SOLOPOS.COM - Bramastia, Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Tinggal di Boyolali. (FOTO/Istimewa)

Bramastia, Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Tinggal di Boyolali. (FOTO/Istimewa)

Kontroversi relokasi kantor bupati Boyolali atau Sekretariat Daerah (Setda) Boyolalui perlu energi besar yang pada akhirnya tersia-siakan. Akibat kontrovers berkepanjangan, berbagai persoalan pokok rakyat menjadi terabaikan. Jalan keluar menyelesaikan kontroversi relokasi adalah mendialogkan segala persoalan dengan melibatkan semua elemen masyarakat Boyolali. Bersediakah Bupati Boyolali, Seno Samodro, mendialogkan persoalan relokasi itu?
Menurut pandangan saya, titik sentral persoalan berada pada Bupati Boyolali Seno Samodro. Selama ini, sikap keras kepala Bupati Boyolali yang berniat ingin merelokasi kantor Pemkab Boyolali telah mengabaikan saran dari aspek etika, moral hingga kaidah hukum. Sikap Bupati Boyolali yang abai, angkuh dan resisten terhadap berbagai masukan membuat banyak pihak merasa disepelekan.
Apalagi, peran sang kakak Bupati Seno Samodro yang bertindak arogan dan melebihi kekuasaan seorang bupati jelas membuat banyak pihak terusik dan ingin ”melenyapkannya”. Arogansi itu memunculkan kesan seolah-olah Boyolali menjadi milik pribadi, bukan milik semua rakyat Boyolali. Latar belakang ini membuat gerakan civil society organization (CSO), yakni LSM, akademisi, pengusaha, agamawan dan para tokoh masyarakat bersatu mengadang arogansi Bupati Seno Samodro yang ingin merelokasi Kantor Bupati Boyolali.
Andai Bupati Seno Samodro ingin mewujudkan ketenteraman masyarakat Boyolali, titik perbedaan pandangan dalam rencana relokasi kantor bupati harus dipertemukan. Bupati tidak perlu takut mengingat semua elemen di Boyolali pasti menginginkan kebaikan bagi masa depan Boyolali. Tentunya, harus diselami mengapa terjadi perbedaan pandangan mengenai rencana relokasi kantor bupati itu.
Pada awalnya Bupati Seno Samodro optimistis relokasi kantor bupati tidak mengganggu APBD Kabupaten Boyolali. Namun, dalam tahap realisasi justru sebaliknya, relokasi terang-terangan menggunakan dana APBD Boyolali. Dalam hal ini, Bupati Seno Samodro telah membohongi dan membebani rakyat dengan mengambil dana APBD untuk membiayai relokasi kantor bupati.
Jika Bupati Seno Samudro mau jujur, rencana relokasi kantor Setda itu sudah dimulai pada 2008 dan berujung dicoretnya anggaran pengadaan tanah senilai Rp12,5 miliar dalam APBD Kabupaten Boyolali 2008. Tatkala rencana relokasi kembali menyeruak pada 2010, kembali menimbulkan perdebatan publik. Ironisnya, Bupati Boyolali masih bersikap ngeyel dengan tidak menggubris sama sekali masukan masyarakat dan ingin tetap melanjutkan relokasi kantor bupati  Boyolali.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kelompok CSO
Kelompok CSO yang mencakup tokoh LSM, akademisi, pengusaha, agamawan dan para tokoh masyarakat bersatu sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi Boyolali. Rencana Bupati Seno Samudro merelokasi kantor bupati mengakibatkan anggaran rakyat menjadi berkurang. Artinya, program relokasi kantor Setda akan menyedot anggaran lain yang seharusnya untuk rakyat.
Akibat alokasi dana relokasi yang bertumpu APBD Boyolali, jelas mengorbankan hak rakyat agar mendapatkan anggaran seoptimal mungkin pada 2012. Hal ini bertentangan dengan fungsi anggaran, yakni fungsi distribusi yang mengharus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta fungsi alokasi yang mengharuskan anggaran untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan.
Di samping itu, relokasi kantor bupati jika ditinjau dari aspek hukum juga punya sisi lemah. Tanah yang dipergunakan untuk relokasi kantor bupati berpotensi bermasalah hukum. Tanah bekas kas desa memang tidak boleh dijadikan bangunan kantor baru setelah perubahan status dari desa menjadi kelurahan. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab XI mengenai Desa dan pada Pasal 201 ayat (2) dinyatakan bahwa desa yang berubah statusnya menjadi kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan.
Permendagri No 28/2006 terutama Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa ketika status desa berubah menjadi kelurahan, seluruh kekayaan dan sumber-sumber pendapatan desa menjadi kekayaan daerah kabupaten/kota. Bahkan pada ayat (2) dinyatakan kekayaan dan sumber-sumber pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh kelurahan bersangkutan untuk kepentingan masyarakat setempat. Artinya, meski berubah status dari desa menjadi kelurahan, tetapi tanah bekas kas desa tidak boleh digunakan untuk tempat relokasi kantor bupati Boyolali.

Masyarakat Desa
Rakyat Desa Kemiri dan Desa Mojosongo ternyata tidak pernah mengusulkan perubahan status desa menjadi kelurahan. Dalam proses perubahan status desa menjadi kelurahan, baik di Kemiri maupun di Mojosongo, jelas tidak sesuai aturan. Jadi dapat dikatakan cacat hukum. Sedangkan dari sisi sosial, perubahan status desa menjadi kelurahan berdampak pada masyarakat, mulai dari layanan birokrasi hingga kehidupan sehari-hari rakyat.
Faktanya, perubahan status desa menjadi kelurahan ternyata tidak berdasar usulan masyarakat. Padahal, UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah terutama pada Bab XI mengenai Desa khususnya Pasal 200 ayat (2) jelas menyatakan bahwa pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat. Pada ayat (3) dinyatakan bahwa desa di kabupaten secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa dari pemerintah desa bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang ditetapkan dengan Perda.
Permendagri No 28/2006 tentang Pembentukan Penghapusan Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan terutama pada Bab IV tentang Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan, khususnya Pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa pemerintah desa bersama BPD dengan memperhatikan aspirasi masyarakat setempat.
Ketentuan ini diperkuat ayat (2) yang menyatakan bahwa aspirasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) penduduk desa yang mempunyai hak pilih. Alangkah baiknya bila Bupati Seno Samodro, kelompok CSO dan masyarakat desa dapat duduk bersama dan mendialogkan rencana relokasi kantor Setda Boyolali.
Sangat arif dan bijaksana apabila Bupati Boyolali menghentikan sejenak rencana relokasi dengan melibatkan segenap komponen untuk membahas relokasi kantor bupati Boyolali. Minimal, dalam dialog itu, semua duduk sama rendah untuk membahas masa depan Boyolali.  Bersediakah Pak Bupati?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya