SOLOPOS.COM - Ranggi Kresnanda, Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada

Ranggi Kresnanda, Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada

Pembahasan mengenai rokok merupakan topik yang cukup sensitif di negeri ini. Beberapa pihak mendukung regulasi yang lebih ketat mengenai konsumsi rokok dan regulasi industri dengan berlandaskan pada argumentasi mengenai kesehatan dan biaya kesehatan yang ditimbulkan oleh produksi dan konsumsi rokok.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sementara di sisi lain, kelompok-kelompok pro rokok berargumen mengenai tingginya kontribusi rokok terhadap pendapatan nasional serta banyaknya kelompok petani yang hidup mereka bergantung pada produksi tembakau dan industri rokok.

Sejarah mencatat bagaimana usaha pemerintah membendung permintaan rokok domestik yang makin tinggi merupakan hal yang problematis. Misalnya, pada 2009, ketika Undang-Undang Kesehatan disahkan, pasal yang mengatur mengenai rokok sebagai barang yang mengandung zat adiktif hilang dalam naskah akhir yang disidangkan DPR.

Akhir-akhir ini, anomali kembali terjadi ketika Rancangan Undang-Undang Pertembakauan masuk ke Badan Legislasi DPR dan disosialisasikan oleh beberapa anggota DPR meskipun pada 2012 Rapat Paripurna DPR memutuskan mengendapkan rancangan itu. Lobi beberapa perusahaan rokok besar dianggap biangnya.

Usaha kelompok masyarakat sipil membangun resistansi terhadap rokok dan akibat negatif yang ditimbulkannya juga tidak selamanya lancar. Perang wacana berlangsung di ruang publik dengan intensif. Kelompok pro rokok menyatakan upaya pengendalian produk tembakau atau rokok merupakan upaya-upaya korporasi asing untuk mengendalikan produksi kretek yang notabene memiliki kandungan tar dan nikotin yang lebih tinggi.

Upaya ini diyakini untuk memuluskan produksi dan pemasaran rokok putih (mild) dengan kadar nikotin yang lebih rendah agar lebih mudah masuk ke pasar domestik. Selain itu, alasan kultural, yakni merokok (kretek) adalah budaya dan produk asli Indonesia, menjadi landasan lain perlawanan kelompok pro rokok.

Sekarang, yang menjadi masalah adalah bagaimana kita bergerak dari dua kutub ekstrem ini dan menciptakan kompromi di antara dua kepentingan tersebut. Mampukah kita menciptakan ekuilibrium dan menciptakan win-win solution? Dengan kata lain, bisakah kebijakan pro kesehatan yang melindungi rakyat diciptakan sementara di sisi lain aspek kontribusi ekonomi dari industri rokok nasional tidak dikorbankan?

 

Peluang

Peluang bagi terciptanya kompromi (mungkin) bisa teraih apabila kita secara cerdik mau menengok rezim perdagangan regional saat ini. ASEAN yang merupakan organisasi ekonomi dan geopolitik bagi sepuluh negara Asia Tenggara bisa jadi menyediakan semacam exit option bagi rivalitas dua kubu dengan kepentingan yang saling berlawanan tersebut dengan menyediakan jalan terbentuknya trade creation di antara negara-negara anggota.

Trade creation menurut Jacob Viner (Viner, 1965) merupakan istilah dalam perdagangan internasional yang menjelaskan fenomena terjadinya perubahan arus perdagangan akibat dibentuknya area perdagangan bebas maupun serikat pabean (custom union). Trade creation menyatakan seiring dengan integrasi ekonomi negara-negara dalam kawasan tertentu yang ditandai dengan munculnya pasar bebas dan tarif pabean yang seminimal mungkin, harga komoditas secara bersamaan juga ikut turun yang berimbas makin intensifnya perdagangan antarnegara dalam kawasan tersebut.

Apabila Indonesia mampu dengan cermat melihat peluang trade creation ini, harga rokok Indonesia yang tergolong salah satu yang termurah di dunia bisa kembali ditekan untuk kemudian dilempar ke pasar regional. Dengan pasar bebas dan tarif bersama tersebut, harga rokok dalam negeri tidak akan berbeda jauh dengan di pasar regional, malah bisa sama.

Namun, untuk mencapai sasaran tersebut, Indonesia mesti mampu menciptakan kondisi produksi rokok yang seefisien mungkin sehingga produk rokok Indonesia memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) yang lebih baik dibandingkan dengan produk-produk rokok di negara lain dalam satu kawasan.

Hal ini mestinya tidak terlalu sulit, mengingat tingkat produksi rokok nasional yang mencapai angka 370 miliar batang per tahun menjadikan Indonesia sebagai produsen sigaret utama kawasan, bahkan dunia. Dengan melempar produksi sigaret dalam negeri ke pasar regional ASEAN diharapkan dua tujuan dapat dicapai dalam satu tempo.

Pertama, pemerintah mampu menggencarkan upaya pengendalian konsumsi tembakau agar dampak buruk rokok terhadap kesehatan dapat diminimalisasi sekaligus tidak kehilangan sumber pendapatan dari segi cukai rokok yang jumlahnya cukup signifikan. Kedua, di sisi lain, kalangan pebisnis dan produsen sigaret tidak terancam kehilangan pendapatan dan konsumen dari resistansi rokok dalam negeri karena telah menemukan pasar baru yang potensial, yakni negara-negara tetangga dalam kawasan ASEAN.

Tentu saja, upaya ini tidak bisa dicapai secara instan. Perlu penetrasi dan sosialisasi serta penguatan strategi pemasaran rokok ke ruang publik regional agar rokok dalam negeri mendapat tempat di benak konsumen negara-negara tetangga. Selain perlindungan kesehatan dan kelanggengan industri rokok, usaha melempar produk rokok nasional ke pasar kawasan regional bisa jadi strategi bertahan hidup yang dapat dipertimbangkan bagi Indonesia untuk menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN 2015, meskipun protes berbagai kalangan terhadap kebijakan yang ”kurang bermoral” ini sudah semestinya kita hadapi nanti.  (ranggikresnanda@hotmail.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya