SOLOPOS.COM - Warga memadati Jl Jenderal Sudirman, Solo menyaksikan penyalaan perdana lampu instalasi Natal, Kamis (1/12/2022). (Solopos/Putut Hartanto)

Solopos.com, SOLO—Saya berdiri mematung di pinggir Jl. Jenderal Sudirman, salah satu jalan utama di Kota Solo. Lama saya berdiri di dekat gereja di sudut jalan tersebut, menyaksikan keramaian ratusan orang yang tumpah ruah pada akhir pekan itu.

Pandangan saya menyapu 12 instalasi pohon Natal yang berdiri berjajar dengan beragam cahaya serta puluhan wanita berkerudung yang berdiri di bawahnya. Mereka semua tersenyum di bawah instalasi pohon Natal yang bersinar di tengah gelapnya malam, mengabadikan meriahnya Hari Raya umat Nasrani lewat ponsel pintar. Cekrek, momen itu pun membeku dalam waktu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Puluhan PKL juga nyaris tak tampak karena dikerumuni pembeli. Penjual makanan, minuman, sampai mainan anak tak ada yang sepi. Mereka yang membuka dhasaran di trotoar hingga mereka yang mobile, semuanya melayani pembeli. Kota yang sungguh hidup ini membuat saya takjub.

Keramaian ini mengingatkan saya pada momen saat Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah berlangsung pada November 2022 lalu. Senyum dan tawa yang sama, keramaian yang sama.

Saya teringat momen ketika pada hari itu semua tukang ojek online mendadak offline karena serbuan penumpang. Selama tiga hari, jutaan orang memenuhi Kota Solo, menghidupkan ratusan pelaku IMK, UKM, hingga tukang ojek yang sebelumnya sangat terdampak pandemi. Selama muktamar, triliunan rupiah tertahan di daerah , membuat roda ekonomi di Kota Solo dan sekitarnya berputar.

Seorang tukang ojek yang saya tumpangi menuju Gedung Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta, lokasi muktamar, tak henti berucap syukur. “Saya Katolik, tapi acara ini membawa berkah. Rp2 juta untuk sehari ini. Cukup untuk SPP anak-anak saya. Agama Anda membawa berkah. Semoga lancar acaranya,” kata dia kepada saya, penumpang berkerudung di boncengannya, yang membuat saya terdiam seketika. Kata-katanya menimbulkan rasa takjub yang sama.

Suasana Jl. Jenderal Sudirman dan memori itu membuka kesadaran baru pada diri saya. Antidot, penawar racun, begitu saya menyebutnya untuk situasi keterhubungan dan koneksi yang menjadi keniscayaan pada era kenormalan baru di negeri ini.

Kondisi pascapandemi, terutama saat wajah Jl. Jenderal Sudirman berganti-ganti dengan berani, mulai dari wajah Natal, Tahun Baru Imlek, Ramadan, dan lainnya, berhasil membuat pelaku IMK dan UMK tidak hanya mampu bangkit, namun juga semakin kokoh. Dengan UMKM sebagai motor penggerak Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), menurut saya, kebersamaan yang ditunjukkan di Jl. Jenderal Sudirman Solo menjadi bahan bakarnya. Sebuah motor bisa bergerak tanpa tersendat ketika didukung bensin dalam wujud kehidupan yang berbasis toleransi, saling menghormati, bahkan saling membantu.

Jadi, biarlah Indonesia yang beragam selamanya tetap beragam, tidak perlu menjadi sama. Sebab, esensi keberagaman ini sejatinya adalah satu tujuan, yakni membangun Indonesia untuk semua, tanpa ada seorang pun yang tertinggal di belakang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya