SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Banyak orang berbakat, sayang hidupnya belum cukup sejahtera dengan bakat itu. Padahal, bakat ada dalam setiap orang. Ia merupakan kepandaian, sifat dan bawaan sejak lahir yang dianugerahkan oleh Allah SWT.

Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo, K.H. M. Dian Nafi’, mengatakan kemampuan di dalam bakat itu jika dikuatkan akan menjadi modalitas seseorang untuk menjalani hidup secara baik.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Sayang sekali ada kalanya kita tidak menyadari bakat itu, sehingga tidak kita kembangkan agar menguat. Ada orang yang sengaja menjajaki bakat dirinya, bahkan rela menjalani serangkaian tes psikologi,” ujar dia, Kamis (6/1/2022).

Menurut Dian Nafi’, bakat juga terlihat dari passion kita. Untuk mengenalinya bisa diperhatikan tiga hal, yaitu sesuatu yang tidak pernah kita bosan untuk melakukannya; hal lain kita korbankan untuknya agar tujuan tercapai; dan tidak dikaitkan dengan untung dan rugi.

Pada mulanya bakat memang tidak berkaitan dengan untung dan rugi. Lama kelamaan tanggung jawab untuk hidup semakin mandiri bertambah. “Kita dituntut agar bisa semakin cerdas dan santun menggunakan bakat kita untuk memperoleh penghasilan yang sah, halal, dan terhormat,” kata dia.

Meskipun dimasukkan sebagai kemampuan bawaan sejak lahir, ternyata bakat berkembang secara bertahap. Saat sudah mantap, maka biasa juga disebut sebagai malakah, yaitu kecakapan mapan yang bisa muncul seperti reflek saja pada saatnya; kalau tidak mapan berarti keadaan saja. Demikian menurut Abu Syuhbah Muhammad bin Muhammad dalam Al-Wasith-nya.

Baca Juga: Pandangan Dian Nafi Soal Perubahan Tanpa Komunikasi

Banyak orang yang sebenarnya berbakat, namun tidak muncul aktual menjadi penopang kemakmurannya. Hal itu bisa terjadi karena beberapa sebab. Pertama, karena bakat hanya dimunculkan sebagai ekspresi saja. Orang ini puas dengan pujian dapat menampakkan kecakapannya tanpa memapankannya sebagai modal dalam menjangkau kesejahteraan.

Kedua, karena terbiasa berkegiatan sekadar ikut-ikutan saja, sehingga kurang menyadari bakat diri sendiri. Saat menyadari, ternyata sudah telanjur berumur dan malu untuk mengejar ketertinggalan.

Rasa malu dalam hal yang seperti itu pun sejatinya tidak perlu dibiarkan berlarut-larut. Lebih baik mengejar ketertinggalan, daripada menyerah saat masih ada kesempatan.

Ketiga, karena ketiadaan pembimbing atau tidak memperhatikan bimbingan dari pelatih, guru dan pendidik. Akibatnya banyak saran-saran yang bagus terlewatkan begitu saja tanpa manfaat yang berarti.

Keempat, adanya rasa sombong, terlalu percaya diri, sehingga sangat yakin dengan pilihan diri sendiri. Orang seperti ini mungkin melewatkan banyak kesempatan yang sebenarnya berguna untuk pengembangan diri.

Kelima, bisa juga karena kemalasan untuk menghadapi tantangan, atau kebiasaan menunda-nunda kegiatan yang penting. Orang seperti ini memilih kegiatan yang ringan dan mudah saja, sehingga bakatnya melemah dan tidak sempat menguat.

Keenam, orang itu memang jauh dari simpul pemanduan bakat, misalnya jauh dari madrasah, pondok pesantren, sekolah dan lembaga-lembaga pelatihan. Kasus ini mengingatkan kita kepada masyarakat yang tinggal di kawasan terpencil.

“Dalam segala situasi kita perlu teguh di dalam keaktifan yang sesuai dengan bakat kita. Dan pemenuhan bakat itu penting untuk diarahkan kepada tercukupinya kebutuhan hidup. Dengan begitu secara bertahap bakat akan mengarah kepada kemakmuran,” imbuh Dian Nafi’.

Baca Juga: Mengelola Kesibukan Menurut KH Dian Nafi`

Di masa-masa sekarang ini pengembangan bakat sulit dilakukan tanpa kolaborasi dengan orang-orang yang lain. Untuk itu, Dian Nafi’ menyarankan kerja sama dengan orang-orang yang cakap dalam bidangnya perlu dijalin. Dengan kerja sama itu kita menjadi berguna dan belajar.

Kolaborasi atau kerja sama saja juga belum cukup. Tanpa integritas, kerja sama akan membosankan para pihak, apalagi jika menimbulkan efek ketergantungan. Dengan integritas orang menjaga kemandirian diri sendiri berbasiskan nilai-nilai baik yang dianut.

Kehidupan yang terus-menerus berubah meniscayakan olah pikir yang bercirikan kreativitas. Kreativitas berisikan gagasan-gagasan segar, aktif dan solutif yang dapat diwujudkan menjadi penopang kesejahteraan.

Karena itu sebaiknya orang bertindak karena panggilan untuk mengembangkan potensi diri yang baik, yang dengannya ia bersikap proaktif; bukan berbuat karena perasaan senang atau benci saja yang menjadikannya bersikap reaktif.

Allah SWT sudah mengingatkan kita: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi [pula] kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.“ (QS Al-Baqarah [2]: 216).

Firman Allah SWT itu merupakan bagian dari ayat tentang jihad. Dan hidup ini sebenarnya sarat akan jihad, dalam arti perjuangan yang menuntut kesungguhan kita sebagai makhluk yang dianugerahi dengan akal budi. Bakat sehebat apa pun akan sia-sia tanpa kesungguhan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya