SOLOPOS.COM - Fajar S. Pramono (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Ketika bertemu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Kota Semarang Sabtu (16/5) lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengatakan pemerintah sedang merumuskan pola kebangkitan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM pascapandemi Covid-19.

UMKM adalah entitas yang paling dekat dengan ekonomi kerakyatan. Di tengah kondisi UMKM melawan ketidakpastian ekonomi era pandemi, yang disampaikan Erick Thohir menarik untuk ditelaah. Sangat menggembirakan ketika pemerintah berpikir jauh ke depan, berbicara mengenai rumusan UMKM setelah era pandemi ini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Berpikir lebih dari satu langkah ke depan merupakan ciri khas dari pola pikir visioner yang memang menjadi salah satu kompetensi utama seorang pemimpin. Sebuah adagium mengatakan orang bodoh bicara masa lalu; orang biasa bicara saat ini; dan orang pintar bicara masa depan.

Pertanyaannya, apakah lontaran tentang perumusan kebangkitan UMKM pascapandemi itu menyiratkan ketidakpahaman pemerintah bahwa para pelaku UMKM saat ini sedang sibuk berjibaku dengan kondisi omzet turun drastis, piutang dagang macet, distribusi barang seret, menggerakkan tenaga kerja di tengah penjarakan fisik (physical distancing) susah, ancaman wanprestasi atas kewajiban kepada pihak ketiga seperti supplier, bank, leasing dan sebagainya, yang justru menuntut pemerintah turun tangan?

Jawabannya: tidak. Meskipun agak terlambat mengantisipasi ”serangan ekonomi” oleh makhluk tak kasat mata bernama SARS Cov-2, virus penyebab Covid-19, pemerintah telah bergerak cepat di bidang kebijakan ekonomi. Keputusan mengalihkan anggaran pendapatan dan belanja negara maupun daerah ke bidang sosial ekonomi penyangga hidup warga negara (bantuan sosial tunai maupun non tunai), pemberian subsidi dan pelonggaran tenggat waktu pemenuhan kewajiban kepada negara (pajak, listrik, bahan bakar dan sebagainya), serta pemberian kebijakan relaksasi kredit bagi para debitur melalui bank dan lembaga pembiayaan lainnya merupakan sedikit dari banyak kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah.

Di tengah pelaksanaan program pemulihan ekonomi yang demikian, pemerintah memang harus memikirkan bagaimana UMKM Indonesia bisa segera bangkit begitu pandemi ini berlalu. Keterlambatan mempersiapkan struktur ekonomi dan bangunan UMKM pascapandemi sama artinya mengulang kesalahan kita yang terlambat mengantisipasi dampak ekonomi pada awal bencana kesehatan ini.

Presiden Joko Widodo berulang kali mengatakan akan ada ”kenormalan baru” (new normal) dalam sendi-sendi segala bidang kehidupan kita, termasuk bidang ekonomi tentunya. Kecekatan segera memikirkan masa depan ekonomi pascapandemi harus diartikan sebagai sikap optimistis bangsa ini dalam melewati “badai” bertajuk pandemi Covid-19.

Perilaku Baru Konsumen

Merumuskan bangunan UMKM pascapandemi tidak bisa dilepaskan dari prediksi perubahan perilaku konsumen era new normal nanti. Bagaimanapun, UMKM produksi maupun jasa tergantung pada pembeli (baca: konsumen) sebagai pasar. Sejak istilah ”disrupsi” dipopulerkan oleh pakar perubahan Rhenald Kasali, kita sadari bersama bahwa bukan zamannya lagi produsen barang dan jasa mendikte pasar.

Selera dan kebutuhan (juga keinginan) pasarlah yang saat ini dominan berperan menentukan jenis barang, fitur, dan layanan jasa yang harus dihasilkan produsen. Berbicara prediksi perilaku konsumen pada era kenormalan baru rasanya kita harus menengok pada prediksi yang disusun Yuswohady, managing partner lembaga riset pemasaran Inventure.

Dalam penelitiannya, Yuswohady memprediksi setidaknya 30 perilaku baru konsumen era new normal. Sebagian di antaranya merupakan disrupsi oleh millenial yang sesungguhnya sudah berlangsung sejak kita belum mengenal apa itu virus corona. Ini menjadi semakin mengganggu ketika kehadirannya “bersekutu” dengan disruptor baru: pandemi Covid-19.

Secara terperinci, prediksi itu mendasarkan diri pada empat new main behavior (kebiasaan utama baru), yakni kecenderungan untuk beraktivitas di rumah (stay at home), kebiasaan berbelanja daring (online shopping), tumbuhnya masyarakat empati (empathy society), dan kecenderungan untuk kembali ke kebutuhan dasar manusia (back to the bottom of the pyramid) karena ada penurunan bahkan ketidakpastian perolehan penghasilan saat pandemi.

Piramida yang dimaksud adalah piramida kebutuhan dasar Maslow. Pemenuhan kebutuhan pokok (papan, sandang, pangan) menjadi prioritas. Dari  prediksi tersebut bisa disampaikan beberapa contoh utama. Pertama, pembelian secara online yang mulai bergeser dari yang bersifat keinginan (wants) kep yang bersifat kebutuhan (needs). Dari barang nonesensial ke barang esensial.

Kedua, kebiasaan bekerja di rumah (work from home), pelakunya mulai menikmati keseimbangan antara working-living-playing. Bekerja sembari mengurus keluarga sekaligus menikmati leasure time, bahkan me time. Ketiga, dalam hal makanan minuman, ada beberapa kecenderungan khusus.

Orang mulai memilih berbelanja makanan beku, minuman berporsi jumbo, dan mengembalikan pilihan kepada produk-produk alami (herbal). Keempat, adanya kebutuhan belanja teknologi yang lebih besar. Pulsa, kuota Internet, listrik, fitur, dan aplikasi gadget, menjadi semacam ”keharusan” baru yang wajib dimiliki setiap keluarga.

Kelima, semakin tingginya kesadaran menjaga kesehatan. Produk alat kesehatan dan olahraga serta suplemen atau obat penguat fisik dan stamina menjadi buruan masyarakat, bahkan bisa menjadi layaknya “kebutuhan dasar” pada masa nanti. Keenam, masyarakat kita semakin religius.

Pandemi ini menyadarkan banyak orang bahwa manusia memang tidak memiliki daya apa pun dibanding kekuasaan Tuhan. Bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Bahwa manusia hidup harus saling berempati. Dalam konteks yang linier, segala hal yang menunjang aktivitas ibadah individu juga menjadi ”kebutuhan dasar baru” pada era baru yang lebih agamis.

Pemerintah dan Lembaga

Mengapa prediksi teknis tadi perlu disampaikan dalam paparan ini? Sebab pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar baru itulah yang mestinya menjadi salah satu pertimbangan utama perumusan bangunan UMKM pascapandemi.

Berulang kali disampaikan oleh para pakar, tak ada jaminan bahwa pelaku usaha yang hebat pada masa sebelum pandemi akan menjadi pelaku usaha yang tercepat bangkit dari keterpurukan akibat dampak Covid-19. Yang menjadi jaminan pada masa depan adalah kejelian pelaku usaha untuk membidik kebutuhan-kebutuhan baru dari perubahan perilaku konsumen di atas.

Para pelaku UMKM tidak bisa lagi beraktivitas usaha dengan cara yang sama setelah pandemi berlalu. Mereka harus punya cara baru. Pelaku UMKM bahkan harus berani ”banting setir” strategi dan komoditas demi memastikan eksistensi pada masa pascapandemi.

Pertanyaannya, siapakah yang harus mengarahkan para pelaku UMKM ini? Apakah semua pelaku UMKM membaca prediksi Yuswohady? Lebih ekstrem lagi: apakah para pelaku UMKM sempat ”belajar” mempersiapkan masa depan usaha mereka pascapandemi, sementara hari ini mereka masih sibuk dengan pragmatisme mempertahankan omzet dan penghasilan?

Tak akan sempat. Tak akan terpikir oleh pelaku UMKM kita yang sebagian besar masih konvensional. Menjadi tugas kita semua untuk membuka kesadaran para pelaku UMKM. Bagaimana caranya? Berdayakan lembaga-lembaga riset pemerintah dan swasta untuk ikut merumuskan model ekonomi mikro, kecil, dan menengah yang baru.

Carilah metode sosialisasi tentang perubahan tuntutan konsumen pascapandemi secara masif di tengah konsentrasi pragmatis pelaku UMKM. Mulai pikirkan bagaimana pemerintah dan lembaga penghimpun dana bisa membantu pelaku UMKM untuk memulai usaha yang mungkin sempat mati suri. Saatnya memikirkan kembali kail dan umpan. Bukan ikan lagi.



Mulai arahkan donasi-donasi kepada bentuk riil modal produktif. Bukan sekadar –maaf– ilmu dan pelatihan tanpa pendampingan serta pendorongan ke aksi nyata. Intinya, apa pun yang bisa membuat pelaku UMKM langsung action kembali begitu pandemi berlalu. Bukan hanya berandai-andai.

Di luar institusi pemerintahan ada banyak lembaga ekonomi dan BUMN yang harus digerakkan bersama. Perbankan harus benar-benar memfungsikan diri sebagai advisor, “tim sukses” UMKM, di luar fungsi utama sebagai delivery channel system dan financial intermediary.

BUMN nonkeuangan harus mau menggandeng UMKM dalam distribusi dan suplai bahan baku hingga barang jadi. Berbagai pekerjaan yang memerlukan sub-channel dan supply chain pastikan memprioritaskan UMKM sebagai rekanan. Beri batasan minimal kerja sama dengan UMKM dan beri sanksi tegas bagi yang mengabaikan.

Jadikan momentum ini sebagai titik tonggak kesekian bagi tegaknya eksistensi UMKM Indonesia. Perlakukan juga aturan-aturan baru bagi perusahaan swasta besar untuk melakukan hal yang sama. Dengan sanksi yang sama. Di sinilah peran dan kewenangan pemerintah ”dimainkan” secara positif untuk mengatur itu semua dengan prediksi perubahan perilaku konsumen pascapandemi sebagai ”kiblat”-nya.

Hanya dengan ketegasan peran pemerintah akan benar-benar dirasakan oleh para pelaku UMKM domestik. Beberapa hal mungkin dirasa seperti ”kembali dari bawah”. Kembali “merangkak”. Tapi, hanya itu rasanya yang bisa memastikan bahwa ekonomi kerakyatan Indonesia akan bangkit kembali setelah terpaksa melewati masa sulit era pandemi.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya