SOLOPOS.COM - Fajar S. Roekminto/Istimewa

Solopos.com, SOLO — Pemilihan kepala daerah Kota Solo kali ini memang menarik dibicarakan mengingat aromanya yang ”menyengat” dibanding dengan pemilihan wali Kota Solo sebelumnya. Dalam pemilihan wali Kota Solo, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kota Solo biasanya tidak bergejolak internal yang berarti, namun berbeda dalam pemilihan kepala daerah 2020.

DPC PDIP Kota Solo yang telah memutuskan mengusung pasangan Achmad Purnomo-Teguh Prakosa harus dihadapkan pada kenyataan keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, yang tentu cukup memanaskan kontestasi di internal PDIP. Achmad Purnomo adalah Wakil Wali Kota Solo saat ini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Baru kali atau untuk kali pertama ini terjadi mekanisme pendaftaran calon bupati/calon wali kota melalui Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP. Kemunculan Gibran sebagai calon wali kota secara otomatis memunculkan komentar-komentar, yang umumnya negatif, mulai dari komentar agar Gibran mencalonkan diri setelah Presiden Joko Widodo selesai menjabat presiden periode kedua sampai “penolakan” dukungan pada Gibran.

Ada juga yang meragukan kemampuan Gibran menjadi wali kota. Pencalonan Gibran dan menantu Presiden Joko Widodo, Bobby Nasution, dalam pemilihan wali Kota Medan memudahkan orang menyimpulkan bahwa Presiden Joko Widodo telah mempraktikkan nepotisme. Apakah memang benar Presiden Joko Widodo telah menancapkan pengaruh untuk semata-mata mengejar kekuasaan yang lebih luas?

Esai ini tidak akan membahas mengenai langkah politik Presiden Joko Widodo dalam kerangka pencalonan Gibran dan Bobby. Selain itu,  dikesampaikan pula peluang Gibran dalam mengalahkan lawan-lawannya dalam konstestasi pemilihan kepala daerah. Keseluruhan informasi bertujuan ”menafsirkan” Gibran yang ”tiba-tiba” mencalonkan diri dalam pemilihan wali Kota Solo?

Batasan tafsir ini ada pada realitas Gibran sebagai generasi milenial, angkatan muda saat ini, yang menurut para ahli adalah golongan yang lahir pada era 1980. Gibran tentu saja termasuk generasi milenial karena lahir di Solo pada 1 Oktober 1987. Selama ini anak-anak Presiden Joko Widodo, termasuk Gibran, selalu mengartikulasikan politik dalam bahasa yang justru jauh dari pengertian politik praktis.

Itulah sebabnya menjadi mengejutkan ketika dia mencalonkan diri dalam pemilihan wali Kota Solo. Politik praktis adalah sesuatu yang menyakitkan, tentu Gibran masih teringat ketika pemilihan presiden 2019. Banyak tuduhan negatif kepada Gibran. Bisa jadi pencalonan ini merupakan salah satu cara untuk menunjukkan siapa dirinya.

Presiden Joko Widodo Mendukung

Ada beberapa hal sebelum masuk pada penafsiran tentang Gibran. Pertama, berperankah Presiden Joko Widodo dalam pencalonan Gibran? Untuk kepetingan politik apa Presiden Joko Widodo mendukung pencalonan Gibran dalam pemilihan wali Kota Solo. Tentu saja Presiden Joko Wiododo tidak secara tersurat menjelaskan kepada publik. Publik membaca bahwa Presiden Joko Widodo mendukung, tentunya dimaknai, hanya dalam kerangka “etika keluarga” saja, yakni dukungan dari bapak kepada seorang anak.

Menurut saya, jelas Presiden Joko Widodo berperan dalam pencalonan Gibran. Mengapa? Faktor utama yang menjadi alasan dukungan Presiden Joko Widodo kepada anaknya adalah kenyataan tentang Kota Solo saat ini. Tidak bisa dimungkiri ketika Joko Widodo menjadi wali kota memang memiliki peran besar dalam menjadikan Kota Solo menjadi kota yang diperhitungkan.

Masyarakat Solo tentu masih ingat Joko Widodo sebagai wali kota berjuang membangun Kota Solo dan melahirkan istilah blusukan yang menjadi begitu terkenal dan ditiru banyak calon pejabat dalam kampanye. Mari kita lihat Solo dalam 10 tahun terakhir. Apa yang terjadi dengan Kota Solo saat ini?

Presiden Joko Widodo tentu sangat paham bahwa Kota Solo mengalami ketertinggalan, misalnya menjadi menyedihkan kalau dibandingkan dengan Kota Surabaya dan bahkan dengan daerah kota/kabupaten lain. Bisa saja Presiden Joko Widodo kecewa dengan pembangunan Kota Solo dan berpikir bahwa anaknya mampu menjadikan Solo lebih baik. Ia tentu tidak akan memaksakan kehendak kepada Gibran kalau dia tidak mau.

Menilik pada pendidikan Gibran, mudah menafsirkan kalau Gibran memiliki kemampuan kepemimpiman. Studi dia di Orchid Park Secondary School dan Management Development Institute of Singapore serta kemampuan manajemen dalam mengelola bisnis Markobar dan Chilli Pari cukup bagi Gibran sebagai bekal menjadi wali Kota Solo.

Dia menempuh studi di Singapura dengan susah payah serta membangun bisnis juga dengan kondisi yang sama. Kondisi semacam itu tidak serta-merta menjadikan orang memercayai kemampuan Gibran. Orang tentu tidak akan pernah berhenti bertanya, apakah Gibran memiliki kemampuan dalam dunia politik karena manajamen bisnis yang dikuasai oleh Gibran ”katanya” berbeda dengan manajemen politik?

Wajar saja pertanyaan itu terus mengalir bertubi-tubi kepada Gibran. Seandainya pertanyaan itu dibalik, selama lima tahun ayahnya menjadi presiden, tidakkah Gibran belajar kepada politikus-politikus ulung yang dikenal ayahnya? Tidakkah Gibran juga belajar politik? Tidakah kita sadar cara berpikir milenial yang dimiliki Gibran sehingga dia sukses dengan bisnisnya. Tidakkah Gibran belajar sendiri tentang politik? Hanya Gibran sendiri yang tahu, seberapa dalam dia belajar politik.

Kedua, Gibran terlahir sebagai generasi milenial. Logika dan cara berpikirnya berbeda dengan generasi sebelumnya. Peryataannya tentang cita-cita agar Solo melompat lebih maju dalam sambutan sebelum mendaftarkan diri sebagai calon wali Kota Solo di DPD PDIP Jawa Tengah pada Kamis (12/12) memberi satu tanda bahwa dia paham akan apa yang akan dilakukan selain tentu saja kemampuan memahami apa yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo, ayahnya.

Sebagai generasi milenial dia tentu saja ingin membawa Solo dalam percaturan kota secara internasional. Gibran tentu ingin memperkenalkan seluruh potensi Solo. Harapannya tentu bahwa semua masyarakat bangga menjadi warga Solo. Ketiga, meskipun cara berpikir Gibran terasa lebih tua dibanding usianya, bagaimanapun dia berbeda dari ayahnya.

Paham Apa yang Harus Dilakukan

Itulah sebabnya dia tidak sekadar menikmati kesuksesan ayahnya sebagai pengusaha mebel atau bahkan memanfaatkan posisi ayahnya. Gibran sebagai milenial memahami apa yang harus dia lakukan. Dia merintis usahanya tanpa memanfaatkan orang tuanya. Dengan kondisi seperti ini, lebih mudah bagi masyarakat untuk memberi penilaian akan apa yang dia lakukan seandainya dia menjadi wali kota.

Gibran, misalnya, tidak hanya bekerja sekadar menjalankan administrasi pemerintahan. Dia, mungkin, akan mengubah Kota Solo menjadi hidup dan bergerak sepanjang waktu dengan selalu memutakhirkan isu-isu kekinian. Keempat, mengapa Gibran menjalankan bisnis makanan? Sebagai generasi milenial dia paham cara berpikir generasinya.

Makanan tidak sekadar mengenyangkan, tapi gaya hidup. Sepiring hidangan akan menjadi sesuatu yang menarik untuk didiskusikan ketika diunggah di media sosial. Gibran tentu telah memikirkan bagaimana kuliner Kota Solo akan menjadi sangat terkenal dengan penyajian yang tentu telah dia pelajari. Belum lagi ide-ide yang dia sendiri yang tahu dalam mengangkat Kota Solo menjadi kota yang menarik untuk dikunjungi.

Kelima, dalam setiap pelaporan kinerja Gibran tentu tidak butuh penjelasan harian, bulanan, bahkan tahunan tapi dia tentu saja butuh umpan balik secepatnya. Laporan bulanan dan tahunan hanya akan berhenti menjadi kepentingan pengarsipan. Gibran tentu butuh waktu yang tak berlama-lama dalam mengambil keputusan, menjalankan kebijakan. Hal ini tentu saja disamakan dengan kebiasan berpikir milenial, persis seperti Gibran menjalankan bisnisnya.

Dengan melihat penjelasan di atas, atau hasil penafsiran akan kondisi Gibran, semudah itukah Gibran melaksanakan kerja wali kota seandainya masyrakat Solo memilih dia ”menjadi” wali kota? Tentu saja tidak. Dia juga harus didampingi oleh seorang wakil wali kota yang sejalan dengan pemikiran dia. Dukungan dari kelompok milenial tentu saja sangat diharapkan oleh Gibran karena eksistensi Gibran adalah karena kelompok milenial.

Sedikit banyak Gibran juga harus mengikuti model kampanye ayahnya,  blusukan, karena tanpa model yang pernah dilakukan oleh ayahnya, pemilih yang non-milenial akan terbata-bata memahami Gibran. Hanya dengan cara seperti yang pernah dilakukan oleh ayahnya Gibran akan mampu meraih suara warga Kota Solo.



 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya