SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Teuku Jacob ketika menjabat Rektor Universitas Gadjah Mada pada 1984 mengatakan pada masa depan kita harus sadar bahwa usaha-usaha untuk melestarikan kemanusiaan akan sama pentingnya dengan usaha-usaha mencapai kemajuan material.

Universitas harus menjadi pusat kebudayaan humanistis juga, tidak hanya pusat pelatihan keterampilan untuk pasaran kerja atau pembangunan ekonomi negara. Kita tidak harus berikhtiar membuat manusia lebih duniawi, tetapi juga terutama harus membuat dunia lebih manusiawi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Membuat dunia lebih manusiawi adalah hakikat eksistensi universitas yang pada mulanya menjadi institusi untuk mencari kebenaran demi kebenaran itu sendiri. Perkataan Teuku Jacob itu menjadi semacam perkiraan sangat titis tentang kecenderungan universitas yang malah makin meninggalkan usaha membuat dunia lebih manusiawi.

Ia mengatakan itu pada 1984. Mungkin pada masa itu telah terbaca tentang kecenderungan universitas yang makin menuju neoliberalisasi dan kapitalisme akademis. Kewajiban asasi universitas membuat dunia lebih manusiawi tentu berbasis pada pengembangan tiga kategori ilmu.

Mengutip uraian Rama Augustinus Setyo Wibowo, rohaniwan dan dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, di kolom Tanda-tanda Zaman Majalan Basis edisi 03-04 Tahun ke-71, 2022, Aristoteles membedakan tiga ranah ilmu.

Pertama, theoreia, ilmu-ilmu teoretis seperti matematika, fisika, dan metafisika atau teologi. Kedua, praxis, ilmu-ilmu yang berkenaan dengan tindakan manusia, misalnya etika dan politik. Ketiga, poiesis, ilmu-ilmu untuk memproduksi hal-hal konkret, misalnya ilmu membuat ayam goreng dan mengobati orang sakit.

Membuat dunia menjadi lebih manusiawi—terlebih pada era neoliberal dan kapitalisme kiwari—tentu membutuhkan ”keseimbangan” tiga ranah ilmu itu. Pada tataran ideal mestinya tiap individu memahami tiga ranah ilmu tersebut. Tataran ideal jamak susah dicapai.

Setidaknya sistem hidup atau ekosistem kehidupan memosisikan tiga ranah ilmu itu secara proporsional. Sistem hidup yang dibangun dengan proporsi tiga ranah ilmu itu menghasilkan nilai-nilai, norma-norma, dan regulasi yang mendukung upaya mewujudkan dunia lebih manusiawi.

Memprioritaskan salah satu akan berbuah ketidakseimbangan, bahkan kerusakan sistem hidup. Ilmu poiesis, jamak disebut ilmu-ilmu teknik, mementingkan kegunaan atau hasil. Sebuah kerja teknis berhasil atau tidak ditentukan produknya.

Di ranah ilmu teknis, yang terpenting hasilnya. Ilmu teknis mementingkan kegunaan—disebut hasil yang baik. Sama sekali tak memedulikan kebenaran teoretis. Orang yang menerapkan model kerja teknis dalam hubungan antarmanusia disebut pragmatis.

Kebalikan dari ranah teknis adalah teoretis. Ilmu teoretis adalah ilmu kontemplatif. Ilmu yang berkutat pada kebenaran teoretis, namun tidak memproduksi apa-apa. Ilmu teoretis adalah ”ilmu yang tidak berguna”. Ilmu ini—seperti matematika, fisika, dan teologi—tidak berambisi memproduksi apa pun, tetapi justru paling membahagiakan.

Kodrat manusia berciri teoretikus. Suka berteori. Suka berkontemplasi. Manusia menyukai pengetahuan yang murni demi pengetahuan itu sendiri, bukan demi penerapannya. Menurut Aristoteles, itulah kodrat tertinggi manusia.

Itulah kebijaksanaan. Kenikmatan paling tinggi yang bisa dirasakan manusia setaraf dengan para dewa. Orang yang menghidupi ilmu teoretis jamak disebut idealis atau ideologis. Ia meninggikan kebenaran rumus-rumus matematika. Dia menghendaki dunia menyesuikan diri padanya.

Konsep Keadilan

Bagi penekun ilmu ini, kebenaran teoretis adalah segala-galanya. Kebenaran harus terjadi, meski langit akan runtuh. Fiat cevitas ruat coelum. Ilmu politik dan etika—praxis—berada di ranah tindakan manusia. Kebenaran dan kegunaan bersifat abu-abu. Kebenaran selalu harus ditentukan bersama manusia lain.

Orang tua yang adil—dalam pemahaman praxis—bukanlah orang tua yang memberikan uang jajan kepada dua orang anaknya, yang sulung kelas XI SMA dan yang bungsu kelas II SD, secara sama rata. Katakanlah sama-sama Rp20.000 setiap hari.

Orang tua yang adil justru akan memberikan uang jajan Rp15.000 kepada anaknya yang kelas II SMA dan cukup Rp5.000 kepada anaknya yang kelas II SD. Si sulung itu harus naik bus umum pergi pulang. Si bungsu ke sekolah naik sepeda karena sekolahan dekat rumah.

Orang tua yang lain punya konsep keadilan berbeda dalam perkara yang sama. Menjadi orang tua yang adil tidak ada rumusnya, tidak seperti kebenaran teoretis matematika 2×2=4. Orang tua harus terus-menerus berinteraksi dengan anak dan lingkungannya demi menemukan formula tindakan yang adil.

Pada tataran praxis, kriterianya bukan lagi benar atau salah, tetapi mana yang lebih baik atau kurang baik dilakukan. Orang-orang pragmatis—yang mengutamakan ilmu teknis—menyamakan kebaikan dengan kegunaan. Apa-apa yang tak berguna dianggap buruk. Menganut utilitarianisme.

Proyek-proyek skala besar yang menihilkan suara orang-orang marginal, miskin, papa adalah buah pengabdi ilmu teknik. Atas nama kepentingan nasional—definisi kegunaan—kemanusiaan diabaikan.

Penolakan warga Desa Wadas di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah atas rencana penambangan batu andesit untuk proyek strategis nasional Bendungan Bener adalah koreksi dari rakyat untuk pengabdi ilmu teknik yang mendefinisikan ”kepentingan nasional” sebagai kegunaan.

Kaum ideologis menyamakan kebenaran dengan kebaikan dan kesalahan dengan kejahatan. Kalau pada tataran teori (agama/filsafat/ideologi) benar, maka otomatis baik. Semua orang yang tidak sepaham adalah salah, otomatis jahat.

Pemaksaan berjilbab kepada siswa perempuan yang terjadi di banyak sekolahan adalah buah dari pengabdi ilmu teoretis (agama). Penggunaan yang lebih luas lagi terbukti merusak kehidupan, mengobrak-abrik kemanusiaan. Yang berbeda selalu dianggap salah, dicap jahat.

Mengapa di negeri ini dua kutub ekstrem, poiesis dan theoreia, seakan-akan dominan pada ranah-ranah yang berbeda? Dampaknya sangat jelas: kerusakan di sana sini. Harmonisasi kehidupan terganggu.

Dalam pemaknaan saya, penyebab utama yang paling mendasar adalah dalam pembentukan manusia dan kemanusiaan kita, yaitu dunia pendidikan, memang tak peduli pada urgensi yang poiesis, yang theoreia, dan yang praxis secara proporsional.



Pangkal masalahnya: dunia pendidikan kita tak punya landasan filsafat yang kukuh. Hanya ikut arus. Ikut kemauan pasar. Tunduk kepada kapitalis.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 September 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya