SOLOPOS.COM - Muhammad Saleh (Istimewa)

Mimbar mahasiswa, Selasa (21/4/2015), ditulis Muhammad Saleh. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Tarbiah, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Menarik mengikuti  polemik di Mimbar Mahasiswa Solopos edisi 31 Maret, 7 April 2015, dan 14 April. Tiga esai yang berpolemik tersebut mengemukakan berbagai persepsi tentang demonstrasi, fotografi jurnalisme, dan narsisme.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saya ingin bertanya kepada Kukuh Subekti yang menulis esai Demonstrasi Bukan Arena Narsisme di Mimbar Mahasiswa Solopos edisi 14 April, sudah berapa kali Anda berdemonstrasi? Sudah berapa banyak aspirasi yang Anda sampaikan digubris oleh pihak-pihak terkait?

Sejauh mana perubahan yang Anda cita-citakan bisa dirasakan paling tidak oleh Anda sendiri? Bisa jadi demonstrasi yang dilakukan tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebatas ingin menunjukkan siapa diri kita, bukan ingin menunjukkan apa yang kita sampaikan.

Paling tidak demonstrasi yang dilakukan hanyalah demonstrasi tanpa substansi, tanpa tahu arah tujuannya. Ibarat ingin menelepon seseorang tanpa mengetahui nomor telepon yang ingin dihubungi.

Saya bukan tidak sepakat dengan demonstrasi. Saya juga mahasiswa dan bukan hanya sekadar mahasiswa namun juga aktif dalam organisasi pergerakan mahasiswa.

Yang ingin saya ketengahkan di sini adalah bagaimana kemudian konsep demonstrasi yang dilakukan agar benar-benar sampai kepada sasaran dan memberikan dampak bagi perubahan yang kita cita-citakan.

Lenin pernah menjelaskan massa rakyat harus dibuat melek. Sebenarnya ada tidaknya media (jurnalis) yang meliput demonstrasi bukan menjadi persoalan bagi tersampaikannya apsirasi yang ingin kita sampaikan.

Kemampuan kita menyadarkan masyarakat yang dirugikan atas kebijakan publik menjadi langkah kunci bagi cita-cita mewujudkan perubahan (perbaikan). Semakin banyak rakyat yang sadar (melek), semakin luas hegemoni kita untuk mendesakkan keinginan yang kita cita-citakan dari berbagai arah untuk menekan pihak-pihak terkait.

Seperti kata pejuang revolusioner Kuba, Che Guevara, ”Dalam persatuan terdapat kekuatan. Kita semua (mahasiswa) sadar eksistensi media massa saat ini rentan sekali ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan kapitalisme.

Artinya, ketika jurnalis meliput demonstrasi yang kita lakukan tidak ada jaminan yang kemudian diberitakan adalah dalam rangka menjalankan tanggung jawab sebagai pengontrol kebijakan publik.

Mahasiswa yang berdemonstrasi hanya dijadikan objek media untuk meraup keuntungan tanpa ada timbal balik untuk mahasiswa itu sendiri. Para demonstran berpanas-panas hingga kulit legam, berteriak hingga suara serak, bahkan bisa mati karena dipukuli polisi.

Lalu apa lagi? Adakah harapan perubahan dalam suasana yang tak tentu itu? Adakah suara kita yang tak begitu keras ini sampai ke telinga mereka yang jaraknya tak kita ketahui seberapa jauhnya?

Opini Publik
Kalau media massa diharapkan dapat membentuk opini publik dan penyampai pesan kepada masyarakat, itu memang harapan yang benar. Namun, apakah pembentukan opini publik dapat kita atur sesuai dengan yang kita harapkan?

Media punya ruang simulacrum untuk memilih dan memilah berita yang akan ditampilkan. Berita yang ditampilkan sangat bergantung pada kepentingan apa dan siapa yang mengelola redaksi. Relevankah media (kita harapkan) menjadi pembentuk opini publik yang objektif?

Berangkat dari realitas empiris, aksi demonstrasi yang sering kita saksikan dewasa ini bukanlah demonstrasi yang murni untuk menyampaikan aspirasi namun lebih merupakan ajang tampil diri aktivis pergerakan mahasiswa.

Lihat saja liputan aksi demonstrasi di televisi dengan aktivis yang memamerkan atribut organisasi pergerakan mereka. Apakah kemudian masyarakat mengetahui apa yang didengungkan oleh demonstran dalam orasi mereka, selain sekadar tahu mereka berdemonstrasi, membakar ban, dan bentrok dengan polisi?

Justru kemudian masyarakat berasumsi bahwa mahasiswa hanya bisa merusak, mengganggu lalu lintas, dan berbuat anarkistis. Asumsi masyarakat tidak bisa disalahkan. Bisa jadi demikian pula media menangkap realitas yang kemudian dibangun menjadi kerangka pemberitaan dan dibaca, didengar, atau dilihat masyarakat.

Gerakan massa itu penting. Ghandi mengatakan kejahatan, ketidakadilan, dan kebencian hanya ada selama kita mendukungnya, mereka tidak memiliki keberadaan dengan sendirinya. Tanpa kerja sama, disengaja atau tanpa disengaja, ketidakadilan tidak mungkin berlanjut.

Di sini saya, sekali lagi, bukan menolak aksi demonstrasi, tetapi bagi saya konsep yang ditawarkan haruslah berevolusi dari konsep sebelumnya. Aksi demonstrasi mahasiswa angkatan 1966 dan 1998 mampu menghasilkan perubahan karena relevan dengan zamannya.

Ketika Kukuh menyatakan masyarakat Indonesia bukanlah benda mati yang tidak bergerak, tidak tumbuh, dan tidak berkembang mencerdaskan dirinya, tentu saya sepakat.

Ktika kita kontekstualisasikan dengan aksi mahasiswa saat ini, bukankah ini menjadi terbalik? Sejak dulu hingga sekarang kebijakan publik selalu disikapi dengan demonstrasi, bukankah ini bukti kemandekan? Aksi demonstrasi mahasiswa sekarang tidak lagi garang seperti generasi sebelumnya. Bukankah ini bukti kemerosotan?

Saya sepakat bahwa demonstrasi adalah sarana penyampai aspirasi, kehendak, dan harapan kepada pihak-pihak terkait. Mari berdemonstrasi dengan konsep yang betul-betul matang, tepat sasaran (bukan di jalan), dan tak bergantung kepada jurnalis dan media massa.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya