SOLOPOS.COM - Rohmah Ermawati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Tindak kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa kembali terjadi di pondok pesantren. Kali ini menimpa Daffa Washif Waluyo asal Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur, yang nyantri di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam di Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah.

Remaja berusia 14 tahun itu meninggal dunia diduga akibat penganiayaan yang dilakukan oleh seniornya di pesantren. Santri senior itu  juga masih di bawah umur, berinisial M dan berusia 16 tahun. Kekerasan terjadi dengan dalih senior sedang mendisiplinkan junior.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Tindak kekerasan dalam bentuk apa pun dan di mana pun tidak dibenarkan. Norma agama dan peraturan perundang-undangan melarang seseorang menyakiti orang lain. Jeratan hukum bagi pelaku kekerasan atau penganiayaan juga tak main-main.

Sangat disayangkan kasus kekerasan di lembaga pendidikan, dalam hal ini pesantren, masih juga terulang. Pesantren menjadi salah satu pilihan orang tua dalam memberikan pendidikan terbaik bagi putra-putrinya.

Faktanya kekerasan masih terjadi di pesantren. Sungguh miris hati saya membaca artikel di media tentang ibunda Daffa yang shock dan terus menangis meratapi kepergian anak semata wayangnya. Ibu mana yang tidak hancur hatinya menerima kenyataan pahit seperti itu?

Sehari sebelumnya, ayahanda dan ibunda Daffa menjenguk di pesantren dan saat itu kondisi Daffa baik-baik saja. Sosiolog Universitas Indonesia, Ida Ruwaida, dalam sebuah artikel di media massa mengungkapkan ada sejumlah faktor yang menyebabkan terjadi kekerasan di pesantren.

Pertama, kultur pesantren yang paternalistik. Kepatuhan menjadi bagian yang ditanamkan sehingga bersikap kritis dianggap menyimpang hingga diyakini menjadi sumber dosa. Cara pandang ini melandasi terbangunnya pola asuh satu arah, berorientasi pada sang tokoh, dan cenderung otoriter.

Kedua, anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari pembelajaran. Sebagian pesantren menggunakan kekerasan sebagai hukuman bagi santri yang melanggar aturan agar mereka jera. Alih-alih membuat santri jera, hukuman lebih dikedepankan daripada unsur pendidikan.

Ketiga, dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan literasi kemanusiaan. Solidaritas dimaknai secara salah sebagai membela atau mendiamkan kawan meskipun salah bersikap dan berperilaku, termasuk pada pelaku kekerasan.

Perlu edukasi kepada semua pihak agar  pesantren menjadi area yang menolak kekerasan, apa pun bentuknya. Keempat, minimnya pemahaman tentang keberagaman. Mendidik dan mengasuh santri dengan latar belakang berbeda tentu menjadi tantangan tersendiri.

Tindak kekerasan di pesantren bisa dihindari dan dicegah karena Islam memiliki spirit antikekerasan. Pesantren sebagai institusi pendidikan menjadi salah satu agen sosialisasi. Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, pernah mengkritik sistem pesantren yang tertutup.

Kondisi itu membuat santri rentan menjadi korban kekerasan fisik, seksual, maupun psikologis. Sistem pesantren yang tertutup menyulitkan pengawasan dan memungkinkan santri sulit melapor ketika mengalami masalah.

Kinerja pengasuhan di pesantren tidak mudah, membutuhkan orang yang berpendidikan khusus seperti guru bimbingan konseling. Jumlah santri yang banyak memerlukan kesabaran ekstra saat mendidik mereka.

Pengasuh pesantren harus bisa melembutkan hati santri-santri yang keras, berjiwa tidak stabil, suka kekerasan, dan menjadikan mereka santri baru yang memiliki sikap welas asih kepada sesama santri dan sesama manusia.

Kementerian Agama perlu menerbitkan regulasi sebagai mitigasi dan antisipasi tindak kekerasan di pesantren. Direktur Pendidikan Diniah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Waryono Abdul Ghofur, mengungkapkan penyusunan regulasi pencegahan tindak kekerasan dipendidikan agama dan keagamaan dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Tentu kita tidak mau kekerasan dalam bentuk apa pun terulang di pesantren, apalagi sampai mengakibatkan korban jiwa. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh. Komitmen antikekerasan multipihak yang mencakup pemerintah, pengelola pesantren, orang tua santri, santri, dan masyarakat penting untuk menjaga muruah pesantren.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 November 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya