SOLOPOS.COM - Ignas Triyono, Pegiat Hak Asasi Manusia di Komnas HAM (ist)

Ignas Triyono, Pegiat Hak Asasi Manusia di Komnas HAM (ist)

Hari ini, Kamis (1/12/2011) dunia memperingati Hari Aids Internasional yang jatuh setiap 1 Desember. Tema yang diusung Badan Kesehatan Dunia (WHO) yakni Lindungi Pekerja dan Dunia Usaha dari HIV dan AIDS.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Tema ini menarik diperbincangkan sebagai refleksi untuk  menumbuhkan kesadaran sekaligus pembelaan kemanusiaan terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Realitasnya, hingga kini kemanusiaan ODHA masih terkesampingkan akibat perlakuan stigma dan diskriminasi, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, tempat kerja, sekolahan ataupun tempat-tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Mereka kehilangan martabat kemanusiaan akibat tindakan-tindakan yang tidak menghargai hak-hak ODHA.

Stigma dan diskriminasi acap kali berkaitan dengan struktur kekuasaan dan faktor dominasi di masyarakat. Kondisi ini menciptakan peluang ketidaksetaraan hak. Hak-hak orang yang terstigma terlanggar dan tidak dihormati lantaran masih kuatnya norma-norma dan nilai-nilai sosial yang tumbuh di masyarakat.

Akibatnya, hak-hak kelompok masyarakat yang terstigma tidak terlindungi, tidak dihormati dan terpinggirkan karena dianggap inferior. Sebaliknya, kelompok lain merasa bersih dan superior, kian mendominasi struktur kekuasaan di masyarakat dan kian melegitimasi stigma dan diskriminasi ODHA.

Hingga kini, di seluruh dunia lebih dari 25 juta jiwa meregang nyawa akibat AIDS. Dan 40 juta lainnya positif terjangkit HIV. Di Indonesia berdasarkan catatan Departemen Kesehatan, prevalensi HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan sekitar 0,2 persen atau sebanyak 186.000 orang hidup dengan
HIV/AIDS (ODHA).

Untuk tahun 2011, diperkirakan prevalensi ini bertambah sekitar 0,04 persen menjadi 0,24 persen atau sekitar 200 ribu orang. Yang memprihatinkan, 88 persen ODHA di Indonesia adalah kelompok usia kerja produktif dan di antaranya memiliki pekerjaan.

Dalam konteks hak asasi manusia, perlakuan terhadap hak asasi ODHA di dunia usaha sering kali terlanggar, khususnya menyangkut hak pekerjaan. Kasus-kasus PHK sepihak oleh perusahaan-perusahaan kerap mewarnai kehidupan ODHA.

PHK, dengan demikian setali tiga uang dengan raibnya hak hidup yang memengaruhi kualitas hak-hak lainnya. Sesungguhnya, tindakan PHK terhadap para ODHA tidak boleh terjadi, sebab hak atas pekerjaan tidak pernah membedakan antara yang sehat dan tidak sehat.

Konstitusi menjamin bahwa setiap warga Negara berhak atas pekerjaan yang layak. Secara eksplisit konstitusi tidak pernah mencantumkan kata sehat atau tidak sehat.

Jadi, dibutuhkan objektivitas dan profesionalitas dalam menangani persoalan HIV/AIDS di ranah hak atas pekerjaan maupun hak atas pekerja ini. Terlebih, Indonesia sudah memiliki Keputusan Menteri (Kepmen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi No KEP/68/MEN/2004 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.

Kepmen yang diluncurkan pada peringatan Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja Sedunia mewajibkan perusahaan melakukan upaya pencegahan HIV/AIDS kepada pekerjanya melalui komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai HIV/AIDS, termasuk cara-cara menghindari infeksi.

Dalam Kepmen yang penyusunannya berdasarkan Kaidah ILO tentang HIV/AIDS dan Dunia Kerja serta peraturan pemerintah lainnya, secara jelas dinyatakan, status HIV/AIDS pekerja atau calon pekerja tidak bisa dijadikan syarat kerja atau status kerja.

Selain itu, informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV, yang dilakukan atas dasar kesukarelaan dengan persetujuan tertulis dari pekerja yang bersangkutan, pengobatan, perawatan dan kegiatan lainnya harus dijaga kerahasiaannya, seperti berlaku bagi data rekam medis.

Dengan demikian, sosialisasi dan penyebarluasan jaminan konstitusi terhadap ODHA kepada berbagai pihak, tampaknya menjadi penting. Dari perspektif hak asasi manusia, sangatlah jelas apa yang diamanatkan Pasal 38 (Ayat 1) Undang-undang No 39 Tahun 1999 bahwa Setiap warga Negara sesuai dengan bakat dan kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.

Sedangkan pada Ayat 2, dijelaskan pula Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

Jadi,  tampak semakin jelas bahwa Kepmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja selaras dengan isi Pasal 38 (Ayat 2) Undang-undang tentang HAM yakni, status HIV/AIDS pekerja atau calon pekerja tidak bisa dijadikan syarat kerja atau status kerja.

Kemampuan untuk membiayai hidup dan untuk dipekerjakan adalah merupakan hak dasar manusia. Isu-isu yang berhubungan dengan HIV/AIDS menyangkut pengangkatan dan pemecatan, keamanan karyawan, pemecatan yang tidak adil, asuransi kesehatan, absen dari kerja untuk tujuan kesehatan,
alokasi kerja, lingkungan yang aman, gaji dan tunjangan, perlakuan atasan dan rekan kerja, skining HIV untuk semua karyawan, promosi dan pelatihan.

Sering kali pemikiran di balik isu-isu terkait ini adalah adanya kepercayaan bahwa tidak ada gunanya menginvestasi uang pada seseorang yang akhirnya toh akan meninggal. Tidak adanya kebijakan perekrutan adalah kondisi rumit yang sering kali terabaikan.

Diskriminasi dan stigma terhadap hak ODHA bukan hanya di ranah pekerja maupun pekerjaan. Dalam ranah yang lain yakni hak atas perumahan, penyandang HIV/AIDS juga belum cukup beruntung.

Kasus pengusiran penyandang HIV/AIDS secara paksa dari rumah tinggal, bahkan perbuatan yang menjurus anarkistis seperti pembakaran masih dijumpai. Stigmatisasi bahwa penyandang HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit kutukan masih belum bisa hilang dari benak masyarakat.

Akibatnya, stigma memicu munculnya tindakan-tindakan alienasi dan marginalisasi tanpa pertimbangan rasionalitas. Di bidang peradilan, perilaku negatif atau prasangka terhadap ODHA dapat direfleksikan dengan penolakan atau akses yang lebih sedikit untuk sistem peradilan dan penilaian menyangkut isu-isu seperti kerahasiaan status HIV dan perlindungan dalam kasus perkosaan/penganiayaan.

Sistem peradilan juga dapat meningkatkan stigmatisasi, misalnya ketika kelompok yang rentan, misalnya pekerja seks dan pengguna Narkoba, dianggap bersalah ketimbang diberi dukungan untuk mencegah penularan HIV.



Tak bisa dipungkiri, stigma menjadi penyebab timbulnya diskriminasi. Kedua tindakan ini lantas memicu lahirnya pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tidak saja bagi ODHA tapi juga keluarganya. Artinya, kondisi ini secara tidak langsung memperparah epidemi HIV/AIDS dan mempersulit upaya pencegahan dan penanggulangannya. Disadari ataupun tidak, penyangkalan dan sikap apatis

terhadap HIV/AIDS tersebut ikut juga mendorong kian terpinggirkannya hak-hak ODHA dan mereka yang rentan terhadap infeksi HIV seperti perempuan dan anak-anak.

Persepsi masyarakat masih mengasosiasikan HIV/AIDS dengan seks bebas, penggunaan Narkoba dan kematian. Yang terjadi kemudian adalah banyak orang tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini.

Ironisnya lagi, proses legitimasi stigma dan diskriminasi ini tidak saja berlangsung di tataran individual tapi sudah merambah di tingkat lembaga karena prasangka negatif terhadap ODHA. Diskriminasi staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada

ODHA, atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV/AIDS, atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau dipercayai hidup, dengan HIV/AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Pengarusutamaan isu HIV/AIDS tampaknya kian menjadi urgen. Janganlah pemenuhan hak asasi para ODHA hanya sebatas ilusi.

Mereka butuh kesetaraan hak, sederajat dalam menuntut hak-haknya; hak atas kesehatan, hak pendidikan, hak pekerjaan, hak atas perumahan dan hak-hak lainnya.

Kepedulian semua pihak juga diharapkan bisa mengurai benang kusut penanggulangan HIV/AIDS. Butuh pemahaman, perhatian yang setara untuk melawan diskriminasi dan stigma yang semestinya sudah ditinggalkan.

Diskriminasi terhadap ODHA bukan saja melanggar hak-hak fundamental warga negara,  namun juga sama sekali tidak membantu usaha mencegah epidemi ini.

Dengan melibatkan berbagai kalangan, khususnya pihak swasta, peluang dalam penanggulangan HIV/AIDS akan lebih terbuka lebar, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya.

Hak kesehatan mereka akan terlindungi, hak pendidikan mereka terpenuhi, hak atas pekerjaan mereka terhormati, dan hak-hak lainnya diakui. Mereka butuh didengar dan diperbaiki.

Jon Sobrino tokoh solidaritas El Savador selalu mengingatkan dengan frase bijaknya, ”Kita benar-benar menjadi manusia apabila mempunyai kepedulian dan tanggung jawab terhadap kehidupan manusia lain, terutama yang menderita dan yang paling miskin maupun tertindas.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya