SOLOPOS.COM - Widya Ristanti (Solopos/Istimewa)

 

Membaca secuil epos Mahabarata pada fragmen Ekalaya, sungguh menarik. Tahukah kita siapa Ekalaya? Dalam dunia pewayangan Jawa, Ekalaya dikenal dengan nama Bambang Ekalaya atau Bambang Palgunadi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Karena terlahir dari golongan Nishada, ia pun tidak diterima berguru kepada Resi Durna. Nishada adalah golongan yang dianggap berkasta rendah. Durna yang mengeksklusifkan diri dengan melatih ilmu perang dan persenjataan  para bangsawan Kurusetra tentu saja menolak permohonannya secara mentah-mentah. Durna hanya mau melatih para pangeran dinasti Kuru (Pandawa dan Kurawa). Salah satu janjinya menjadikan Arjuna sebagai satu-satunya pemanah unggul menyebabkan penolakan tersebut.

Ia khawatir Ekalaya akan menandingi Arjuna dalam hal memanah. Penolakan yang menyakitkan dan kenyataan yang telah melekat pada dirinya apakah membuat Ekalaya terpuruk?

Tidak. Berbekal semangat untuk belajar, ia pun mengasingkan diri ke tengah hutan. Sesampai di tengah hutan yang gelap, ia membuat patung Durna. Setelah patung itu selesai dipahat dan berdiri kokoh, ia pun menebalkan tekad untuk menjadi pemanah andal. Tak terkalahkan oleh siapa pun.

Hari demi hari dilaluinya. Di depan patung guru idolanya ia menempa dirinya secara mandiri. Pagi hingga malam ia berlatih demi mewujudkan keinginannya untuk mahir memanah. Secara autodidak ia mengasah kemampuannya agar bidikan anak panahnya tepat sasaran. Ia latih ketajaman rasa dan intuisinya dalam memanah.

Akhirnya waktu yang membuktikannya. Ia mampu menjadi pemanah yang titis dan memiliki intuisi tajam. Kemampuan memanahnya jauh melampaui Arjuna ketika pada suatu hari ia tidak sengaja adu titis memanah dengannya.

Saat itu pula  ia pun bertemu dengan Durna, obsesi terbesarnya. Durna pun terheran-heran, kagum, dan sekaligus dengki ketika mengetahui kehebatan Ekalaya yang sangat jauh  melampaui Arjuna, anak didiknya.

Walaupun nasibnya berakhir dengan tragis–hal ini lazim ditemui karena dalam epos Mahabarata hitam putih tokoh cerita tetap berlaku–pribadi Ekalaya menjadi tokoh yang patut direfleksikan pada diri para pembelajar.

Siapakah pembelajar dalam konteks ini? Apakah para siswa atau mahasiswa yang memang sedang berada pada masa belajar? Bukan. Bukan mereka. Pembelajar yang penulis maksud pada tulisan ini adalah rekan-rekan guru. Mengapa guru disebut sebagai pembelajar? Bukankah guru berada pada posisi sebagai pengajar?

Belajarlah sepanjang hayat. Kita tentu mengenal kalimat bijak ini bukan? Sejatinya, setiap individu adalah pembelajar. Dengan belajar, setiap individu dapat memperoleh pengetahuan baru, arti hidup, dan pengembangan potensi yang dapat digunakan untuk diri pribadi maupun masyarakat luas. Guru sebagai seorang pengajar dituntut untuk senantiasa belajar.

Hal ini menarik jika kita komparasikan dengan kondisi pandemi saat ini. Kondisi di mana semua serba sulit, termasuk dalam dunia pendidikan. Pola pembelajaran yang telah tercipta seketika terbalik seperti membalikkan telapak tangan. Proses belajar-mengajar berganti secara daring. Tak ada tatap muka. Tak ada pembelajaran dengan pembimbingan secara langsung. Kemandirian guru dan peserta didiklah yang menentukan denyut lemah keberlangsungan pembelajaran daring.

Pandemi telah berlangsung lebih dari dua tahun. Learning loss pun sudah tampak. Berdasarkan rilis survei Kemdikbudristek yang dilakukan pada 18.370 siswa kelas I–III SD di 612 sekolah di 20 kabupaten/kota dari 8 provinsi (April-Mei 2021) diketahui hasil bahwa pandemi membawa dampak pada kemunduran capaian literasi dan numerasi peserta didik.

Survei yang bertujuan untuk membandingkan capaian literasi dan numerasi pada siswa yang diajar dengan menggunakan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Darurat tersebut setidaknya memberi gambaran nyata kepada kita bagaimana dampak pandemi pada pendidikan.

Pandemi, kamu jahat. Itulah ungkapan yang jamak ditemukan di berbagai media. Akan tetapi, sejahat-jahatnya pandemi, pastilah ada sisi positif yang bisa kita ambil hikmahnya. Kita harus percaya bahwa munculnya pelangi pasti setelah hujan. Tanpa hadirnya hujan, lengkung pelangi yang penuh warna tak akan ada di langit biru.

Pandemi telah mengajarkan kepada kita untuk beradaptasi dengan berbagai hal. Salah satunya ialah beradaptasi dengan teknologi. Pandemi telah mengajarkan kita untuk mengenal berbagai media dan sarana pembelajaran. Kini kita telah akrab dengan Zoom meeting, Google Meet, Microsoft Office Teams, dan media pertemuan virtual lainnya. Padahal, tiga tahun sebelumnya, bisa dikatakan tidak ada satu pun guru yang mengajar menggunakan aplikasi tersebut. Pembelajaran berlangsung secara konvensional di ruang-ruang kelas.

Penulis teringat dengan proses adaptasi pembelajaran daring tersebut di awal pandemi. Banyak guru yang memerlukan pendampingan hanya untuk mengoperasikan aplikasi. Bagaimana membuat kelas virtual, bagaimana mengundang peserta didik, bagaimana memulai video conference, bagaimana proses pemberian tugas, bagaimana mengonversi soal ke bentuk daring, dan masih banyak bagaimana-bagaimana lainnya.

Semua proses tersebut tidak berlangsung secara instan. Adaptasi terhadap kemajuan teknologi menjadi kunci. Siapa saja yang beradaptasi? Apakah hanya peserta didik? Tidak. Gurulah yang harus beradaptasi dengan baik. Telah banyak ahli yang mengatakan bahwa guru adalah pemegang kunci kesuksesan belajar peserta didik, bukan?

Berkaitan dengan materi pembelajaran, di era keberlimpahan ini konten berkaitan dengan pembelajaran telah banyak tersedia. Kita mau mencari apa pun ada. Hal tersebut telah dinyatakan oleh sastrawan besar Indonesia, Hamka, jauh-jauh hari, “Kamu hanya akan menemukan apa yang kamu cari.” Mau mencari inovasi pembelajaran, tinggal mencari di Youtube. Mau mencari media pembelajaran interaktif, kita tinggal mencari di Google. Mau mencari buku-buku teori dan praktik pembelajaran, kita tinggal ketikkan kata kunci di mesin pencari. Mau mengembangkan diri dengan mengikuti seminar, kita tinggal duduk manis di depan laptop dan menyimak dengan saksama untuk memperoleh ilmu.

Semua itu dapat dijadikan modal untuk melakukan proses membelajarkan suatu pengetahuan kepada peserta didik. Mengapa membelajarkan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengajar adalah memberi pelajaran. Padahal, peran guru tidak hanya memberi pelajaran. Ada peran yang jauh lebih besar yakni membelajarkan (menjadikan bahan atau kegiatan belajar, KBBI daring) peserta didik untuk memperoleh ilmu pengetahuan sesuai dengan pengalaman empiris yang dialaminya.

Kemauan guru untuk memperkaya diri dengan ilmu menjadi hal yang perlu digarisbawahi. Mau membaca dan mendengarkan merupakan kuncinya.

Semakin banyak membaca semakin kita sadar bahwa sangat sedikit yang kita ketahui. Oleh sebab itu, mari kita isi waktu-waktu luang dengan melakukan hal terbaik guna meningkatkan potensi diri.

Apalagi pemerintah menerapkan Kurikulum Merdeka pada satuan pendidikan. Walaupun pada tahun pelajaran 2022/2023 pemberlakuan tersebut masih bersifat opsional tergantung dengan kesiapan masing-masing satuan pendidikan, rasanya, kita perlu bersiap-siap untuk menyambutnya karena banyak hal baru yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka tersebut terutama terhadap praktik pembelajaran.

Pertama, Kurikulum Merdeka  berorientasi  holistis yakni  dirancang untuk mengembangkan murid secara menyeluruh dalam hal ini  mencakup kecakapan akademis dan nonakademis, kompetensi kognitif, sosial, emosional, dan spiritual.



Kedua, berbasis kompetensi, bukan konten. Maksud dari hal tersebut ialah kurikulum dirancang berdasarkan kompetensi yang ingin dikembangkan, bukan berdasarkan konten atau materi tertentu.

Terakhir, kontekstualisasi dan personalisasi kurikulum yang dirancang sesuai konteks (budaya, misi sekolah, lingkungan lokal) dan kebutuhan peserta didik.

Dari semua hal itu, ada satu benang merah yang sama yang dapat ditarik. Inti dari proses membelajarkan ialah berpihak kepada peserta didik. Semua untuk peserta didik. Gurulah yang mengantarkan peserta didik untuk menguasai ilmu dan keterampilan yang dapat diimplementasikan di kehidupan mereka.

Sebagai sebuah pengantar, tentu ada hal yang diantarkan bukan? Ya, ilmu dan keterampilan yang idealnya telah dipahami oleh guru jauh beberapa langkah di depan muridnya.

Oleh sebab itu, mari belajar! Mari menjadi Ekalaya di tengah segala situasi! Kiranya kita benar-benar dapat merefleksi arti dari nama Ekalaya yang diambil dari bahasa Sansekerta. Ekalavya yang berarti orang yang memusatkan pikirannya kepada suatu ilmu.

Artikel ini ditulis oleh Widya Ristanti, Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 5 Solo, Mahasiswa  Program Magister pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana UNS. Artikel ini telah terbit di Koran Solopos, 27 April 2022.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya