SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Pemilihan umum (pemilu) masih sekitar dua tahun lagi, tetapi pertarungannya sudah dimulai sekarang. Partai-partai politik mulai sibuk mencari teman koalisi agar bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden. Tujuannya agar koalisi partai politik memenuhi presidential threshold 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional berdasar Pemilu 2019.

Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang ingin menduetkan Prabowo Subianto-Abdul Muhaimin Iskandar. Ada koalisi Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Koalisi ini belum menentukan siapa calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Partai Nasional Demokrat (Nasdem) langsung melompat tidak berpikir tentang memenuhi syarat PT atau tidak, tetapi langsung mengumumkan Anies Baswedan sebagai calon presiden. Partai politik ini juga gercep—bergerak cepat—mendekati Partai Demokrat sehingga muncul pasangan Anies Baswedan-Agus Harimuti Yudhoyono sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.

Melihat komposisi koalisi dan angka PT, koalisi Partai Nasdem dan Partai Demokrat masih harus bekerja keras. Partai yang adem-ayem pada urusan koalisi adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai politik ini satu-satunya yang bisa mengusung calon presiden dan calon wakil presiden sendiri, tanpa harus berkoalisi.

Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, pernah menyatakan kestabilan pemerintahan butuh lebih dari 20% dukungan di parlemen. Hal ini dibuktikan PDIP yang mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden pada 2014 dan menang dalam pemilu. Ketika memenangi pemilihan presiden, Jokowi dan PDIP langsung bergerak mengonsolidasikan kekuatan dengan mengajak hampir seluruh partai politik, menyisakan Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat.

Meskipun bisa mengusung calon presiden dan calon wakil presiden sendirian, tampaknya PDIP tidak akan menempuh jalan itu. Jika harus berkoalisi, PDIP tentu harus mencari partai politik yang hanya mau menjadi yang kedua alias posisi calon wakil presiden.

Partai politik apa pun yang berkoalisi dengan PDIP, harus mau hanya mendapat jatah calon wakil presiden. Jika syaratnya demikian, PDIP harus memiliki calon presiden yang diterima oleh para pendukung koalisinya. Di sinilah teori efek ekor jas akan diberlakukan.

Calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung koalisi PDIP dan partai politik lain maupun koalisi partai-partai politik  lainnya harus diterima pendukung di level akar rumput, bukan hanya di lapisan elite saja. Contoh penerapan teori efek ekor jas ini dalam kasus pengumuam Anies Baswedan sebagai calon presiden yang diusung Partai Nasdem. Kita tahu track record Partai Nasdem dalam berkoalisi.

Pada Pemilu 2014, mendukung Jokowi dan menang. Pada pemilihan gubernur  DKI Jakarta 2017 mendukung Basuki Tjahaja Purnama dan kalah. Pada Pemilu 2019 kembali satu kongsi dengan Jokowi dan menang. Perolehan suara Partai Nasdem meningkat karena mencalonkan Jokowi, dari 6,74% menjadi 9,05%.

Pertanyaan evaluatif bagi Partai Nasdem adalah apakah pemilih Partai Nasdem di akar rumput mau menerima Anies Baswedan dan Agus Yudhoyono yang semuanya bukan kader? Partai Nasdem harus tahu party ID di Indonesia sangat rendah. Hanya 15%. Apabila dikalikan dengan perolehan suara Partai Nasdem pada 2019, jumlah itu berkisar 1,9 juta suara.

Kondisi ini pasti menjadi bahan konsiderasi partai-partai politik dalam menentukan arah koalisi. Efek ekor jas juga diperhatikan oleh koalisi Partai Gerindra dan PKB. Partai Gerindra berkepentingan menaikkan elektabilitas Prabowo di kalangan pemilih muslim moderat atau—secara definitive—di  kalangan Nahdlatul Ulama.

PKB bertujuan menaikkan elektabilitas Muhaimin Iskandar dan partai politik ini di kalangan pemilih nasionalis. Bagaimana dengan koalisi Partai Golkar, PPP, dan PAN? Sampai sekarang KIB belum menentukan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung. Partai Golkar menyebut ketua umumnya Airlangga Hartarto sebagai calon presiden.

Kepentingan Partai Politik

Permasalahan pokok koalisi ini adalah tokoh yang menjadi calon presiden tidak memiliki elektabilitas mumpuni. Elektabilitas Airlangga Hartarto dalam survei oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) hanya 0,4%, bahkan tidak masuk dalam empat besar survei SMRC dan Indikator Politik. Empat besar calon presiden yang bersaing ketat adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil.

Melihat kenyataan ini, timbul sedikit keyakinan bahwa PDIP akan menjalin komunikasi intensif dengan koalisi Partai Golkar, PPP, dan PAN. Hal ini dilatarbelakangi syarat dari PDIP dan tingkat elektabilitas calon presiden dari KIB. Selain itu, juga memperhatikan hasil pertemuan Joko Widodo dan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri yang ingin ada keberlanjutan pembangunan bangsa ini.

Faktor Joko Widodo memegang peranan penting. Tiga partai politik itu masih solid berada di koalisi pemerintahan dan Joko Widodo menjadi atasan para ketua partai politik itu. Posisi sebagai presiden membuat Jokowi relatif lebih bebas berkomunikasi dengan segala pihak, bahkan dengan lawan politiknya. Hal inilah yang tidak dimiliki Megawati saat ini.

Suara Jokowi kali ini pasti didengar Megawati, entah sedikit entah banyak. Pengalaman Jokowi memerintah akan menjadi landasan memberi saran kepada Megawati. Jokowi dikenal sebagai pribadi yang suka mengecilkan masalah. Pidatonya akhir-akhir ini menyatakan kita harus waspada terhadap krisis yang akan menghantam Indonesia.

Tahun 2022 adalah tahun yang sulit, sementara tahun 2023 adalah tahun yang gelap gulita. Bisa diringkas, masalah pokok yang mendesak hanya satu: ekonomi atau kesejahteraan rakyat. Jokowi kemungkinan besar akan menawarkan calon wakil presiden yang berlatar belakang ekonomi sekaligus memiliki dukungan politik kuat.

Salah satunya adalah Airlangga Hartarto. Saya tergoda menyimpulkan demikian karena dua hal. Pertama, jika PDIP dan Airlangga Hartarto bersatu berarti merupakan pasangan yang rasional dan mementingkan aspek kemampuan memerintah. Ini keluar dari tradisi sipil-militer, Jawa-luar Jawa, dan nasionalis-Islam.

Kedua, Airlangga merupakan gabungan teknokrat dan politikus. Airlangga paham proses pengambilan kebijakan publik dan tidak teralienasi dari dinamika politik sehari-hari. Perlu diketahui publik bahwa beragam koalisi ini memiliki tujuan menaikkan elektabilitas partai politik.

Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden harus berkorelasi positif dengan suara partai. Hal lainnya adalah siapa pun calon presiden dan calon wakil presiden adalah pasangan ideal untuk memenangi pemilu, bukan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Oktober 2022. Penulis adalah editor buku yang tinggal di Kota Solo, Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya