SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Pasangan Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa resmi mendapat rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk maju sebagai calon wali kota dan calon wakil wali kota pada pemilihan kepala daerah Kota Solo tahun 2020 ini.

Majunya Gibran sebagai calon wali kota mengundang sentimen negatif. Ada yang menyebut dia kader makbedunduk, harus belajar dahulu, memanfaatkan bapaknya yang presiden, dan isu dinasti politik.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Musim pemilihan kepala daerah memang musim bagi anak, istri, dan sanak saudara para politikus mencalonkan diri untuk menjadi kepala daerah. Kondisi yang demikian menyebabkan banyak orang menyebut sebagai dinasti politik.

Dinasti politik merupakan investasi politik keluarga para penguasa. Awal mula dinasti politik terbentuk karena pertalian darah langsung pada klan-klan penguasa. Pascareformasi dinasti politik telah menjadi isu menarik sejak 2009 ketika Puan Maharani dan Edhie Baskoro Yudhoyono maju sebagai anggota DPR.

Perkembangan dinasti politik akhirnya merembet ke tingkat lokal. Kisah dinasti politik ada di Provinsi Banten waktu dipimpin Gubernur Ratu Atut Chosiyah. Ia berkuasa dan kemudian diikuti oleh anak, menantu, dan saudara menjadi pejabat eksekutif dan legislatif di pemerintahan lokal.

Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menyatakan terjadinya dinasti politik di daerah karena by design dan by accident. Terjadi by design ketika sumber dayanya adalah keluarga inti, seperti anak atau istri.

Contohnya adalah istri atau anak menggantikan bapaknya menjadi kepala daerah. Terjadi by accident ketika sumber dayanya bukan keluarga inti, melainkan masih punya hubungan kekerabatan erat yang memiliki peluang terbesar memenangi pemilihan kepala daerah.

Dinasti politik memiliki tujuan pragmatis untuk mempertahankan atau melanggengkan kekuasaan keluarga dalam politik lokal. Jika tidak dipersiapkan secara serius, dinasti politik yang melibatkan kerabat sebagai calon kepala daerah bisa jadi tidak memiliki kecakapan dalam membangun daerah dan akan dinilai sebagai bayang-bayang dari kepala daerah sebelumnya yang masih satu famili.

Dinasti politik juga dapat menimbulkan pendapat bahwa demokrasi makin dekat pada oligarki. Tidak dimungkiri bahwa pelaku dinasti politik juga merupakan sekumpulan kapitalis lokal yang menerima banyak kemudahan dalam berbisnis sehingga bisa menjadi local strongmen dan local boss.

Dengan demikian, pelaku dinasti politik di tingkat lokal merupakan aktor utama oligarki di daerah tersebut. Penjelasan mengenai terjadinya dinasti politik memunculkan pertanyaan apakah ketika Gibran menjadi calon wali kota merupakan bagian dari dinasti politik?

Pencalonan Gibran bisa dianggap sebagai dinasti politik yang terjadi by design: anak menggantikan bapak. Hal ini bisa dibantah bahwa pola umum by design adalah menggantikan setelah masa jabatan keluarga inti habis. Contoh by design bisa kita lihat di Kabupaten Sukoharjo: istri maju menggantikan suami.

Faktor lainnya yaitu Gibran sebagai kapitalis lokal. Gibran dikenal sebagai pengusaha di bidang kuliner yang menurut penuturannya dibangun dengan kelihaian berbisnis dan kerja kerasnya sendiri, bukan kelihaian mendapatkan proyek-proyek di lingkungan pemerintah.

Di luar semua perdebatan mengenai dinasti politik, saya tertarik dengan tagline kampanye Gibran di media sosial, yaitu ”muda visioner”. Muda pasti menunjuk pada Gibran sendiri yang masih berusia 30 tahunan, sementara bagian yang visioner ini saya belum bisa membayangkan.

Bisa juga Gibran mencontoh Joko Widodo ketika memimpin Kota Solo dengan slogan Solo past as Solo present. Solo masa lalu adalah Solo masa kini.     Menurut saya, gagasan muda visioner cukup memikat. Gagasan tersebut akan menentukan isi kepentingan Gibran maju sebagai calon wali Kota Solo.

Melawan Tesis

Gagasan akan membentuk dan mendefinisikan berbagai kategori politik yang bisa dicapai atau hanya bisa diimpikan. Gagasanlah yang membedakan Gibran dan kontestan politik lainnya saat bersaing memperebutkan jabatan publik.

Muda visioner yang ingin ditonjolkan Gibran masih ala judul puisi. Gagasan ini belum masuk ke program konkret yang membidik masyarakat. Setelah rekomendasi diberikan, sebaiknya Gibran beserta timnya segera menyusun prosa. Ini bukan prosa biasa, melainkan berisi serangkaian program yang akan dikerjakan Gibran ketika menjadi wali kota.

Jangan sampai pada saat kampanye yang resmi nanti, Gibran terus berpuisi ”muda visioner” dan tenggelam menangkis isu dinasti politik, apalagi jika sampai melawan kotak kosong. Bisa jadi gambar Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa dianggap tidak lebih baik daripada kotak kosong karena nirgagasan.

Selain itu, dalam kondisi saling memperebutkan kekuasaan, gagasan yang baik dapat menampik asumsi bahwa semua pelaku politik akan memaksimalkan keuntungannya sendiri dengan menjadikan panggung politik untuk mengeruk segala sumber daya.

Gagasan muda visioner yang sudah menjadi prosa (baca: program politik) akan menjadi cara termudah sekaligus termurah bagi Gibran untuk menyanggah anggapan negatif dinasti politik bahwa dia tidak bisa keluar dari bayang-bayang ayahnya atau didukung oleh oligarki untuk pembiayaan kampanye.

Perlu diketahui, ongkos turut serta bertarung di pemilihan kepala daerah tidaklah murah. Biaya untuk mengikuti pemilihan kepala daerah rata-rata Rp20 miliar hingga Rp30 miliar, sedangkan kekayaan calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah itu rata-rata hanya Rp6 miliar hingga Rp8 miliar.

Untuk menutup lubang sebesar itu dibutuhkan pendukung seperti para kapitalis dan oligarki lokal.    Program-program Gibran yang masih berupa gagasan ini dalam konstestasi pemilihan kepala daerah berperan untuk mengurangi biaya tawar-menawar atau transaction cost, yang dalam pemilihan umum dikenal sebagai money politics. Tanpa gagasan yang persuasif, kemenangan Gibran bisa dianggap sebagai usaha melanggengkan dinasti politik.

Fungsi penting gagasan muda visioner adalah membantah tesis dinasti politik bahwa sumber daya memenangi kompetisi politik tidak hanya keluarga yang memiliki kekuasaan politik dan uang, tetapi kepintaran membuat program dengan gagasan yang memukau juga merupakan modal yang dimiliki oleh politikus untuk mendapatkan dukungan rakyat sekaligus memenangi  pemilihan umum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya