SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Seseorang berkulit hitam dan berambut keriting tengah berdiri tegak. Tangan kanannya memegangi telinga sebelah kanan, kepala sedikit didongakkan ke atas, lalu mulai bibirnya bergerak-gerak melafalkan seruan langit hingga memenuhi ruang bumi.

Beberapa saat kemudian orang-orang berdatangan. Di antara mereka ada Rasulullah SAW yang memancar indah wajahnya. Berbaur dengan semua yang hadir, para sahabat tercinta. Mereka adalah manusia-manusia langit yang berhimpun di bumi. Dan sang pelantun seruan adalah mantan budak manusia yang telah menjadi hamba Tuhan yang Esa. Ya, dia adalah Bilal bin Rabbah radhiyalloohu’anhu. Fisik lahiriahnya barangkali tidak terlalu menarik perhatian, namun suaranya yang menggema sungguh sangat menyentuh bagi yang mendengarnya hingga manusia berbondong-bondong mendatanginya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Tepatlah jika Rasulullah SAW memilihnya menjadi muadzin di kalangan para sahabatnya. Kalimat azan telah menghiasi lisan dan jiwanya hingga ia benar-benar menjadi manusia merdeka.

Saudaraku, tergambar jelas dan indah pemandangan di atas. Melintas keinginan untuk mewujudkannya. Saat ini. Ya, karena peristiwa di atas telah berlangsung lima belas abad yang lampau.

Hari ini, kita bersyukur karena masih cukup banyak gambaran serupa terwujud dalam kehidupan kita. Pada sebagian besar masyarakat kita yang muslim (beragama Islam), seruan tersebut bukanlah kalimat yang asing disuarakan tatkala waktu salat telah tiba. Memang tetap ada yang berbeda, khususnya dalam memaknai dan menyikapi seruan azan yang dikumandangkan.

Dulu, para sahabat sangat memahami kalimat-kalimat yang dilafalkan dalam lantunan azan adalah seruan keimanan. Ia adalah seruan langit yang mengundang jiwa mereka yang sarat iman untuk segera menyambut dan mendatanginya.

Hanya sebagian kecil saja yang tengah sakit dan berhalangan yang tidak memungkinkan untuk mendatanginya. Sebagian yang lain adalah kaum munafik yang memang tidak pernah peduli dengan seruan itu, meski lima kali sehari dikumandangkan. Kini, yang menyambut dan mendatangi seruan azan bukan sebagian besar dari manusia yang mengaku dengan lisannya beriman, namun sebagian kecil saja di antara mereka yang sungguh-sungguh membuktikan pengakuannya.

Tatkala azan dikumandangkan, sebagian sekadar berucap, “Oh, sudah maghrib…,oh sudah asar…,” dan mereka tetap melanjutkan aktivitasnya tanpa merasa terpanggil untuk –bahkan- sekadar berhenti dari aktivitas yang dilakukan, lalu menjawab kalimat-kalimat azan yang tengah dikumandangkan, apalagi mendatanginya untuk melaksanakan salat berjamaah di tempat azan dikumandangkan.

Kenapa demikian? Beragam sebabnya. Sebagian karena memang telah redup cahaya iman di dalam hatinya. Sebagian yang lain, tidak mengetahui kemuliaan kalimat-kalimat ini dan keutamaan menjawab dan mendatanginya. Atau, mungkin juga ada sebagian di antara mereka yang memang tengah terhalangi untuk mendatanginya.

Saudaraku, perhatikanlah sabda Nabi SAW berikut ini:

“Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang terdapat pada azan dan shaf pertama, lalu mereka tak ada cara untuk memperolehnya kecuali dengan jalan mengadakan undian, niscaya mereka akan melakukan undian demi mendapatkan keutamaannya…” (HR. Bukhari dan lainnya dari Abu Hurairah radhiyalloohu’anhu).

Hadits yang mulia ini mengajarkan kepada kita betapa besar nilai keutamaan azan dan segera mendatanginya hingga kita bisa berada di shaf pertama. Keutamaan macam apa sesungguhnya hingga seruan azan harus dijawab dan segera disambut? Dalam kesempatan berbeda, Rasulullah SAW menjelaskannya:

“Jika muadzin menyerukan kalimat ‘Alloohu Akbar, Alloohu Akbar,’ dan salah seorang di antara kalian menjawabnya dengan mengatakan ‘Alloohu Akbar, Alloohu Akbar.’ Lalu jika ia menyerukan Asyhadu allaa ilaaha illallooh,’ ia pun menjawabnya dengan kalimat ‘Asyhadu allaa ilaaha illaallooh.’ Kemudian ketika muadzin menyerukan kalimat ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullooh,’ ia pun menjawabnya dengan kalimat ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullooh.’ Lalu saat muadzin menyerukan kalimat ‘Hayya ‘alash sholaah,’ ia menjawabnya dengan kalimat ‘Laahaula walaa quwwata illaa billaah.’ Begitupun ketika muadzin menyerukan kalimat ‘Hayya ‘alal falaah’, ia juga menjawab dengan kalimat ‘Laahaula walaa quwwata illaa billaah.’ Kemudian ketika muadzin menyerukan kalimat ‘Alloohu Akbar, Alloohu Akbar,’ dijawabnya pula ‘Alloohu Akbar, Alloohu Akbar.’ Dan saat muadzin menyerukan kalimat ‘Laa ilaaha illallooh’, dia juga menjawabnya dengan kalimat ‘Laa ilaaha illallooh,’ dan semua itu dilakukannya dari dalam hatinya (ikhlash, berharap keridhoan Allah), maka ia akan masuk surga.” (HR. Muslim dan Abu Dawud dari Umar radhiyalloohu’anhu)

Saudaraku, tidakkah sabda Rasulullah SAW ini menggetarkan iman kita? Tetapkah kita tidak mempedulikan seruan azan tatkala ia dikumandangkan? Lalu, jika demikian halnya, siapakah diri kita ini sesungguhnya?

Walloohu a’lamu bish showwaab

Oleh

Sigit Yulianta

Pimpinan Pesantren Tahfizh Qur’an Yatim Nurani Insani Jogja

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya