SOLOPOS.COM - Ikon Kabupaten Jepara. (Jepara.go.id)

Solopos.com, JEPARA – Praktik kawin kontrak ternyata bukan hanya menjamur di kawasan Bogor dan Cianjur, Jawa Barat, tetapi juga di Kota Ukir, Jepara, Jawa Tengah. Balitbang Kementerian Agama telah melakukan riset tentang fenomena prostitusi berkedok kawin kontrak tersebut pada 2016.

Berdasarkan penelusuran Solopos.com, Minggu (20/6/2021), hasil penelitian itu mengungkapkan bahwa secara garis besar ada dua jenis kawin kontrak, yakni resmi dan ilegal. Kawin kontrak resmi dilakukan saat si laki-laki bertemu dengan keluarga perempuan. Dalam proses pernikahan ini ada saksi dan wali yang dapat dipertanggungjawabkan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sedangkan jenis kawin kontrak yang kedua menjurus pada prostitusi terselubung. Hal ini terjadi karena wali, saksi, bahkan penghulu dalam ijab kabul tersebut semuanya gadungan.

Berdasarkan hasil penelitian itu juga diungkapkan bahwa praktik kawin kontrak di Jepara umumnya didorong oleh faktor ekonomi.

Para investor yang berasal dari Eropa, Amerika Serikat, Australia, Korea Selatan, hingga Jepang itu harus menikahi wanita Jepara untuk memiliki aset di kota tersebut. Peristiwa semacam ini pun telah berjalan cukup lama di sana.

Baca juga: Jejak ‘Tamasya’ Kawin Kontrak di Kota Santri Cianjur

Cerita Korban

Kawin kontrak di Jepara dilakukan investor asing dengan perempuan lokal untuk melegitimasi bisnis mereka. Tim Sigi SCTV sebagaimana diberitakan Liputan6.com pada 2006 silam sempat menelusuri jejak nikah kontrak di Kota Ukir.

Seorang wanita asal Jepara, Titik, mengaku pernah menjadi primadona turis asing di sana. Dia dinikahi Charles, seorang pengusaha indoor dan interior furnitur khas Jepara.

Dia bertemu dengan Charles di kelab malam hingga akhirnya sepakat hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Dalam sebulan Titik mendapatkan uang Rp10 juta hingga Rp20 juta dengan syarat wajib melayani Charles selayaknya istruim namun tidak ikut campur urusan bisnis.

Berbeda dengan Titik. Sasa, yang dikawin kontrak oleh seorang pengusaha mebel asal Eropa untuk jangka waktu lima tahun, memiliki hak dan kewajiban yang jelas tertulis sebagai perjanjian bersama. Antara lain, mendapatkan rumah dan mobil atas nama dirinya, uang bulanan, dan kebutuhan wanita lainnya. Namun, Sasa juga terikat oleh sejumlah kewajiban, salah satunya tidak boleh memiliki anak selama menjalani kawin kontrak.

Baca juga: Rawa Jombor Klaten “Sekarat”

Praktik Kawin Kontrak di Jepara

Fenomena nikah kontrak antara investor asing dengan perempuan asli Kota Ukir tersebut memang telah terjadi sejak lama dan terus menuai kritikan. Mahasiswa Unnes Semarang, Alek Ribowo, pada 2017 mencoba membongkar praktik tersebut melalui skirpsi bertajuk Pelaksanaan Kawin Kontrak di Desa Tubanan Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara.

Hasil penelitian itu menunjukkan kawin kontrak di Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara dilakukan sesuai hukum Islam, namun tidak tercatat di KUA dan kantor catatan sipil. Proses akad nikah dilakukan dengan bantuan kiai.

Pernikahan tersebut didasari faktor ekonomi yang pas-pasan serta pendidikan agama yang kurang dipahami masyarakat setempat. Fenomena ini pun berdampak buruk bagi masyarakat setempat, khususnya korban sekaligus pelaku yang mendapatkan citra negatif.

Penelitian serupa sebelumnya telah dilakukan mahasiswa Unnes Semarang, Ita Yuanita. Dia menelusuri praktik kawin kontrak itu di Desa Pelemkerep, Kecamatan Mayong, Jepara pada 2005.

Baca juga: Sejarah Saminisme di Pantura: Berawal dari Petani di Randublatung Blora

Hasil penelitian menunjukkan kawin kontrak dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Proses akad nikah dilakukan dengan bantuan kiai tanpa ada catatan di KUA maupun sipil. Dalam prosesnya rumah tangga yang dibangun tidak menerapkan hukum Islam karena didasari kontrak tertentu yang bertentangan dengan syariat.

Kedua penelitian itu menunjukkan bahwa praktik kawin kontrak masih terjadi di tanah kelahiran RA Kartini. Seorang makelar kawin kontrak di Jepara yang ditemui tim Sigi SCTV, Wongso, membeberkan praktik tersebut. Dia mengatakan bahwa praktik nikah kontrak itu dilakukan dengan menganggap wanita lokal sebagai karyawan.

Hal itu dilakukan demi kepentingan bisnis. Sebagai warga negara asing, mereka tidak bisa memiliki perusahaan, tidak boleh membeli tanah, dan tidak boleh mendirikan bangunan. Untuk mengatasi hal itu, para pebisnis warga asing itu memanfaatkan pasangan kawin kontraknya. Mereka menggunakan nama wanita pasangan kawin kontraknya untuk keperluan bisnis, seperti membeli tanah, rumah, dan mendirikan perusahaan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya