SOLOPOS.COM - Asap mengepul dari Kawah Candradimuka Gunung Lawu yang diduga memiliki sumber potensi panas bumi sebesar 195 MW. (Solopos.com/Mariyana Ricky PD)

Solopos.com, KARANGANYAR — Indonesia memiliki kapasitas energi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Saat ini kapasitas terpasang energi panas bumi Indonesia sekitar 2.131 megawatt (MW).

Panas bumi sebagai energi baru terbarukan (EBT) perlu dimanfaatkan guna menekan penggunaan energi fosil dan mempercepat terwujudnya net zero emission (NZE) 2060. Mengutip laman Dewan Energi Nasional Republik Indonesia, September 2021, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi yang sangat besar yaitu 23,76 gigawatt (GW) dengan pemanfaatan sebesar 2,17 GW atau hanya 9,1% dari total potensi yang ada. Oleh karena itu, optimalisasi panas bumi diperlukan agar dapat potensi panas bumi di wilayah lain di Indonesia bisa dimanfaatkan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Gunung Lawu yang berlokasi di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki cadangan energi listrik terduga 165 MW. Proyek energi panas bumi Gunung Lawu yang luasnya mencapai 60.030 hektare ini memang masuk ke dalam beberapa wilayah kabupaten yaitu Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Ngawi, dan Magetan.

PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina Power Indonesia (PPI) yang menjadi Subholding Power and New and Renewable Energy PT Pertamina (Persero) telah memegang izin pengelolaan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Gunung Lawu ini sejak 2016.

Baca Juga: Optimalkan Pemanfaatan Panas Bumi, PLN Dukung Pembentukan Holding Geothermal Indonesia

Kendati demikian, hingga akhir 2021, pengembangan proyek tersebut mandek lantaran belum mendapatkan izin dari pemerintah daerah setempat. Kendala lain adalah keberadaan situs purbakala berupa candi-candi yang berada di sekitar wilayah kerja panas bumi itu.

Tak hanya itu, masyarakat juga menolak eksplorasi karena khawatir proyek ini mengancam hutan lindung Gunung Lawu. Sebagai contoh, Wakil Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah, Hadi Santoso, menolak rencana eksplorasi panas bumi karena dinilai berdampak negatif kepada kehidupan petani di lereng Gunung Lawu.

Lokasi awal pengeboran dilakukan di wilayah barat daya Gunung Lawu yang meliputi beberapa desa di Tawangmangu dan Matesih. Di kawasan tersebut ada destinasi wisata pemandian air panas Cumpleng dan Sapta Tirta Pablengan, yang menjadi titik paling pendek atau efisien dari permukaan ke sumber panas bumi (magma).

Selain wilayah barat daya Gunung Lawu, juga akan ada kegiatan eksplorasi di hutan Jobolarangan, Gondosuli, Tawangmangu. Di dekat hutan Jobolarangan terdapat sebuah dusun bernama Tlogodringo. Mayoritas penduduk Tlogodringo bekerja sebagai petani sayur. Beberapa warga juga membuka usaha penginapan atau home stay. Wilayah hutan di dusun itu merupakan favorit bagi pecinta alam untuk menggelar pendidikan dasar, kamping, atau outbond.

Hadi tak menampik panas bumi merupakan salah satu energi baru terbarukan (EBT) yang menjadi alternatif selain gas bumi dan tenaga nuklir. Namun, pemanfaatannya masih butuh edukasi dan sosialisasi. Di mana rata-rata energi panas bumi ini berada pada kawasan hutan lindung, sehingga muncul penolakan.

Kewenangan Daerah Kecil

Padahal, energi panas bumi sangat bergantung pada kondisi reservoir air di kawasan hutan di sekitar sumur-sumur eksplorasi panas bumi. Kerusakan hutan lindung justru mengancam keberlangsungan eksplorasi panas bumi. Selain itu, warga merasa eksplorasi panas bumi tak akan berdampak pada kehidupan ekonomi mereka secara langsung.

“Sementara dari aspek kewenangan, berdasarkan UU No.21 2014 tentang panas bumi, panas bumi merupakan urusan sentralistik yang ditarik pemerintah pusat, meski sebenarnya objektifikasi di lapangan, panas bumi berbeda dengan mineral. Panas bumi kan ada di situ, enggak bisa dibawa ke mana-mana, dieksplor di situ dan dimanfaatkan serta dikembangkan di situ, makanya unik karena jadi urusan sentral,” bebernya, Rabu (15/12/2021).

Baca Juga: Panas Bumi di Indonesia Berlimpah, Jadi Tumpuan Energi Masa Depan?

Poin yang dimaksud Hadi adalah kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) meliputi: pembuatan kebijakan nasional; pengaturan di bidang panas bumi; pemberian izin panas bumi; pemberian izin pemanfaatan langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya; pembinaan dan pengawasan; pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi panas bumi; inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan panas bumi; pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, dan/atau pemanfaatan panas bumi ; dan pendorongan kegiatan penelitian, pengembangan dan kemampuan perekayasaan. Kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh menteri.

Sementara pada pasal berikutnya disebutkan bahwa wewenang pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, ialah pembentukan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang panas bumi untuk pemanfaatan langsung; pemberian izin pemanfaatan langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya; pembinaan dan pengawasan; pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi panas bumi pada wilayah provinsi; dan inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan panas bumi pada wilayah provinsi.

Karena itulah, sambung Hadi, peran pemerintah daerah menjadi sangat kecil, utamanya pemerintah provinsi, mengingat penanganan dampak sosial biasanya dibebankan kepada pemerintah kabupaten.

Sejak 2017, pihaknya menolak rencana eksplorasi itu karena tidak ada sosialisasi dan rencana yang klir dari pengembangnya. “Kami ingin ada proses sosialisasi dan komunikasi kepada publik agar mereka tahu. Kekhawatiran masyarakat sangat sah, sesuatu yang baru pasti membawa pro dan kontra,” ucapnya.

Baca Juga: Protes Proyek Panas Bumi Karanganyar, Netizen Bikin Meme Sindiran

Koordinator Sahabat Pencinta Gunung Lawu, Yoga Dipka, menyebut penolakan berdasarkan kekhawatiran pengeboran panas bumi di titik tertentu bakal memunculkan zat berbahaya yang terangkat ke permukaan hingga merusak lingkungan karena lokasi eksplorasi sebagian berada di hutan lindung. Belum lagi di kawasan eksplorasi terdapat cagar budaya yang harus dilestarikan.

penolakan eksplorasi gunung lawu
Aksi damai menolak eksplorasi dan eksploitasi oanas bumi Gunung Lawu, Sabtu (11/3/2017), di halaman DPRD Karanganyar. (Dok)

“Kendati tidak terdengar lagi bagaimana kelanjutannya, kami tetap menyuarakan penolakan. Gunung Lawu menjadi sumber air bagi masyarakat di lerengnya. Ada sembilan wilayah yang menggantungkan sumber air dari situ. Meski tidak bisa dimungkiri panas bumi adalah salah satu EBT, tapi kembali lagi ke masyarakat. Apakah secara ekonomi mereka bakal terdampak langsung, atau malah dampak negatifnya lebih terasa,” tutur Yoga, Rabu.

Bupati Karanganyar, Juliyatmono, mengaku sudah pernah membaca surat penghentian eksplorasi panas bumi Gunung Lawu. Namun, ia tak bisa menyebutkan detail isi surat itu. “Eksplorasi informasinya sudah berhenti, artinya keinginan masyarakat, saya pribadi sudah terwujud. Gunung Lawu tetap lestari, tidak diotak-atik untuk kepentingan yang lain, kecuali dihijaukan dan dijaga terus. Saya lega, saya marem. Saya yakin siapa pun kepala daerahnya akan menolak eksplorasi itu,” bebernya, Selasa (11/1/2022).

Juliyatmono menyebut salah satu upaya penolakannya adalah dengan mengusulkan hutan lindung Gunung Lawu menjadi taman nasional. Di kawasan itu, masih banyak satwa dan flora langka yang seharusnya dilestarikan. Satwa-satwa yang populasinya sudah menipis kerap tertangkap kamera berhabitat di sana.

bupati karanganyar juliyatmono tolak eskplorasi panas bumi gunung lawu
Bupati Karanganyar, Juliyatmono. (Solopos.com/Mariyana Ricky PD)

“Harimau masih lewat dan tertangkap kamera jebakan. Jadi, bisa dibayangkan kalau eksplorasi panas bumi dikembangkan. Manfaatnya jauh lebih sedikit. Mending masyarakat pakai lilin daripada harus mengebor Gunung Lawu untuk dapat panas bumi,” kata politikus Partai Golkar tersebut.

Eksplorasi Belum Berhenti

Terpisah, Corporate Secretary PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), Muhammad Baron, menyebut eksplorasi panas bumi di WKP Gunung Lawu belum bisa dikatakan berhenti. namun masih dalam proses pengkajian ulang di berbagai aspek. Menurutnya, energi panas bumi masih membutuhkan kajian mendalam, antara lain terkait aturan atau ketentuan.

“Kajian kami terus dilakukan bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ada beberapa kajian yang sudah kami usulkan dan diskusi, namun sifatnya internal. Belum ada keputusan dalam hal eksplorasi, tapi kajian terus kami jalankan,” ungkapnya, Kamis (6/1/2022),

Baron menampik kajian itu terkait dengan penolakan dan izin pengembangan dari pemerintah daerah setempat. Kajian yang dilakukan PGE tidak membahas persoalan nonteknis itu. Sebagai salah satu EBT yang punya potensi luar biasa, bisnis panas bumi masih membutuhkan kajian yang tak ringkas sebelum pelaksanaannya. Sosialisasi dan diskusi masih terus dilakukan bersama Kementerian ESDM.

“Yang paling penting kami tetap pada aturan yang ada,” imbuh Baron.

Baca Juga: PROYEK PANAS BUMI KARANGANYAR : Eksplorasi di Gunung Lawu Sesuai UU

Salah satu pertimbangan lain dalam kajian itu adalah situs cagar budaya yang berada di sekitar area WKP Gunung Lawu. Sebagai informasi, WKP Gunung Lawu diserahkan hak pengelolaannya kepada PGE setelah melalui tender pada 2016.

Saat itu PGE sukses menyisihkan PT Star Energy Geothermal Indonesia dengan penawaran harga tenaga listrik sebesar US$10,00 sen per kWh. Sementara Star Energy memberikan penawaran US$14,47 sen per kWh. PGE menyebut pihaknya mengelola hingga 14 WKP, di mana sebagian dioperasikan oleh PGE dan sisanya melalui kontrak operasi bersama pihak ketiga.

“Sampai saat ini semua sudah berjalan, di antaranya di Sumatra Selatan, Sulawesi, Lampung, Jawa Barat, dan Bengkulu,” jelasnya.

Kapasitas terpasang panas bumi di wilayah kerja PGE berkontribusi sebesar sekitar 88% dari total kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia, dengan potensi pengurangan emisi CO2 sebesar sekitar 9,5 juta ton per tahun.

Pihaknya terus menganalisis dan melakukan kajian lebih lanjut opsi skema pengembangan untuk setiap proyek panas bumi yang telah ditetapkan, serta mengevaluasi lebih lanjut keekonomian bisnis model bersama. Selain penyusunan waktu dan tolok ukur waktu mulai dari tahapan eksplorasi, eksploitasi, sampai operasi pada setiap proyek. Pemenuhan aspek good corporate governance (GCG) diutamakan dalam proses-proses tersebut.



Belum ada Kajian Cagar Budaya

Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Jawa Tengah, Sukronedi, mengaku sampai saat ini belum diminta melakukan kajian mengenai keberadaan situs sejarah di kawasan Hutan Lindung Gunung Lawu yang bakal terdampak apabila eksplorasi panas bumi dilakukan.

“Sampai saat ini, kami belum diminta melakukan kajian, bahkan sejak 2017. Tidak ada surat kepada kami untuk pendataan dan sebagainya,” kata dia, dihubungi Rabu (26/1/2022).

Menurutnya, cagar budaya di Gunung Lawu bukan sekadar peninggalan sejarah. Namun masih banyak yang digunakan untuk ziarah, ritual, maupun menjalankan tradisi tertentu. Berdasarkan catatannya, terdapat 17 cagar budaya di Gunung Lawu, yakni, Candi Sukuh, Situs Cemoro Bulus, Situs Cemoro Pogog, Candi Planggatan, Makam Girilayu, dan Astana Mangadeg.

Kemudian ada pula Situs Watu Kandang, Situs Plosorejo, Situs Giyanti, Masjid Darul Muttaqin, Situs Candi Buntar, dan Situs Plumbon. Lalu, Situs Kandang Pakem, Wana Wisata Sekipan, Situs Menggung, Candi Cetho, dan Candi Kethek.

Pakar Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto, mengatakan berdasarkan UU No.21/2014 tentang Panas Bumi, kewenangan izin eksplorasi berada di pemerintah pusat. Di mana aturan sebelumnya, yakni UU No.27/2003 tentang Panas Bumi mengatur regulasi izin eksplorasi di tangan pemerintah daerah. Kemudian, terbitlah UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang mendukung beleid legal pada UU No.21/2014.

“Di dua UU itu seluruh aspek perizinan eskplorasi geothermal menjadi wewenang pemerintah pusat, tetapi ada rambu-rambu pemberian izin, yang di antaranya terkait dengan UU lain yaitu UU No.11/2010 tentang Cagar Budaya dan UU No.32/2009 tentang Lingkungan Hidup. Keduanya melarang izin eksplorasi di daerah yang dinyatakan sebagai hutan lindung, dan terdapat wilayah yang berisi warisan budaya atau cagar budaya,” kata dia, Kamis (3/2/2022).

Agus memperkirakan eksplorasi yang tak segera dimulai di wilayah Gunung Lawu terganjal oleh regulasi tersebut. Saat izin eksplorasi diberikan kepada pemenang lelang, pemerintah pusat kurang melihat aspek lain yakni UU No.11/2010 tentang Cagar Budaya dan UU No.32/2009 tentang Lingkungan Hidup.

“Hutan Lawu kan termasuk cagar alam budaya, jadi ketika dieksplorasi akan mengganggu ekosistem, cadangan air, dan cagar budaya, belum lagi yang tidak terlihat di permukaan. Apabila pemerintah daerah dan publik menolak, memang tidak salah juga, yang akhirnya membuat pemerintah pusat menghentikan atau menunda rencana eksplorasi. Saya rasa pemerintah pusat seharusnya tidak terburu, dan mau mendengarkan aspirasi pemerintah daerah dan publik, karena yang menjadi subyek hukum eksplorasi itu kan warga sekitar dan pemerintah daerah itu,” tutupnya.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya