SOLOPOS.COM - Ronny P. Sasmita (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Dalam pidatonya terkait Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun Anggaran 2023 beserta nota keuangan 16 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan beberapa asumsi makro. Antara lain pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% dan laju inflasi akan dijaga pada level 3,3%.

Proyeksi pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF), yakni sebesar 5,2%. Lembaga keuangan internasional itu menaksir pertumbuhan yang jauh lebih rendah daripada proyeksi awal yang sebelumnya menyebut ekonomi Indonesia bisa tumbuh 6%.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sementara dari sisi inflasi, Jokowi optimistis inflasi akan melandai, meski masih dibayangi tekanan dari sisi eksternal atau ekonomi global. “Asumsi inflasi pada level ini juga menggambarkan keberlanjutan pemulihan sisi permintaan, terutama akibat perbaikan daya beli masyarakat,” katanya di Senayan, Selasa (16/8/2022).

Kemudian, Jokowi juga menetapkan rata-rata nilai tukar rupiah pada 2023 diperkirakan bergerak pada kisaran Rp14.750 per dolar AS. Sejalan dengan itu, tingkat suku bunga (yield) SUN 10 tahun pun diperkirakan masih berfluktuasi akibat dinamika global, namun secara rata-rata masih berada di kisaran 7,85%. Sementara itu, harga acuan minyak Indonesia (ICP) ditetapkan sebesar US$90 per barel

Target pertumbuhan ekonomi yang dituju pemerintah sebesar 5,3% cukup masuk akal dan moderat. Ini mengingat tekanan global yang masih akan menghantui di tahun depan di satu sisi dan penurunan kapasitas fiskal pemerintah untuk belanja produktif akibat subsidi BBM yang harus ditanggung di sisi lain. Proyeksi tersebut sangat mungkin tercapai selama aturan main protokol kesehatan bisa bertahan seperti hari ini alias tidak ada lagi gelombang Covid 19 yang benar-benar membahayakan dan membuat pemerintah harus memberlakukan pembatasan level 3 atau 4.

Pun proyeksi tersebut akan semakin masuk akal jika stabilitas harga minyak dunia terbentuk di tahun depan dengan range harga yang tidak terlalu tinggi. Boleh saja itu terjadi dengan meredanya perang Rusia-Ukraina atau karena terbentuknya kesetimbangan permintaan dan penawaran baru akibat penambahan suplai dari anggota OPEC atau Amerika Serikat.

Namun, jika ternyata harga minyak dunia tetap masih tinggi dan pemerintah harus menaikan harga BBM, yang harus benar-harus disiapkan adalah bantalan sosial ekonominya. Dengan kata lain, kebijakan substitusi dari subsidi energi kepada kebijakan antisipatif lain harus dipastikan mampu menahan tingkat konsumsi rumah tangga. Tujuannya agar kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi tidak turun drastis yang bisa berakibat pada perlambatan pertumbuhan.

Tentu ada beberapa pihak yang beranggapan bahwa asumsi pertumbuhan tersebut terlalu rendah, bahkan kurang optimistis atau kurang ambisius. Tetapi menurut saya, Jokowi sudah cukup tepat mematok angka tersebut alias sangat bisa dipahami. Boleh jadi karena dia menyadari asumsi yang terlalu tinggi memang kurang rasional. Atau boleh jadi juga karena pemerintah selalu gagal mencapai target jika angkanya dipatok terlalu optimistis. Jadi, pilihan sikap untuk lebih realistis kali ini saya kira patut dihormati.

Menjaga Inflasi

Begitu pula dengan target inflasi 3,3%. Target tersebut masih masuk akal jika yang dimaksud adalah core inflation (CI) atau inflasi inti, maupun consumer price index (CPI) atau inflasi secara garis besar. Ini terutama yang dipengaruhi oleh harga-harga barang yang diatur pemerintah (administered price). Tetapi untuk inflasi barang-barang kebutuhan pokok tertentu yang tak bisa diatur pemerintah, inflasinya masih sangat mungkin cukup tinggi. Contohnya harga minyak goreng, cabai, telur, beras, dan lainnya yang sangat berpengaruh pada pengeluaran masyarakat.

Dengan kata lain, personal consumer expenditures/PCE (sering disebut PCE-price index/PCEPI), salah satu indikator inflasi yang terkait dengan peningkatan pengeluaran masyarakat atas kenaikan harga barang-barang tertentu, masih berpeluang jauh di atas target 3,3%. Nah, baik CI/CPI maupun PCE ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi karena terkait dengan pengeluaran rumah tangga. Pada akhirnya CI/CPI maupun PCE bisa menggerus kontribusi tingkat konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan. Jika CI/CPI terjaga 3,3% tetapi PCE justru jauh di atas itu, tak menutup kemungkinan angka pertumbuhan nasional akan tertekan.

Artinya, CI/CPI boleh saja rendah yang kemudian secara makro terlihat cukup aman, tetapi secara riil akan sangat memberatkan masyarakat jika PCE tidak terkendali. Inilah yang dirasakan masyarakat hari ini. Secara makro, inflasi inti Indonesia masih moderat. Tetapi secara riil, pendapatan masyarakat sangat tertekan oleh kenaikan tajam beberapa komoditas pokok sehari-hari. Untuk itu, pemerintah harus benar-benar membenahi tata kelola dan supply chain komoditas-komoditas tersebut agar disparitas kedua inflasi itu tidak terlalu lebar.

Dan terakhir soal nilai tukar, yield surat utang negara, dan acuan harga minyak Indonesia (ICP). Target nilai tukar rupiah pemerintah pun saya kira sangat rasional. Efek suku bunga The Fed untuk jangka panjang tidak terlalu berbahaya terhadap rupiah karena disparitas inflasi antara Amerika dan Indonesia masih tinggi. Namun, dalam jangka pendek rupiah berpeluang berfluktuasi saat mereaksi kebijakan The Fed. Hemat saya, rupiah akan berfluktuasi di range nilai tukar Rp14.700 per US$ sampai Rp14.900 an per US$ tahun depan atau hampir sama dengan tahun ini.

Lalu yield surat utang yang cukup tinggi, yakni 7,5%, sangat bisa dipahami mengingat BI bertahan dengan suku bunga saat ini. Karena itu, pemerintah harus menyiasati di sisi lain agar gelombang arus keluar modal tidak terlalu besar saat The Fed mengeluarkan kebijakan suku bunga. Dengan target yield sebesar itu, artinya pemerintah dalam hal ini Kemenkeu sudah mengantisipasi ancaman kenaikan suku bunga The Fed tahun ini dan tahun depan. Selain itu, kebijakan ini diharapkan tidak membebani proyeksi pertumbuhan (dengan tidak menekan BI untuk menaikan suku bunga terlalu tinggi).

Terakhir, soal acuan minyak Indonesia atau ICP. Angka US$90 per barel, dalam hemat saya, juga cukup bisa diterima. Peluang keseimbangan baru antara permintaan dan penawaran di tingkat global sangat besar setelah berbulan-bulan perang antara Rusia dan Ukraina.

Negara-negara besar yang terdampak inflasi tinggi akan terus mencari cara untuk mengembalikan harga minyak dunia ke level moderat, yakni antara US$70 per barel-US$80 per barel untuk menekan angka inflasi di negara mereka. Jika angka tersebut terdekati, katakanlah sesuai dengan asumsi ICP, maka penurunan anggaran subsidi pemerintah tidak perlu dibarengi dengan kenaikan harga jual BBM bersubsidi. Semoga.

Esai ini ditulis oleh Ronny P. Sasmita, analis senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya