SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Abdul Halim, Pengurus DPP Hizb Dakwah Islam (HDI) Jakarta

Hasil awal perhitungan suara pemilihan presiden (pilpres) II di Mesir  yang berlangsung pada 16-17 Juni lalu  menunjukkan  Mohammad Mursi dari Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizbul Hurriyah wal Adalah), sayap politik Ikhwanul Muslimin (IM), lebih unggul daripada Marsekal (Purn) Ahmad Shafiq, calon independen dan mantan perdana menteri (PM) terakhir era rezim Presiden Husni Mubarak. Mursi dilaporkan meraih suara terbanyak di 19 dari 27 provinsi di Mesir.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kemenangan Mursi sebenarnya diuntungkan putusan mahkamah konstitusi (MK) Mesir yang membubarkan parlemen karena hasil pemilu akhir tahun lalu dianggap tidak sah dan menyalahi konstitusi. Ikhwanul Muslimin (IM) juga memasukkan para pendukungnya sebagai calon independen sehingga 70 persen anggota Parlemen Mesir dikuasai IM dan Partai Noor Salafi. Selain itu MK juga membolehkan Ahmad Shafiq untuk tetap mengikuti pilpres.

Keputusan inilah yang membuat rakyat Mesir merasa dizalimi  oleh para pendukung mantan Presiden Mubarak termasuk para Jenderal di Dewan Tinggi Militer Mesir (SCAF) yang dipimpin Marsekal Hussein Thontowi.    Carter Centre yang dipimpin mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Jimmy Carter yang bertugas menjadi pemantau menyatakan pemilu dilaksanakan secara terbuka, independen, jujur dan adil.

Pilpres II jelas menunjukkan pertarungan antara kubu Islamis (Mursi) vs kubu militer (Shafiq). Kubu Islamis yang diwakili IM mendapat dukungan dari kelompok revolusioner dan salafi, sedangkan kubu militer didukung para kroni Mubarak, AS dan Israel.

AS dan Israel khawatir jika nantinya kubu Islamis yang menang dan Mursi tampil sebagai Presiden Mesir menggantikan Mubarak maka nasib Perjanjian Damai Camp David antara Mesir dan Israel bisa ambruk. Bahkan Mursi sudah menyatakan jika kelak dirinya menjabat presiden maka Mesir tidak akan tunduk lagi pada Barat seperti sebelumnya.

Meski kelompok revolusioner banyak yang sekuler, namun mereka lebih mendukung Mursi daripada Shafiq. Risikonya akan jauh lebih berat jika Shafiq sampai berkuasa karena rezim lama akan bangkit kembali dan Mesir menuju ke era pemerintahan fasis militeris.

Vonis hukuman seumur hidup dan bukan hukuman mati bagi Mubarak dan kedua anaknya yang lebih ringan dari tuntutan rakyat Mesir menunjukkan masih kuatnya pengaruh penguasa Mesir selama 30 tahun tersebut. Kelompok revolusioner menginginkan Mubarak dihukum mati terkait dengan kejahatannya terhadap para demonstran selama revolusi Mesir berlangsung tahun lalu dan selama memerintah dengan cara diktator.

Apalagi Mursi sudah berjanji jika dirinya terpilih, dia bertekad memberantas ketidakadilan dan korupsi di Mesir. Mursi juga berjanji akan menyediakan obat-obatan secara murah, membuka kesempatan kerja bagi para penganggur, memperbaiki ekonomi serta menghidupkan kembali pasar. Pascarevolusi, sektor distribusi barang ke pasar sering macet.

Sementara kubu Shafiq menakut-nakuti pemilih, jika Mursi sampai terpilih maka kekaisaran Islam akan kembali ke Mesir dengan membawa rezim ”fasis Islam” dan Mesir menjadi negara Islam. Sedangkan jika Shafiq terpilih, programnya adalah membuat masa depan Mesir yang lebih baik dari era sebelumnya, mengingat pengalaman Shafiq selama bertahun-tahun sebagai pejabat tinggi termasuk PM terakhir era Mubarak.

Pengalaman di birokrasi inilah yang menjadi bahan jualan kubu Shafiq. Sementara Mursi dianggap belum memiliki pengalaman sama sekali di birokrasi pemerintahan Mesir. Jadi, sesungguhnya pertarungan Mursi vs Shafiq adalah pertarungan kubu Islamis dan reformis vs kubu rezim militer dan pro status quo.

Kelompok Islamis yang diwakili Ikhwanul Muslimin dalam sejarahnya sudah lama berlawanan dengan kelompok militer yang dikenal pro Barat. Maka tidaklah mengherankan jika banyak pemimpin puncak IM yang meninggal ditangan militer, seperti Hasan Al Banna, Sayyid Qutub, Ismail Al Hudaibi dan lain-lain.

Mereka harus berhadapan dengan pemerintahan militer Gamal Abdul Nasser (1953-1970), Anwar Sadat (1970-1981) dan Husni Mubarak (1981-2011). Sejak didirikan Hasan Al Banna pada 1928, ratusan tokoh IM harus mendekam dalam penjara bahkan menghadapi tiang gantungan rezim militer Mesir dan IM menjadi partai terlarang. Dengan demikian, sesungguhnya Mursi vs Shafiq adalah pertarungan hidup mati untuk menguasai Mesir setelah terjadinya gerakan revolusi Arab Springs yang menyapu seluruh kawasan Timur Tengah.

Masa Depan

Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana masa depan Mesir di bawah pemerintahan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin Presiden Mohammad Mursi?

Pertama, transisi kekuasan sedang berlangsung di Mesir dari era lama ke era baru, dari era kediktatoran militer pro Barat kepada era demokrasi yang berpihak pada kekuatan Islam. Kekuatan politik Islam yang didominasi Ikhwanul Muslimin diuntungkan dengan terjadinya Arab Springs, sehingga sekarang mereka berkuasa di Parlemen Tunisia, Maroko, Aljazair, Yordania, Sudan, Kuwait, Palestina dan Mesir. Tampaknya jarum jam sejarah tidak mungkin diputar kembali termasuk oleh SCAF sekalipun.

 

Kedua, tidak hanya Mesir yang akan jatuh ke kubu Islamis yang diwakili IM, bahkan Libia, Yaman serta Suriah diprediksi akan jatuh ke tangan IM. Nasib rezim Bashar al Assad di Suriah sudah berada di ujung tanduk setelah menghadapi pergolakan bersenjata dari rakyatnya selama lebih dari 15 bulan ini dengan memakan korban lebih dari 13.000 jiwa. Salah satu penggerak pemberontakan adalah IM Suriah yang pernah dibantai ayah Bashar, Hafez al Assad, di Kota Hama (1982).

 

Ketiga, pembubaran Parlemen Mesir oleh MK tidak akan berpengaruh terhadap pemerintahan Presiden Mursi. Bahkan, Mursi bisa lebih bebas menjalankan pemerintahan meski dibatasi konstitusi baru hasil bentukan 100 tokoh yang dipilih SCAF. Jika nanti dilaksanakan pemilu baru untuk memilih anggota parlemen baru, dapat  dipastikan IM dan Partai Salafi tetap akan menguasai parlemen Mesir.

 

Keempat, kemenangan Mursi akan semakin menggetarkan kekuatan Barat dan Israel. Mesir dengan penduduk 80 juta jiwa dianggap lebih berbahaya daripada Iran jika sampai jatuh ke tangan kekuatan politik Islam. Pasalnya, Iran berpenduduk 75 juta jiwa dan berpaham Syiah yang hanya 10 persen dari jumlah umat Islam, sedangkan Mesir berpaham Sunni yang merupakan 90 persen dari jumlah umat Islam di dunia, apalagi berbatasan langsung dengan Israel dan menguasai Terusan Suez yang sangat strategis.

 

Dengan demikian, tugas berat sudah mengadang Presiden Mohammad Mursi untuk memperbaiki perekonomian, mengendalikan keamanan negara, mempersatukan bangsa, meninjau kembali hubungan strategisnya dengan AS, meninjau kembali Perjanjian Damai Camp David dengan Israel, serta membangun hubungan baru dengan kekuatan revolusioner Islamis seperti Iran, Hizbullah dan Hamas. Hambatan  terbesar yang akan mengadang pemerintahan Mohammad Mursi adalah masih tetap kuat dan eksisnya para Jenderal di SCAF.



 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya