SOLOPOS.COM - Wahyu Satpriyo Putro (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Belakangan ini kita dihebohkan dengan berita gangguan ginjal akut yang diidap oleh anak-anak. Pada 24 Oktober 2022, Menteri Kesehatan melaporkan terjadi peningkatan jumlah kasus gangguan ginjal akut pada anak, yaitu 245 kasus dengan 141 kematian, sehingga fatality rate-nya tergolong tinggi: 57.6%.

Dalam konferensi pers tersebut Menteri Kesehatan juga mengutarakan bahwa penyebabnya bukan infeksi virus, bakteri, atau patogen lainnya, tetapi dari cemaran senyawa etilen glikol (EG) yang terkandung dalam sirop obat yang dikonsumsi anak-anak itu.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Etilen glikol adalah salah satu senyawa organik turunan alkohol yang tidak berwarna, tidak berbau, kental, dan memiliki rasa manis. Salah satu fungsi EG adalah pelarutan. Zat aktif obat seperti asetaminofen (parasetamol) dan ibuprofen yang sukar larut dalam air jamak dicampur senyawa EG untuk membantu proses pelarutan (cosolvent).

Pada dasarnya EG termasuk bahan kimia berbahaya dan telah dilarang penggunaannya dalam pembuatan sirop obat. Oleh sebab itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menganjurkan menggunakan pelarut alkohol lain yang lebih aman, yaitu gliserol, sorbitol, atau propilen glikol.

Ekspedisi Mudik 2024

Dari segi bisnis, penggunaan EG lebih menguntungkan karena proses pengolahan yang jauh lebih efisien dan murah. Strategi semacam inilah yang terkadang digunakan oleh industri untuk menurunkan biaya produksi. BPOM secara resmi sudah menarik beberapa sirop obat yang ditemukan mengandung EG melebihi ambang batas cemaran, yaitu 0,5 mg/kg berat badan per hari.

Konsumsi EG dalam konsentrasi yang tinggi dapat mengakibatkan gagal ginjal dalam waktu yang cukup singkat. Pada mulanya gagal ginjal diawali dengan beberapa gejala seperti muntah-muntah dan demam tinggi. Kemudian gejala akan berlanjut pada rasa sakit di beberapa organ, kejang, dan gangguan ginjal yang terjadi dalam kurun waktu 36 jam hingga 48 jam.

Melalui proses metabolisme di dalam tubuh, 80% EG yang masuk ke dalam tubuh terserap dan tercerna, sedangkan 20% EG akan dikeluarkan melalui urine. Sebanyak 76% gangguan ginjal yang terjadi saat ini disebabkan penyerapan EG. Faktor inilah yang menyebabkan akhirnya EG dijadikan ”tersangka” dalam kasus gagal ginjal kali ini.

Begitu terkonsumsi, EG akan dioksidasi menjadi glikoaldehid dan glikolat oleh enzim alkohol dehidrogenase. Enzim tersebut yang lebih lanjut mengubah zat-zat tersebut menjadi asam oksalat melalui zat antara glioksal. Asam oksalat ini sangat mudah bereaksi dengan kalsium di aliran darah yang menyebabkan terbentuknya kalsium oksalat.

Senyawa inilah yang menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal. Kalsium oksalat (CaC2O4) adalah kristal padat berwarna putih yang tidak larut dalam air. Kelarutannya hanya 0,61 mg/100 gram air. Sifat ini yang menunjukkan ketika kalsium oksalat sudah terbentuk dalam ginjal akan sangat sulit untuk larut kembali dalam air dan memiliki kecenderungan membentuk gumpalan.

Oksalat dapat ditemukan di berbagai macam makanan seperti bayam, kacang almon, cokelat, dan teh. Dalam jumlah yang wajar tubuh akan mudah mencerna dan mengeluarkannya melalui urine dalam bentuk asam oksalat. Pada kondisi normal, urine biasanya mengandung bahan kimia yang dapat mencegah oksalat membentuk gumpalan kristal.

Ketika produksi urine terlalu sedikit atau jumlah konsumsi oksalat yang terlalu banyak menyebabkan kalsium oksalat dapat terbentuk. Kondisi lain yang dapat menyebabkan terbentuknya kalsium oksalat ialah diabetes, obesitas, terlalu banyak hormon paratiroid atau hiperparatiroidisme, dan penyakit radang usus.

Terdapat berbagai macam upaya agar kita terhindar dari gangguan gagal ginjal yang disebabkan konsumsi EG atau terbentuknya kalsium oksalat secara berlebihan. Pertama,  minum yang banyak. Dalam kondisi normal kita dianjurkan untuk minum delapan gelas sehari (setara 1,5 liter hingga dua liter). Beberapa dokter menganjurkan meminum 2,5 liter hingga tiga liter sehari bagi pasien gagal ginjal.

Kedua, membatasi konsumsi garam. Konsumsi garam berlebih akan dapat meningkatkan jumlah kalsium dalam urine. Berdasarkan United Kingdom Reference Nutrient Intakes (UK-RNI) konsumsi garam harus dalam kisaran 575 miligram hingga 1.600 miligram per hari dan WHO membatasi konsumsi sodium 2.400 miligram atau satu sendok teh garam per hari.

Kemungkinan kekurangan garam di negara kita sangat kecil karena sebagian besar makanan Indonesia kaya kandungan garam. Ketiga, membatasi makanan dengan kandungan oksalat tinggi, seperti kedelai dan kacang-kacangan, dapat menjadi upaya mencegah gangguan ginjal.

Injeksi

Pada saat kita memakan makanan kaya oksalat, kita dianjurkan mengonsumsi sesuatu yang mengandung kalsium yaitu susu. Dengan cara ini maka oksalat akan mengikat kalsium sebelum sampai ke ginjal, sehingga tidak akan terjadi proses kristalisasi dalam ginjal.

Apa yang harus kita lakukan ketika tubuh sudah terpapar EG dalam jumlah yang banyak dan menunjukkan gejala-gejala yang disebutkan di atas? Pada kondisi ini perlu dilakukan perawatan sesegera mungkin. Untuk penanganan awal, dokter harus memastikan pernapasan dan metabolisme pasien berjalan baik.

Injeksi natrium bikarbonat dibutuhkan untuk menetralisasi keadaan asam dalam proses metabolisme (metabolic acidosis). Untuk mencegah terjadinya oksidasi EG yang dilakukan oleh enzim alkohol dehidrogenase, injeksi zat penangkal (antidotes) sangat diperlukan. Zat penangkal tersebut dapat berupa etanol atau fomepizol.

Zat ini dapat menghambat terjadinya oksidasi EG sehingga EG dalam darah tidak akan berubah dan tetap berada dalam senyawa EG ketika masuk dalam ginjal. Penggunaan zat penangkal yang terlalu banyak juga dapat memberikan efek samping yang tidak baik, sehingga diperlukan dosis yang tepat dalam penggunaannya.

Perawatan selanjutnya dapat dilakukan dengan proses dialisis. Dialisis merupakan sebuah cara untuk menyingkirkan atau menghilangkan racun atau pelarut berlebihan dalam darah. Terdapat beberapa kondisi ketika perawatan dengan hemodialisis diperlukan, yaitu ketika level EG > 50 mg/dL, pH darah < 7,25, tanda vital dan kondisi ginjal yang terus memburuk.

Dalam hal ini, dialisis berperan untuk mengurangi kadar EG yang terakumulasi di dalam ginjal, membenahi kondisi pH darah, dan menetralisasi racun EG. Jika EG dalam konsentrasi tinggi, diperlukan proses dialisis yang berulang hingga kadar mencapai 50 mg/dL. Terapi tambahan dengan menggunakan piridoksin dan tiamin dengan kadar tertentu juga dapat membantu mengurangi efek racun dari EG.

Ketika kondisi mulai membaik, efek samping yang biasa ditimbulkan adalah hipokalsemia, kondisi ketika kadar kalsium rendah. Hal ini ditangani dengan cara injeksi kalsium klorida dan kalsium glukonat melalui pembuluh darah besar.

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Ini semboyan yang paling tepat bagi kita untuk terus menjaga kesehatan. Kejadian gagal ginjal akut pada anak-anak kali ini tentu membuat kita belajar untuk terus memperhatikan asupan makanan, minuman, dan obat-obatan. Tidak perlu saling menyalahkan karena keputusan untuk mengonsumsi sesuatu itu berasal dari diri kita sendiri.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 November 2022. Penulis adalah peneliti bidang kimia di National Institute of Advanced Industrial Science and Technology (AIST) Jepang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya