuk seterusnya. Soal pulang atau tidak, itu bukan urusan Anda (1981: 44).

 

Politik Literer

Hatta adalah anugerah bagi bangsa Indonesia. Hatta memberikan darmanya dengan gagasan-gagasan yang mengagumkan kepada publik. Gagasan-gagasan Hatta dalam menumbuhkembangkan demokrasi Indonesia adalah referensi penting. Hatta mengajarkan demokrasi dengan politik berliterer. Ia membudayakan koreksi dan memberikan konsep-konsep yang berarti.

Dalam Demokrasi Kita (1966) Hatta memberi kritik pedas kepada Soekarno dengan model demokrasi terpimpinnya. Kharisma dan kewibawaan yang melekat dalam diri Soekarno memang memikat. Tapi, kata Hatta, demokrasi dengan model seperti itu tak akan bertahan lama. Hatta menulis: Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi maka sistemnya akan rubuh seperti rumah kartu.

Tak hanya itu, Hatta juga mengkritik beranak-pinaknya partai politik pada era demokrasi parlementer. Parta politik berbiak jadi banyak. Orang-orang berjibaku untuk memperebutkan kedudukan. Posisi diincar atas pamrih gaji. Partai mengeruk uang untuk kepentingan pemilihan umum dan suksesi. Rakyat terabaikan, mengeluh dengan model demokrasi yang tak memedulikan kepentingan rakyat kebanyakan. Sistem parlementer melahirkan kediktatoran. Dan Hatta mengatakan,”…demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalann untuk lawannya: diktator.”

Demokrasi harus berdasar pada kedaulatan rakyat. Tiang demokrasi adalah rakyat dan bukan segelintir elite politik yang sering kali tak memiliki etika publik. Hatta dalam pidato di Solo pada acara Permusyawaratan Pamong Praja, 7 Februari 1946, yang berjudul Kedaulatan Ra’jat menyatakan: Kedaulatan ra’jat jang berarti pemerintahan ra’jat menghendaki ra’jat mempoenjai keinsafan politik. Hanja dengan keinsafan politik dapat timboel rasa tanggoeng djawab, jang mendjadi tiang daripada pemerintahan ra’jat. Oleh karena itoe perloe diadakan didikan politik bagi ra’jat.

Mohammad Hatta lahir dengan nama Mohammad ‘Athar. Ia sejak kanak-kanak sering di panggil Atta hingga lama-kelamaan berubah menjadi Hatta. Kakek dari keluarga ayahnya memiliki surau di Batuhampar. Meski ayahnya sudah meninggal, hubungan keluarga pihak ayah dan ibu tetap baik. Keluarga ayah Hatta mengharapkan agar ia menjadi seorang alim.

Jadi, ia harus masuk sekolah agama. Keluarga ibu tak setuju dengan harapan tersebut. Perundingan dilakukan dan dicapai sebuah kesepakatan. Hatta akan masuk Sekolah Rakyat dahulu, setelah itu akan dikirim ke Mekah untuk belajar Islam. Meskipun begitu, Hatta tak jadi ke Mekah. Waktu diajak oleh salah satu keluarga ayahnya yang akan naik haji, paman dari keluarga ibunya melarang dengan alasan pengajian Quran-nya belum tamat (Imran: 1981).

Walaupun Hatta tak jadi belajar Islam di Mekah, di antara tiga pemimpin Indonesia yang moncer, yakni Soekarno, Hatta dan Syahrir, Hatta adalah orang yang paling agamis. Namun, Hatta tak memperlihatkannya ke publik dengan simbol-simbol agama yang dilekatkan ke tubuh. Hatta adalah orang yang taat beragama. Sewaktu kecil dan sehabis Magrib, ia belajar mengaji di surau. Ia adalah orang taat, sederhana, jujur dan lugu. Keluguannya kadang jadi bahan ejekan Soekarno.

Hatta memikirkan bangsa dengan mengajarkan demokrasi, keadilan dan perekonomian. Landasan gagasan ekonomi kerakyatannya adalah Islam. Ia seorang cendekiawan bangsa tetapi juga seorang alim meski tak terlihat kentara. Hatta menampilkan diri dengan pengertian bahwa agama bukan sebagai ortodoksi, tapi ortopraksi.

Itu terbukti dengan— meminjam pendapat George Mc T Kahin—sosoknya sebagai tokoh besar yang jujur, tidak korup dan mengabdikan hidup untuk keadilan sosial dan membangun negara demokratis. Akan sangat mustahil jika kita membayangkan Hatta (yang Islamis tapi tak kentara) akan menerima suap impor daging sapi dengan nilai milaran rupiah karena untuk membeli sepatu merek Belly saja ia tak mampu!

Duh! Tapi, akan tidak mustahil jika kita mau merenungi pengajaran Hatta dari buku-buku karangannya sambil mendengarkan Iwan Fals mengalunkan lagu sendu: Hujan air mata dari pelosok negeri/Saat melepas engkau pergi. Mari kita renungkan sosok dan perbuatan Hatta untuk memperingati hari wafatnya Mohammad Hatta (14 Maret 1980-14 Maret 2013).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya