SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa)

Entah latah atau biar mendapatkan engagement, banyak akun media sosial saat ini bicara, membahas, atau setidaknya menyinggung topik yang sedang trending: ekonomi gelap.

Wajar saja. Apalagi berulangkali para pemangku kebijakan juga kerap menyebutkan terminologi yang sama. Mulai dari sejumlah menteri, hingga bahkan Presiden Joko Widodo, yang akrab dipanggil Pak Jokowi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Biang topik ekonomi gelap sebenarnya berawal dari Dana Moneter Internasional. Adalah Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, yang pertama kali menyinggung soal awan gelap tersebut, menjelang pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF di Washington DC.

Georgieva berbicara soal prospek ekonomi tahun depan, yang disebutnya menuju fase “darkening”. Pasalnya, risiko resesi dan ketidakstabilan terus meningkat.

Topik itu pula yang kemudian mendominasi pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia pada 11-16 Oktober 2022 di Washington DC, yang dihadiri pula oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

Sebetulnya bukan kali ini saja IMF menggunakan terminologi “ekonomi gelap”. Direktur Pelaksana IMF sebelumnya, Christine Lagarde, juga sering menyitir ekonomi gelap pada tahun 2015, saat dunia dibayangi krisis moneter, utamanya di Amerika Serikat.

Baca Juga: Resesi Mengancam, Dirut BRI Tegaskan Komitmen Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Kala itu, banyak negara dibebani oleh tingkat pengangguran dan tingkat utang pada level tinggi dan masalah likuiditas yang pelik. Juga di tahun-tahun “krisis siklikal” sebelumnya, seperti tahun 2008 dan 1997/1998. Bahkan nama Michel Camdessus begitu populer sebagai Direktur Pelaksana IMF, saat fotonya “viral” bersedekap berdiri tegak di depan Presiden Soeharto, yang membungkuk menandatangani letter of intent pada 15 Januari 1998. Untung kala itu belum ada media sosial.

Dan kali ini, tantangan yang dihadapi ekonomi dunia jauh lebih kompleks. Merujuk Georgiva, ekonomi dunia dalam bayangan pergeseran dari “relatif mudah diprediksi” ke arah dunia “dengan lebih banyak kerapuhan, ketidakpastian yang lebih besar”. Bukan cuma itu, volatilitas ekonomi lebih tinggi, disertai konfrontasi geopolitik, dan dihantui bencana alam yang lebih intensif dan merusak.

Belum usai guncangan akibat pandemi Covid-19, ekonomi dunia diserang oleh perang Rusia vs Ukraina, dan bencana iklim di semua benua. Maka, IMF pun menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2023, menjadi 2,7% dari ramalan sebelumnya 3,2%.

IMF menduga negara-negara yang menyumbang sepertiga ekonomi dunia akan mengalami kontraksi setidaknya dua kuartal berturut-turut tahun ini atau tahun depan. Itulah yang dimaksud resesi. Inilah proyeksi atau outlook yang gelap itu.

Baca Juga: Kilas Balik Jatuh Bangun Rezim Diempas Inflasi dan Krisis Ekonomi

Sebagai gambaran, penurunan ekonomi akibat resesi di sepertiga perekonomian dunia itu senilai US$4 triliun hingga 2026. Kalkulator Anda tak akan cukup angka nolnya bila disetarakan dengan rupiah pada kurs di atas Rp15.000 saat ini. Kalau mau bandingannya lagi, angka itu setara dengan kue ekonomi Jerman. Artinya, ekonomi dunia diproyeksikan mengalami “kemunduran besar-besaran”.

***

Prospek gelap itu lantas menjadi topik trending. Tak cuma para ekonom, bahkan para menteri seperti Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Presiden Jokowi berulangkali menyitirnya dalam berbagai pidato publik.

Menteri Sri Mulyani Indrawati berdalih bahwa tujuannya menyitir prospek ekonomi dunia yang gelap itu bukan bermaksud menakut-nakuti. Namun, dia bermaksud memberikan warning untuk meningkatkan kewaspadaan.

Kabar baiknya, meski prospek sepertiga ekonomi dunia gelap, Indonesia diperkirakan masih bisa bernafas lega, dan cuaca ekonomi Indonesia masih terlihat terang.

Terlebih lagi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup kuat. Hingga kuartal ketiga tahun ini ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 5,5% setelah tumbuh 5,44% pada kuartal kedua.

Optimisme menteri yang akrab dipanggil Mbak Ani itu bukan tanpa alasan. Beberapa indikator masih terkelola, bahkan sejumlah aktivitas ekonomi tampak ekspansif. Meski terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, inflasi relatif terkendali di kisaran 5,9% pada September. Indeks penjualan ritel dan belanja masyarakat relatif masih kuat. Bahkan, berbagai event di berbagai kota menjelang pertemuan punak G-20 di Bali telah memicu geliat mobilitas masyarakat.

Baca Juga: Kemungkinan Resesi Hanya 3%, Jumlah Wirausaha Harus Ditambah Selekasnya

Di sektor industri, indeks pembelian manufaktur Indonesia juga ekspansif selama 13 bulan berturut-turut di atas angka 50. Indikator proxy geliat ekonomi seperti konsumsi listrik untuk segmen bisnis juga terus meningkat. Bahkan konsumsi listrik segmen bisnis naik 17,3% secara tahunan.

Berbagai indikator itu memupuk keyakinan bahwa perekonomian Indonesia masih akan tumbuh hingga 5,3% tahun ini. Dan tahun depan diperkirakan akan berkisar 5% dengan laju inflasi moderat.

Lantas mengapa Mbak Ani kerap memberikan warning soal prospek ekonomi global yang gelap?

“Saya hanya ingin menyampaikan bahwa risiko itu sangat ada,” katanya di sejumlah kesempatan.

Yang pasti, dengan bekal kondisi fundamental yang relatif terjaga, Indonesia memiliki daya tahan yang relatif kuat dalam menghadapi risiko resesi global itu.

***

Namun warning agar semua pihak waspada saja rasanya tidak cukup. Kita tahu bahwa salah satu sumber pertumbuhan ekonomi terbesar Indonesia hari ini adalah ekspor yang ditopang komoditas secara masif, antara lain akibat dampak perang Rusia vs Ukraina.

Kompleksitas ekses perang itu membuat harga komoditas utama, seperti batubara, nikel, bauksit, hingga minyak kelapa sawit melonjak tinggi. Dampaknya, neraca perdagangan Indonesia terus menerus surplus hingga belasan bulan hingga saat ini.

Lihat saja data Badan Pusat Statistik, yang melaporkan bahwa pada September lalu pun, neraca perdagangan kembali surplus mencapai US$4,99 miliar. Surplus bulanan berturut-turut sejak Mei 2020.

Selama sembilan bulan tahun ini, surplus neraca perdagangan telah mencapai US$39,87 miliar, melonjak signifikan dibandingkan dengan surplus pada periode sama tahun 2021 yang ‘hanya’ US$20,71 miliar. Maka tentu saja, cadangan devisa pun solid, yang menjadi bantalan bagi fundamental ekonomi, sekaligus menahan risiko ketidakpastian global.

Baca Juga: Ini Saran Ekonom ke Pemerintah saat Hadapi Ekonomi Gelap 2023

Kondisi itu tentu menjadi windfall profit alias durian runtuh bagi perekonomian Indonesia.

Lalu apa yang lainnya?



Sebenarnya, sebagian kalangan agak khawatir dengan dampak persepsi dari semakin seringnya pemangku kebijakan menyuarakan prospek ekonomi gelap. Sementara di sisi lain kurang terdengar kabar sebaliknya, soal strategi mengantisipasi dampak negatifnya bagi Indonesia.

Jangan-jangan koor soal warning yang bermaksud meningkatkan kewaspadaan itu, tanpa kejelasan exit strategy dan inisiatif strategis dengan kebijakan ekonomi yang akan diambil pemerintah, justru membuat perilaku konsumen menahan diri kebablasan.

Kita tahu, profil dan karakter perekonomian Indonesia dimotori oleh belanja konsumen dan investasi. Warning yang kebablasan juga bisa menimbulkan risiko self fulfilling prophecy. Bila konsumen menahan diri untuk belanja, karena memberikan prioritas lebih untuk berjaga-jaga, bisa jadi akan menghantam prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih keras dari yang diduga sebelumnya.

Terlebih, bank sentral juga terlebih dahulu telah membuat peta jalan pengendalian likuiditas, dengan memperketat giro wajib minimum (GWM) perbankan. Kenaikan GWM sudah dilakukan secara bertahap sejak Maret tahun ini, dari 3,5% menjadi 6,5% pada September untuk bank konvensional. Artinya kenaikan GWM mencapai 300 basis poin. Sedangkan GWM bank syariah naik 150 basis poin dari 3,5% menjadi 5% pada kurun waktu yang sama.

Kebijakan yang dibungkus sebagai langkah normalisasi likuiditas, mengekor bank sentral global, itu awalnya diperkirakan berdampak moderat dan masih memberi ruang ekspansi kredit.

Baca Juga: Jokowi Harapkan Rukunnya Menkeu dan Gubernur BI Kunci Sukses Ekonomi RI

Namun, persepsi resesi dengan narasi “ekonomi gelap” yang terus menghantui, bisa saja berkembang tak terkendali. Bila itu terjadi, upaya bank sentral menyedot likuiditas itu akan berkawin dengan upaya konsumen menahan diri. Bisa saja, dampaknya akan lebih keras bagi geliat ekonomi.

Maka, tanpa bermaksud menakut-nakuti pula, bila persepsi itu tidak terkendali, risiko ekonomi bagi Indonesia bisa lebih besar lagi. Akibat self fulfilling prophecy.

Tenang saja, bagaimanapun saya tetap optimis ekonomi Indonesia tidak dibayangi mendung yang gelap, tetapi masih diselimuti cuaca yang cerah.



Namun, justru dalam kondisi saat ini, diperlukan langkah-langkah yang terbaca secara jelas, agar cuaca tidak cepat berubah hanya karena dikendalikan oleh persepsi dan bayang-bayang hantu resesi.

Karena itu, banyak yang ingin segera dengar langkah kebijakan strategis dari Jakarta. Agar ekonomi Indonesia benar-benar selamat, tidak seperti sepertiga perekonomian dunia di luar sana, yang sekarang kembali mati suri.

Nah, bagaimana menurut Anda? (*)





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya