SOLOPOS.COM - Hanputro Widyono (Istimewa)

Mimbar mahasiswa, Selasa (29/9/2015), ditulis Hanputro Widyono. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Setengah abad berlalu, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) masih saja menarik untuk diperbincangkan. Lewat jargon sakti ”Awas bahaya laten komunis!” menjadikan komunis di Indonesia tak pernah mati.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Jargon tersebut hidup dalam batin masyarakat Indonesia, mendarah, mendaging, bahkan merasuk sampai ke sumsum-sumsum tulang. Masyarakat dibuat selalu waswas—ketimbang waspada—pada komunis.

Soeharto ialah orang yang kali pertama ”mematenkan” jargon sakti tersebut. Legitimasi rezim Soeharto sebagai pahlawan penyelamat bangsa dari rongrongan G30S—yang menurut Soeharto dimulai dan diorganisasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)—diyakinkan kepada masyarakat.

Ikhtiar indoktrinasi juga dilakukan melalui banyak alat propaganda, seperti buku teks, monumen, nama jalan, film, museum, upacara peringatan, dan hari raya nasional (John Roosa, 2008).

Meskipun telah banyak artikel dan buku yang ditulis untuk mempertanyakan kebenaran sejarah G30S versi rezim Soeharto dengan menyajikan fakta-fakta baru, seperti yang ditulis John Roosa (2008), Hersri Setiawan (2006), Syamdani, ed. (2001), toh ingatan masyarakat telanjur dibentuk rezim Soeharto.

Antikomunisme menjadi ”agama” negara yang ”didakwahkan” lewat bahasa nasional. Imam Sokarsono, seorang perwira ABRI [kini TNI], menulis kertas kerja Politik Bahasa Nasional dan Ketahanan Nasional dalam praseminar Politik Bahasa Nasional, 29-31 Oktober 1974.

Dalam tulisannya itu, Imam menyimpulkan politik pertahanan keamanan nasional sebagai salah satu syarat mutlak untuk menyukseskan perjuangan nasional mempunyai korelasi yang erat dengan politik bahasa nasional. Bahasa adalah tiang pancang kebudayaan.

Demi terciptanya pertahanan keamanan nasional dari komunisme, rezim Soeharto sengaja menyebarkan sikap antikomunisme melalui bahasa Indonesia. Masalah kebahasan tidak dapat dipisahkan dari masalah nasional kita yang lain, terutama masalah sosial dan budaya, sehingga memerlukan pengolahan yang berencana, terarah, dan teliti (Amram Halim, 1981). [Baca: Perkembangan Bahasa]

 

Perkembangan Bahasa
Untuk membuktikan hal ini, kita akan melihat perkembangan bahasa Indonesia dengan membandingkan beberapa kata yang berkaitan dengan komunisme dalam kamus-kamus terbitan Pusat Bahasa atau Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dengan Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) karya W.J.S. Poerwadarminta.

Kamus-kamus terbitan Pusat Bahasa dijadikan rujukan karena merupakan lembaga negara yang tugas utamanya mengonservasi dan merevitalisasi bahasa dan sastra Indonesia.

Kamus seperti Kamus Bahasa Indonesia (2008) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV (2013) dianggap tepat sebagai rujukan. Sedangkan KUBI—kali pertama terbit pada1952—dipilih karena merupakan kamus yang mengilhami lahirnya KBBI.

Kata pertama yang dapat kita bandingkan adalah “laten”. Makna leksikal istilah ini adalah tersembunyi; terpendam; tidak kelihatan, tetapi mempunyai potensi untuk muncul.

Contoh pengaplikasiannya dalam kalimat “Kita harus waspada terhadap bahaya laten komunis (KBBI, 2013).” Contoh kalimat ini tidak kita temukan di dalam KUBI, bahkan pemaknaannya hanya sebatas tersembunyi; terpendam; tidak kelihatan.

Di sini tampak kata “laten” telah mengalami penyempitan makna akibat munculnya embel-embel “mempunyai potensi untuk muncul” setelah meletusnya peristiwa G30S pada 1965.

Kata kedua yaitu ”dunia”. Istilah ini dapat diturunkan lagi. Salah satunya adalah “dunia bebas”, yang dimaknai negara-negara demokrasi; negara-negara nonkomunis (KBBI, 2013). Dalam KUBI, turunan kata ini belum ada.

Kita memperoleh suatu hal dari makna leksikal itu, bahwa Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi, bukan negara komunis, maka Indonesia menjadi bagian dari negara bebas. Segala sesuatu yang berbau komunis adalah musuh bersama yang wajib dibasmi!

Stigma atau citra negatif terhadap komunis semakin diperkuat dalam contoh aplikasi kata “anjuran”. Kata ini dimaknai sebagai sesuatu yang dianjurkan; usul; saran; nasihat; ajakan. Kalimatnya dicontohkan demikian, ”Anjuran mogok kepada kaum buruh biasa diberikan oleh kaum komunis (KBBI, 2008: 75).

Di dalam KUBI, contoh kalimatnya berbunyi demikian, “Anjuran ketua itu diterima oleh rapat.” Perubahan contoh kalimat tersebut merekonstruksi pikiran pembaca  setelah peristiwa G30S bahwa komunis merupakan provokator hal-hal buruk.

“PKI dan DI dinyatakan haram oleh pemerintah (KBBI, 2008: 510)”. Pernyataan yang sangat antikomunis tersebut ditunjukkan dalam contoh aplikasi kata “haram” yang makna leksikal teranyarnya adalah terlarang oleh undang-undang; tidak sah.

Makna dan contoh kalimat tersebut jelas tidak kita temukan di dalam KUBI. Dari analisis sederhana di atas kita dapat memperoleh kata kunci yang menggambarkan komunis, yaitu berbahaya, nirkebebasan, provokator, dan haram.

Semua tentang komunis dan komunisme dikonstruksikan bahasa Indonesia secara negatif. Jika merujuk pada salah satu fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah lambang kebulatan semangat kebangsaan Indonesia (Amran Halim, 1981), dapat disimpulkan sikap antikomunisme yang mulanya hanya dimiliki Soeharto dan anak buahnya kini telah menjadi milik rakyat Indonesia.

Sikap antikomunisme itu sendiri telah menjadi sesuatu yang “laten” pula. Sudah 50 tahun sejarah G30S menjadi misteri, tetapi rakyat tidak peduli. Pemecahan misteri G30S, terutama tentang “kontroversi” dalang peristiwa tersebut—yang belum pasti dilakukan oleh orang-orang PKI—akan membawa implikasi sangat luas bagi sejarah nasional Indonesia (John Roosa, 2008).



Rakyat telah disibukkan untuk menuliskan sikap-sikap dan spanduk-spanduk antikomunisme dalam hidup mereka. Tak mengherankan jika menjelang 50 tahun G30S, esok hari, di jalan-jalan di Kota Solo dapat mudah ditemui spanduk-spanduk bertuliskan “Awas bahaya laten neo-PKI!”; “Umat Islam Menolak Presiden Meminta Maaf kepada Pemberontak PKI”; “G30S/PKI Bukan Korban HAM tapi Jagal Para Jenderal”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya