SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO — Pandangan saya jatuh pada kue kecil di meja stan khusus jajanan berbasis adat Tionghoa saat pesta jajanan tiga etnis Jarwana di Kelurahan Jayengan, Kecamatan Serengan, Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah, berlangsung beberapa waktu lalu.

Walau seratusan peserta kirab dan warga setempat di sekitar saya sangat gaduh, kue merah di wadah itu menarik fokus perhatian saya. Saya tahu kue itu punya kekuatan penuh untuk memanggil saya menghampirinya. Benar saja. Kaki saya secara otomatis berjalan mematuhi mata.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ada perasaan kecewa saat melihat dalam sekejap kue itu habis tak bersisa. Namun, entah kenapa waktu saya lihat orang-orang menggenggam kue ku incaran saya di tangan mereka, saya merasa dada ini begitu hangat. Saya tahu hari itu, seusai pesta jajanan, saya akan membeli kue ku untuk saya makan sendiri.

Kue ku yang di kampung halaman saya disebut kue kuro adalah kue kesukaan kakek. Dulu sekali, selalu ada kue ku di cawan yang ditaruh di meja makan setiap pagi. Nenek yang menyiapkannya untuk kami.

Di samping kue ku ada segelas teh hangat. Pagi dimulai dengan duduk di meja makan, makan kue ku dan jajanan pasar lain, lalu minum teh. Saya juga ingat terkadang kakek membawa kue ku yang tersisa di meja lalu menaruhnya di plastik sebagai bekal bersepeda bersama saya.

Waktu masih kecil, saya selalu punya tempat istimewa di sepeda kakek. Kursi kecil yang dipasang kakek di bagian depan sepeda adalah tempat khusus untuk saya waktu masih balita sementara waktu tangan saya cukup kuat untuk memeluk pinggang kakek, tempat saya menjadi di belakang.

Saya dan kakek melewati banyak dini hari bersama, melewati jalan-jalan yang masih belum terang benar, mengobrolkan banyak hal untuk memecah keheningan dengan sebotol air putih dan sekresek kue kuro.

Pagi itu, saya menemukan lagi tumpukan kue kuro di stan jajanan berbasis budaya Tionghoa. Rasanya seperti de javu. Awalnya saya datang ke Jayengan hanya untuk bersenang-senang hingga kemudian saya bertemu seorang ketua rukun tetangga yang menjaga stan jajanan tersebut.

Namanya Yuli Setiawan. Laki-laki yang berpakaian cheongsam lengkap dengan topi kepangnya itu membuat saya berubah pikiran. Di antara riuhnya orang, laki-laki itu mengajak saya menjelajah memori tentang para leluhur kami. Kue ku adalah kue tradisional khas Tionghoa, begitu katanya.

“Lantas kenapa kue itu bisa sampai di meja makan saya?” batin saya di antara percakapan itu. Selain menjadi jajanan harian, kue ku menjadi salah satu penanda datangnya Tahun Baru Imlek.

Sebuah hari baru yang penuh harapan dan doa-doa untuk kemakmuran serta keberuntungan pada hari-hari ke depan. Namun, sayangnya, tak setiap tahun doa itu bisa diucapkan dengan mudah. Dinamika politik di Indonesia membuat perayaan tahun baru Imlek timbul-tenggelam di antara kepentingan dan fobia rezim yang berkuasa.Ada saat kue ku diam-diam saja di rumah, mengiringi doa yang juga disuarakan dengan diam-diam saja.

“Anda tahu, kue ku tidak melambangkan kemakmuran saja. Leluhur kami memaknai ini sebagai kue perlambang umur panjang. Kura-kura adalah binatang yang lambat, hati-hati, namun usianya panjang,” suara Yuli memutus keriuhan di kepala saya.

Kultur

Dia benar. Kura-kura adalah binatang yang mampu hidup di usia 100 bahkan 150 tahun. Kue dari tepung ketan yang lengket dengan kacang hijau begitu lumer di lidah itu ternyata memiliki makna yang begitu dalam yang baru saya dengar pada hari itu.

Dari stan jajanan Tionghoa, saya beralih ke stan jananan Banjar dan menemukan diri saya kembali diajak menjelajah memori tentang para leluhur. Seorang perempuan paruh baya, namanya Mimin Aminah, yang kini menemani perjalanan saya.

“Kami orang Jayengan, tapi kami tetap orang Banjar. Kue-kue ini mencerminkan bagaimana kultur kami,” begitu kata Mimin di awal percakapan. Kue lumpur, amparan tatak, cucur, lemper, mageli, dan masih banyak lagi bukan hanya cerita tentang makanan khas Banjar, melainkan bagaimana budaya makan warga Banjar terbentuk karenanya.

Kue-kue yang tersaji di meja makan pada pagi hari itu menjadi pengganjal perut karena warga Banjar tak terbiasa makan berat saat hari masih terlalu pagi. Makan nasi barulah sekitar pukul 09.00 Wita.

“Lantas bagaimana kultur makan jajanan di pagi hari itu juga bisa sampai di meja makan saya?” lagi-lagi saya membatin. Waktu saya melamun sambil melihat puluhan orang yang duduk di pinggir jalan – asyik menikmati jajanan, mengobrol, tertawa, sambil menyapa tetangga yang lewat — sebuah kesadaran baru menyapa saya.

Suasana itu mengentak kesadaran saya tentang begitu berbeda sekaligus begitu samanya kami semua. Leluhur membedakan, namun sekaligus membuat kami begitu sama dalam satu waktu.

Orang-orang yang memenuhi jalan itu membawa kesadaran pada saya tentang leluhur yang selalu bertalian dengan kami. Rasanya menjadi seperti kelegaan yang datang pelan-pelan. Saya merasa ribuan jajanan khas pada pagi itu memang telah memanggil para leluhur kami untuk berpesta bersama.

Kue ku, kue mangkuk, bacang, lemper, amparan tatak, dan lainnya menjadi signifier, menjadi penanda, tentang keberadaan para leluhur kami. Makanan memang bukan hanya soal kenyang, namun melampaui itu semua. Makanan tradisional adalah tentang asal-usul, tenang pencarian, bahkan tentang keluarga.

Saya mulai membaca jejak yang orang-orang tinggalkan. Saat mereka melihat kue ku, saat mereka mulai membaui aromanya, lalu saat mereka memakannya, maka sebuah proses internalisasi sesuatu yang eksternal ke dalam tubuh telah terjadi.

Proses internalisasi itu adalah proses inkarnasi sesuatu yang eksternal, makananan yang kita santap dari alam dan telah diolah sedemikian rupa, menjadi daging.

You are what you eat bagi saya bukan hanya perihal berat badan atau kandungan makanan, namun juga mengenai asal-usul makananan yang membentuk daging dan tubuh fana kita secara keseluruhan.

Benar yang dikatakan Mimin Aminah perihal dia adalah warga Jayengan, namun dia tetap orang Banjar. Kue-kue Banjar telah membentuk hidupnya dan menjadi bagian dari dagingnya sehinga makananan-makanan itu selalu memanggilnya kembali meski dia berada di perantauan.



Kue-kue itu selalu membuatnya terhubung dengan orang Banjar lainnya. Bersama-sama mereka lalu menghidupkan memori kolektif tentang budaya Banjar, menghidupkannya, lalu meneruskannya kepada generasi selanjutnya.

Jejak

Hal yang sama juga terjadi pada warga perantauan lain, termasuk saya. Kita semua akan selalu mencari bagian tubuh kita. Dan jejak itu ada pada makananan yang diwariskan para leluhur kepada kita.

Di Jayengan saya makin menyadari bahwa berbicara tentang leluhur adalah berbicara perihal keabadian. Mereka abadi di mata kita, di telinga kita, di mulut kita, di bahasa kita, di agama kita, di world view kita, dan nyaris di semua langkah kita. Para leluhur abadi dalam perjalanan hidup kita.

Namun, leluhur kini tak lagi saya maknai secara sempit. Senyum warga Jayengan membuat saya yakin bahwa leluhur bukan hanya ayah, ibu, kakek, atau nenek saya. Leluhur adalah siapa pun yang mewariskan pandangan dunia pada saya dan pada generasi sebelum saya.

Leluhur adalah mereka yang menyebabkan kue ku ada di meja makan saya dan ada pada tradisi makan jajanan di pagi hari masa kecil saya. Leluhur seperti juga makanan tradisional adalah hidup yang sesungguhnya yang serbaparadoks.

Di satu sisi, makanan bersifat personal karena saat kita kunyah, maka itu adalah milik kita saja, tak bisa dikunyah orang lain. Namun, makananan juga bersifat sosial karena ketika kita makan bersama keluarga, bersama teman, saat selamatan, saat perayaan, saat syukuran, dan sejenisnya, makanan menghubungkan kita dengan komunitas kita, dengan kelompok kita, dan dengan siapa saja kita hidup.

Jadi, apa sesungguhnya makanan Tionghoa, makanan Indonesia, makanan Jawa, atau makanan Banjar? Apakah itu berarti makanan yang dimasak di masing-masing wilayah, yang dimasak penduduk lokal, atau yang bahannya dari wilayah tertentu? Tampaknya semua relevan sehingga identitas tunggal memang susah diterapkan.

Leluhur pun demikian. Saat saya mempertanyakan identitas tunggal saya, maka lama-kelamaan pertanyaan itu menjadi makin tak masuk akal. Saya adalah tunggal dan jamak sekaligus. Ucapan Mimin Aminah lagi-lagi terngiang.

“Saya adalah orang Jayengan, tapi juga orang Banjar.” Saat saya pulang dengan kue lumpur dan amparan tatak di genggaman, saya benar-benar bersyukur untuk pengalaman pada hari itu. Dari keberlimpahanan jajanan yang tersaji, saya merasa Jayengan telah membuat para leluhur kami tersenyum pada hari itu.

Demikian pula saat saya mulai menikmati amparan tatak, mengunyah, lalu menelannya pelan-pelan, saya tahu Jayengan tengah berproses menjadi daging di tubuh saya, menjadi bagian dari hidup saya. Saya pun memeluk Jayengan dengan sangat erat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Oktober 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya